Wisata Kuliner Jalanan Kuala Lumpur
Ikon wisata Malaysia seperti menara kembar Petronas agaknya sudah terlalu umum untuk pelancong Indonesia. Bagi yang tertarik mencari tujuan wisata yang lain, bisa mencicipi kuliner jalanan di Kuala Lumpur yang ciamik
Ikon wisata Malaysia seperti menara kembar Petronas agaknya sudah terlalu umum untuk pelancong Indonesia. Bagi yang tertarik mencari tujuan wisata yang lain, bisa mencicipi kuliner jalanan di Kuala Lumpur yang ciamik dan eksentrik.
Berkeliling Kuala Lumpur paling enak dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, wisatawan bisa menikmati denyut kota yang sesungguhnya.
Wisatawan bisa menikmati barisan gedung pencakar langit Kuala Lumpur dengan bentuk unik dan menawan. Selain itu, wisatawan juga bisa berinteraksi langsung dengan warga lokal yang terdiri dari berbagai macam suku dan ras.
Lebarnya trotoar membuat pejalan kaki nyaman dan aman dari terserempet kendaraan bermotor. Wisatawan pun dimanjakan dengan terintegrasinya transportasi umum, seperti kereta ringan, kereta api cepat massal, monorel, dan bus. Dengan cepat dan murah, wisatawan bisa menjangkau berbagai penjuru kota.
Setelah lelah berkeliling kota, saatnya mengisi perut dengan wisata kuliner. Agar tidak terjebak dengan pengalaman kuliner yang umum di pusat perbelanjaan atau restoran, wisatawan bisa mencoba kuliner jalanan Kuala Lumpur yang rasanya tak kalah sedap dengan harga yang lebih bersahabat. Yang pasti menawarkan sensasi pengalaman wisata kuliner yang berbeda.
Warung mamak
Jika di Jakarta kita mengenal warteg, di Kuala Lumpur ada istilah warung mamak. Mamak adalah istilah dalam bahasa Malaysia untuk menyebut paman atau pria dewasa dari ras keturunan India atau bangsa Asia Barat.
Seperti halnya warteg, pengunjung warung mamak memilih lauk pauk secara prasmanan yang ditampilkan di etalase kaca. Jika bingung memilih lauk, warung mamak juga menawarkan menu makanan, antara lain nasi kari, nasi briyani, nasi lemak, dan roti telur. Minumnya beragam, mulai dari es teh tarik, es campur, sampai minuman dingin bersoda.
Pada Kamis malam (26/9/2019), seusai menyelesaikan pekerjaan, penulis pergi keluar dari hotel di bilangan Jalan Sentral untuk wisata kuliner. Seorang kolega berkewarganegaraan Indonesia yang tengah mengambil studi doktoral di Kuala Lumpur menemani penulis dan merekomendasikan sebuah warung mamak di bilangan Bukit Bintang.
Lihat juga: Penawaran Perjalanan Wisata Ramah Muslim ke Korea
Penulis pergi ke Bukit Bintang menumpang kereta monorel dari Stasiun KL Sentral. Ongkos yang dikeluarkan hanya 1 ringgit 70 sen atau sekitar Rp 5.000. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 10 menit untuk melewati tiga stasiun sebelum tiba di Stasiun Bukit Bintang.
Setibanya di sana, mata akan langsung terbius pesona gemerlap warna-warni lampu dari etalase pusat perbelanjaan dan lampu jalanan. Berjejer pusat perbelanjaan dengan merek-merek ternama dunia. Tak heran daerah Bukit Bintang seringkali dipadankan dengan Times Square di New York.
Turun dari stasiun Bukit Bintang kami menyusuri Bukit Bintang Street. Trotoar selebar sekitar 2-5 meter riuh disesaki warga dan wisatawan yang dari wajahnya bisa ditebak berasal dari Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Barat. Trotoar itu mengapit jalanan aspal dua lajur yang juga dipadati kendaraan bermotor.
Setelah berjalan sekitar 300 meter kami berbelok kiri masuk jalan kecil bernama Jalan Bulan. Berjalan lagi sekitar 10 meter, kami tiba di warung mamak bernama Nasi Kandar Arraaziq yang berada di kiri jalan. Lokasinya berseberangan dengan pusat perbelanjaan Low Yat Plaza.
Warung itu berada di pelataran ruko, luasnya sekitar 5 meter x 5 meter dengan lantai ubin berwarna putih terang. Belasan lampu neon yang dipasang di langit-langit membuat warung itu tampak cerah dan menonjol dari jalanan.
Baca juga: Indonesia Mampu Jadi Tujuan Utama Wisata Kuliner
Dari belasan meja dan kursi plastik monokrom yang dijejer, sebagian besar diisi pelanggan lainnya. Mereka berpakaian kasual dengan mengenakan kaus dan celana jins serta beralaskan kaki sandal, layaknya warga yang pergi ke rumah tetangga saja.
