Payudara berada dalam zona sensualitas dan zona kehidupan. Sebagai penopang payudara, bra berevolusi selama beberapa abad terakhir. Selama itu pula persepsi publik terhadap buah dada berevolusi.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Secara umum, payudara berada dalam zona sensualitas dan zona kehidupan karena menjadi sumber ASI atau air susu ibu. Bukannya mau melabeli payudara sebagai objek, tapi memang begitu adanya. Sebagai penopang payudara, bra berevolusi selama beberapa abad terakhir. Selama itu pula persepsi publik terhadap buah dada berevolusi.
Pada 1912-1949, perempuan di China mengenakan rompi ketat di balik baju untuk menyamarkan bentuk payudara. Ini juga upaya menghindari rasa malu di hadapan publik. Payudara kecil kala itu identik dengan kebajikan, kesucian, kemurnian, serta simbol untuk menjadi ibu yang baik dan istri yang berdedikasi (Cultural Encyclopedia of the Breast: 2014).
Upaya menyembunyikan lekuk payudara juga terjadi di Jepang. Busana Jepang dirancang agar bisa meratakan payudara dan meminimalkan tonjolan yang disebut “pigeon chest” (hatomune desshiri). Adapun pakaian dalam yang digunakan di balik kimono atau datemaki. Lekukan payudara yang tersisa lalu ditekan dengan ikat pinggang khas Jepang atau obi.
Lekuk payudara yang terlihat di publik bak hal tabu. Kala itu, menjaga kehormatan perempuan dan supremasi patriarki beda tipis. Kondisi itu agak sama dengan kondisi masa kini: publik sama-sama merasa punya hak mengatur perempuan, payudaranya, dan behanya.
Menilik media sosial, banyak berseliweran komentar warganet terhadap visual perempuan. Foto dan video yang menunjukkan too much skin dan lekuk tubuh akan diberi komentar serupa khotbah. Mereka mengibaratkan perempuan dengan banyak objek yang (katanya) harus dijaga, misalnya permen dan perhiasan. Dalam hal ini, perempuan dipandang sebagai objek, bukan manusia.
Kala itu, menjaga kehormatan perempuan dan supremasi patriarki beda tipis. Kondisi itu agak sama dengan kondisi masa kini: publik sama-sama merasa punya hak mengatur perempuan, payudaranya, dan behanya.
Ellen Cole dan Esther D Rothblum dalam Breasts: The Women’s Perspective on an American Obsession (2012) mengatakan, payudara adalah obsesi kultural. Oleh sebab itu, ketika membicarakan payudara, kebanyakan masyarakat akan merasa kewalahan, malu, hingga terkikik.
Perlawanan
Bra pernah menjadi simbol perlawanan terhadap standar kecantikan yang dinilai opresif. Kelompok perempuan feminis melakukan protes terhadap kontes kecantikan Miss America pada 7 September 1968. Salah satu bentuk protes itu ialah membakar bra dan sejumlah “barang perempuan” seperti majalah dewasa, pel, dan make-up ke dalam tong bernama Freedom Trash Can.
Pembakaran bra dikenang sebagai bagian dari gelombang kedua feminisme di Amerika Serikat. Perlawanan perempuan itu dianalogikan dengan laki-laki yang menolak masuk militer. Keduanya sama-sama melawan kekangan budaya dan politik atas kepribadian personal.
Aksi membakar bra sekaligus melawan gagasan patriarkal yang ada. Mereka menolak gagasan bahwa publik berwenang menentukan cara perempuan berpakaian pantas dan bermartabat (Cultural Encyclopedia of the Breast: 2014).
Dahulu, menggunakan bra bukan sesuatu yang lazim dilakukan perempuan Indonesia. Mereka bebas berjalan-jalan dengan bertelanjang dada. Saat itu, ketelanjangan bukan masalah. Birahi adalah masalah kendali diri, bukan perkara menyalahkan si empunya payudara.
Bertelanjang dada merupakan hal biasa buat perempuan Bali pada masa lalu. Perempuan suku Bugis dahulu juga dikisahkan mengenakan baju bodo tanpa dalaman sehingga payudaranya terlihat. Hal hampir serupa juga terjadi di Papua. Perempuan lajang di Papua mengenakan sali—baju adat berupa rok dari kulit pohon—tanpa mengenakan atasan.
Pembakaran bra dikenang sebagai bagian dari gelombang kedua feminisme di Amerika Serikat. Perlawanan perempuan itu dianalogikan dengan laki-laki yang menolak masuk militer
Ketelanjangan di masa lampau tidak serta-merta dianggap cabul. Berbeda dengan sekarang. Semua serba tabu.
Sejarah bra
Seiring berjalannya waktu, perempuan mulai menggunakan bra. Ada banyak cara menyebut bra, mulai dari beha, BH, hingga kutang.
Cikal bakal bra modern pertama kali dibuat pada 1910-an. Penemunya ialah seorang perempuan New York, Mary Phelps Jacobs. Bra itu terbuat dari sutra dan pita berwarna merah muda. Jacobs berumur 19 tahun saat membuat bra visioner tersebut.
Menurut sejarah, bra tersebut dibuat agar Jacobs bisa bergerak lebih leluasa saat berpesta. Korset—yang dulu berperan sebagai bra—ia nilai tidak nyaman.
Teman-teman Jacobs terkesima dan meminta dibuatkan bra serupa. Pada 1914, Jacobs pun mengajukan hak paten atas desain bra modern pertama di dunia. Ia menjual hak paten itu kepada Warner Brothers Corset Company setahun kemudian.
Masa lalu lebih parah lagi. Perempuan di abad ke-16 mengenakan korset sebagai bra setiap hari. Korset tersebut menyelimuti perut hingga dada dengan ketat. Selain untuk membuat siluet pinggang yang ramping, korset juga berfungsi untuk menopang dan mengangkat payudara.
Marketing Deputy Division Head of PT Indonesia Wacoal Melynda R Purnamasari mengatakan, konsumen masa kini menyukai bra yang minimalis dan tanpa jahitan atau seamless. Sebelum tren ini berkembang, masyrakat Indonesia menyukai bra dengan aksen renda dan bra berkawat.
“Konsumen sekarang juga menyukai bra tanpa kawat untuk kenyamanan. Tren ini berkembang sekitar 2-3 tahun terakhir,” kata Melynda pada acara peringatan ke-38 tahun Wacoal Indonesia di Jakarta, Kamis (19/9/2019) kemarin.
Model bra kini ada macam-macam. Asal kantong mumpuni, perempuan bisa memilih bra keinginannya sesuka hati di pasaran. Semoga kemewahan ini diikuti mewahnya mencintai lekuk tubuh sendiri tanpa penghakiman.