Pesan Damai Teater Mandiri
Ada tiga babak untuk merengkuh damai, yakni hak perempuan dan laki-laki disetarakan, menyegerakan keadilan secara konkret, dan menolak jalan kekerasan berdalih mengejar damai. Teater Mandiri lewat pementasan lakon ”Peace” menawarkan pesan sederhana yang tak mudah itu.
Penghakiman massa terhadap seorang laki-laki yang terikat tali di tubuhnya membuka babak pertama. Dari sisi kiri penonton, mereka bergerak naik panggung. Di tengah panggung sudah ada para pemeran, seorang laki-laki tua berusia 100 tahun disertai beberapa perempuan.
Laki-laki itu, diperankan Putu Wijaya di atas kursi rodanya, tengah meratapi masa yang berubah dan membuat dirinya kehilangan rasa manusianya. ”Aku kosong. Aku ingin makan daging manusia,” ujar laki-laki renta itu dengan lantang dan terbata.
Putu Wijaya menjadi salah satu pemeran sekaligus sutradara dan penulis naskah teater berjudul Peace ini. Pementasannya di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (25/9/2019), didukung para pemain, di antaranya Jais Darga, Taksu Wijaya, Dewi Pramunawati, Ari Sumitro, Uliel El Nama, Chan Rukoyah, Enriko Imron, Penny Moehaji, Agung, Acong, Cahya, Cok Ryan Hutagaol, dan Elvis, Tiqoalu.
Gandung Bondowoso menjadi manajer panggung, dengan tata musik oleh Ramdhan Gelge, dan tata lampu oleh Julung. Di akhir kisah, mereka mementaskan paduan adegan multimedia dengan mencomot teknik pentas wayang kulit yang menggunakan medium geber atau layar putih untuk menangkap bayang-bayang para pemeran.
Perempuan digdaya
Di panggung, amuk massa terjadi. Jais Darga ada di antara para pengiring Putu Wijaya. Ia menjadi perempuan digdaya yang membela laki-laki yang sedang didera amuk massa itu.
Jais menghunus pedangnya. Ia menghunjamkan pedang itu ke dada setiap laki-laki dari kelompok amuk massa itu yang berusaha menerjangnya. Jais mampu membuyarkan massa. Laki-laki yang terikat tali pun terbebaskan.
Panggung berangsur sepi. Jais Darga tertinggal sendirian. Ia tampil monolog di pentas itu.
”Saya, Jais Darga, yang sudah terluka parah,” ujar Jais.
Pilihan kata ”terluka parah” itu bukan untuk tubuhnya yang sentosa. Itu metafora dari segala kepahitan Jais yang didera sebagai perempuan yang dibungkam. Jais dibungkam dari kebenaran. Jais bertutur tentang perselingkuhannya.
”Saya berselingkuh dengan Einstein, Karl Marx, Nietsche, Sartre. Bahkan, dengan Putu Wijaya,” kata Jais.
Perselingkuhan Jais metaforis. Ia mengembuskan napas, menghidupi nadi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi. Dalam frase monolognya yang jernih, Jais berkisah panjang tentang dirinya di suatu masa.
”Dicari, Jais Darga, ratu iblis pemberi harapan palsu. Pemberi kebebasan berpikir,” teriak lantang Jais.
Mengapa demikian? Jais Darga sebelumnya membunuh orang yang dicintai, suaminya sendiri. Sebelumnya, Jais bertutur tentang kebenaran yang datang tidak tepat, maka kebenaran itu datang seperti menstruasi, kebenaran yang membuat berdarah-darah. Jais lalu membunuh suaminya.
Ia kemudian menyerahkan diri kepada para penegak hukum, yang kemudian juga dibunuhnya semua. Itu karena mereka hendak memerkosa Jais. Itulah luka parah Jais.
Babak kedua, pesan damai untuk menyegerakan keadilan yang konkret disuguhkan melalui dilema rumit. Putu Wijaya menggelar realitas sosial sebuah keluarga yang menantikan seorang pekerja rumah tangga (PRT).
Pekerja rumah tangga
Seorang ibu dan bapak terlibat dalam sebuah penantian akan seorang PRT yang dijanjikan agen. PRT tak kunjung datang. Agen yang datang pun tak kepalang tanggung menjengkelkannya.
Agen yang datang itu digambarkan sebagai sosok seorang perempuan supersibuk dengan telepon genggamnya. Ia bicara dua arah. Satu arah kepada lawan bicara di gawai, satu arah lainnya kepada lawan bicara di depannya. Itu merendahkan lawan-lawan bicaranya.
Tiba saatnya pekerja rumah tangga yang dijanjikan. Sang ibu dan bapak menyambutnya. Ia adalah Nora. Nora yang bersedia menjadi PRT itu ternyata memiliki banyak tuntutan rasa keadilan. Tuntutan yang diharap Nora agar disegerakan memperoleh jawab.
Salah satunya, dalam waktu tiga bulan ke depan, Nora akan menikah. Ia meminta supaya dinikahkan. Dinikahkannya tidak di kampung, tetapi di Jakarta, tempat dia bekerja saat ini. Dari sini, pesan babak kedua dapat ditangkap secara gamblang. Menyegerakan rasa keadilan secara konkret tidaklah mudah. Ada kompleksitas, ada dilemanya.
Putu Wijaya menyentil persoalan sederhana dengan cara sederhana pula. Beranjak pada babak ketiga, berkisah tentang seorang anak yang datang kepada ayah. Ia datang bukan sebagai anak lagi. Ia datang sebagai orang yang berhasil di dalam pekerjaannya.
Ia datang kepada ayahnya sebagai pengacara yang sudah mapan. Ayahnya telah renta, diperankan Putu Wijaya dengan kursi rodanya. Di tengah cerita keberhasilan anaknya, ia berusaha menyela, tetapi selalu tercekat tak bisa bicara. Ayahnya pun sudah tak didengar sang anak.
Kisah berlanjut ketika sang anak menjadi pembela bagi seorang pengusaha kaya di pengadilan. Ia berhasil membebaskannya dari segala dakwaan dan tuntutan di pengadilan.
Pengusaha itu kemudian berlenggang membawa harta kekayaan dan keluarganya ke luar negeri. Keserakahannya memercikkan api ke jerami, membakar amarah rakyat. Amarah itu juga tertuju kepada sang pengacara. Sang pengacara diamuk dan tewas terbunuh.
Kain putih menyelubungi tubuhnya. Sang pengacara mati. Namun, kekacauan tak juga reda, melainkan terus melanda. Layar putih memenuhi panggung. Seberkas cahaya terang dari belakang panggung terpancar.
Cahaya putih itu membentuk bayangan hitam yang ditangkap layar. Bayang-bayang orang riuh dalam kekerasan. Ada bayangan orang menyandang senapan dan tombak. Ada langkah orang tergopoh dan terkapar.
Putu Wijaya menghadirkan pula bayangan hitam yang dibentuk dari wayang kulit. Ada yang memainkan wayang kulit dengan sosok raksasa itu seperti layaknya dalang.
Sosok raksasa itu sedang mengumbar amarahnya. Orang-orang tumbang bergelimpangan. Kekerasan menemukan jasad hidupnya. Ia tumbuh dan mewujud atas nama pencarian kedamaian.
Putu Wijaya mengemas pementasan Peace atau Damai ini sebagai bagian dari kerja sama Teater Mandiri yang dipimpinnya, dengan Bakti Budaya Djarum Foundation yang sudah memasuki tahun ke enam.