Detik-detik Menuju Prestasi Aries
Kisah perjuangan dan pergulatan seorang atlet untuk mencapai cita-cita dan prestasi tertingginya memang selalu menarik untuk diikuti. Perjuangan keras dari seseorang dari yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang, ”from zero to hero”.
Begitu kurang lebih tema utama yang coba diangkat Lola Amaria dalam film garapan terbarunya, 6,9 detik. Sebuah film yang mengupas sepenggal perjalanan hidup dan prestasi atlet panjat tebing kelas dunia, Aries Susanti Rahayu, peraih medali emas di Asian Games 2018 lalu.
Sejak kecil, Aries, diperankan Nesya Chandria, dikenal sebagai anak perempuan tomboi yang gemar memanjat pohon dan memainkan permainan bocah layaknya anak laki-laki. Aries kecil juga terbilang sangat aktif bergerak dan gemar olahraga fisik macam atletik.
Larinya gesit dan sifatnya senang berkompetisi alias tidak pernah mau kalah. Namun sayang, sejak awal duduk di bangku sekolah dasar, Aries kecil harus selalu ditinggal ibunya, Maryati (Briliana Alfira), untuk bekerja di Arab Saudi sebagai buruh migran.
Aries dan dua kakaknya hanya diurus sang bibi (bulik), diperankan dengan sangat apik oleh Maryam Supraba. Sementara sang ayah, S Sanjaya (Rukman Rosadi), adalah pekerja serabutan. Dia mengerjakan apa saja, mulai dari menjadi sopir angkut hasil bumi sampai tukang reparasi alat elektronik.
Saat beranjak remaja, kegelisahan, kemarahan, dan kekecewaan Aries, kemudian diperankan Kayla Ardianto, terus bertambah walau secara prestasi dia juga mengalami peningkatan. Problematika tersebut terutama dipicu ketiadaan sosok ibu sebagai pendamping dan tempat mengadu.
Aries remaja semakin merasa tak ada orang peduli dan memperhatikannya, tak terkecuali orang tuanya sendiri. Padahal, tekanan yang dia hadapi saat berada di program pelatihan daerah maupun saat berkompetisi juga semakin bertambah.
Belum lagi pandangan lingkungan sekitar terhadap dirinya, yang kerap kali nyinyir dan menganggapnya berasal dari keluarga tidak jelas. Hal itu lantaran tak ada sosok orang tua yang mengasuh.
Oleh sang sutradara sekaligus produser, Lola Amaria, kegalauan dan kegamangan psikologis itu coba ditangkap dan digambarkan lewat beberapa cuil adegan. Pada salah satu adegan Aries remaja bahkan diperlihatkan asyik bergaul di sebuah bar dan minum minuman keras bersama teman-temannya.
Malah saking mabuknya, Aries sampai harus dibopong pulang dini hari ke asrama tempat pelatihan. Kondisi itu semakin memperburuk Aries dan pandangan orang-orang di sekitar dirinya. Pengalaman itu diakui memang benar terjadi walau tak semirip di dalam film.
”Ada dua adegan yang menggambarkan puncak kekecewaan saya. Adegan saat dugem dan mabuk tadi serta saat saya putuskan usai PON 2016 enggak mau lagi jadi atlet. Yang kejadian mabuk memang ada. Tapi, bukan saat pelatda seperti di film itu. Pengaruh jeleknya juga tidak datang dari teman-teman lingkungan atlet. Dari luar sih,” ujar Aries saat ditemui seusai pemutaran perdana film, Rabu (18/9/2019) malam, di Epicentrum XXI, Jakarta.
Kisah tentang perjalanan karier dan perjuangan Aries juga pernah ditulis komprehensif dan dimuat di rubrik Sosok harian Kompas edisi Selasa (28/8/2018). Tulisan berjudul ”Aries Susanti Rahayu, Mendaki ke Puncak Dunia”. Dalam tulisan itu juga dikisahkan perjuangan Aries sampai bisa masuk tim pelatihan nasional untuk Asian Games 2018.
Dia mengawalinya dengan sekadar menjadi lawan latih tanding atau cadangan dari atlet-atlet nasional yang telah lebih dahulu ditentukan untuk maju ke Asian Games 2018. Namun, karena kegigihannya, Aries, oleh Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI), justru dimasukkan ke dalam tim inti. Dari tiga kali lomba simulasi dengan atlet pelatnas, dia justru terus memenangkan ketiganya.
Fokus ke Aries
Walau terbilang lumayan lengkap mencoba menangkap momen-momen puncak perjalanan hidup Aries, alur cerita dalam film ini masih terkesan sekadar kronologis. Ada sejumlah momen, yang sebenarnya masih bisa lebih dieksplorasi, terutama demi mendapatkan nuansa emosional perjuangan dan perjalanan karier Aries.
”Kami memang ingin fokus di Aries dan ibunya. Kami ingin coba menggambarkan gejolak dalam diri Aries, seperti apa seorang atlet anak dan remaja yang tumbuh kembang tanpa kehadiran seorang ibu. Jadi memang ini bukan seperti film Dangal. Ini film bercerita tentang Aries Susanti Rahayu,” ujar Lola.
Film Dangal (2016) karya sutradara tenar India, Nitesh Tiwari, berkisah tentang seorang ayah, mantan atlet nasional gulat, yang mengajarkan dan mengantarkan dua putrinya menjadi perempuan peraih medali emas dan perak pertama India di Olimpiade Persemakmuran (Commonwealth Games) 2010.
Kisah itu dibalut problematika lain seperti penilaian masyarakat sekitar, yang masih belum bisa menerima perempuan menjadi atlet gulat. Selain itu, juga dilema hubungan orangtua dan anak yang kerap naik turun. Semua tersaji cantik dan emosional dalam sebuah film bergenre drama komedi olahraga.
”Pihak FPTI memang memilih saya untuk membuat film ini. Momennya saat Indonesia meraih medali emas di Asian Games 2018 lalu. Orang saat itu baru ngeh pada cabang olahraga ini. Sejak awal kami memang ingin mengangkat cabang olahraganya agar lebih populer. Untuk itu perlu ada sosok yang diangkat. Kebetulan Aries cocok untuk itu,” ujar Lola.