Dilihat dari wajahnya para pengunjung berasal dari berbagai macam keturunan ras baik dari Asia Timur, Melayu, ataupun Asia Barat. Entah mereka berkewarganegaraan apa, yang pasti tidak ada yang mempersoalkan itu sebab mereka larut dalam nikmatnya hidangan yang ada di hadapannya.
Dari balik etalase kaca, ada berbagai macam lauk pauk mulai dari sayur-sayuran, daging kari, sampai daging saus berkuah. Karena bingung memilih, akhirnya penulis putuskan memesan menu nasi briyani dan es teh tarik. Sedangkan kolega penulis memesan roti telur.
Sekitar lima menit kemudian makanan kami tiba. Semerbak wangi dari hidangan itu pun langsung merangsang indra penciuman.
Nasi briyani yang dihidangkan itu terdiri dari nasi kuning pera dengan bumbu kaldu ditambah dengan lauk daging seperti rendang. Menu juga ditambah suwiran bawang, wortel, dan timun.
Buat penulis, rasanya seperti menikmati nasi rendang yang gurih. Hanya saja minus rasa pedas seperti rendang di restoran padang pada umumnya.
Sedangkan roti telur yang dihidangkan menyerupai roti canai. Namun, di dalam roti itu terdapat telur. Roti telur itu disajikan dengan bumbu seperti saus kacang yang disajikan di mangkuk kecil yang berbeda. Meskipun porsinya terlihat kecil, menu itu kerap kali jadi menu sarapan warga Malaysia sebab mengandung gabungan karbohidrat dan protein sekaligus.
Roti telur yang dihidangkan menyerupai roti canai. Namun, di dalam roti itu terdapat telur. Roti telur itu disajikan dengan bumbu, seperti saus kacang yang disajikan di mangkuk kecil yang berbeda.
Kelezatan ditambah perut yang keroncongan membuat semua hidangan habis dalam sekejap.
Semua menu yang sulit ditemui di Jakarta itu dibanderol total 26 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 85.000. Adapun rinciannya, nasi briyani seharga 20 ringgit Malaysia, roti telur seharga 3,5 ringgit Malaysia (Rp 11.500), dan es teh tarik seharga 2,5 ringgit Malaysia (Rp 8.250).
Cendol durian
Seusai menikmati makan besar itu, kami memutuskan untuk mencicipi hidangan pencuci mulut, yaitu es cendol durian di warung Durian Runtuh. Warung itu berada di areal pasar tradisional Chow Kit.
Untuk menuju ke sana, kami kembali menumpang monorel. Setelah perjalanan sekitar lima menit dengan membayar 1 ringgit Malaysia (Rp 3.300), kami tiba di Stasiun Chow Kit.
Setibanya di stasiun, kami berjalan sekitar 500 meter ke arah selatan menyusuri trotoar di Jalan Tuanku Abdul Rahman. Berada di balik gedung perkantoran kami tiba di areal Koperasi Pasar Chow Kit Road Bhd. Seperti pasar basah pada umumnya, pasar itu menjual aneka buah-buahan dan sayur-sayuran.
Seusai menyusuri jalan aspal yang hanya muat satu kendaraan roda empat di area pasar itu, akhirnya kami tiba di warung Durian Runtuh.
Di warung itu kami bisa memesan untuk hanya makan durian atau menikmati cendol durian. Untuk sebuah durian, wisatawan perlu merogoh kocek sebesar 3 ringgit Malaysia jika makan di tempat dan 5 ringgit Malaysia jika dibungkus (Rp 10.000-Rp 16.000). Sementara seporsi cendol durian dibanderol 13 ringgit Malaysia (Rp 42.900) jika dinikmati di tempat dan 15 ringgit Malaysia (Rp 49.500) jika dibungkus.
Cendol durian itu disajikan pada sebuah mangkuk besar. Kuah cendol bercampur dengan potongan buah durian.
Pengunjung bebas memilih cara menikmatinya, baik dengan cara menyeruput habis kuah cendolnya baru memakan duriannya atau bisa juga sambil menyerut kuah cendol perlahan sambil mencuil perlahan duriannya. Semua sama segar dan lezatnya.
Berbeda dengan warung es kebanyakan, warung Durian Runtuh punya nilai tambah. Meski berada di areal pasar, wisatawan bisa menikmati pemandangan menara kembar Petronas dari warung ini. Unik bukan, menyuruput es cendol durian di tengah pasar sambil menikmati pembandanan Menara Petronas.
Meski belum merangkum seluruh kuliner jalanan di Kuala Lumpur, tapi tulisan ini diharapkan memberikan alternatif berwisata di ibu kota Malaysia. Bukan kuliner mahal, mewah, dan populer, tetapi kuliner jalanan yang bersentuhan langsung dengan denyut lidah warga Malaysia.