Suasana Aula Pusat Perfilman H Usmar Ismail di Jakarta, Kamis (8/8/2019) malam, berubah sunyi dan khidmat. Penonton terbuai oleh alunan musik klasik yang dibawakan Amadeus Symphony Orchestra. Di bawah konduktor Henrik Hochschild, imaji hadirin dibawa ke Leipzig, kota di Jerman tempat lahirnya karya musik klasik dan komposer legendaris.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Mengambil tema ”Leipzig Meets Jakarta”, Henrik Hochschild dengan Amadeus Symphony Orchestra memang berniat mentransfer nuansa Leipzig ke Jakarta.
Henrik adalah akademisi musik dan profesor biola di Hochschule fur Musik und Theater (HMT) di Leipzig, Jerman.
Pada era 1700-1900, Leipzig pernah menjadi tempat kelahiran bagi sejumlah komposer musik klasik Eropa. Sebutlah beberapa nama, seperti Franz Schubert atau Johann Sebastian Bach, yang pernah memulai karier sebagai komponis di sana.
Malam itu, Henrik membawakan tiga karya musik yang dinilai merepresentasi Leipzig. Musik tersebut yaitu ”Hermann and Dorothea Overture” karya Robert Schumann, ”Concerto for Two Violins in D Minor, BWV 1043” karya Johan Sebastian Bach, dan ”Symphony No. 6 in C Major, D. 589” karya Franz Schubert.
Upaya menampilkan nuansa Leipzig pun terdengar sejak orkestra memainkan lagu pertama, ”Hermann and Dorothea Overture” karya Schumann.
Begitu pun saat memainkan repertoar ”Concerto for Two Violins in D Minor, BWV 1043”. Alunan musik klasik semakin syahdu karena Henrik memadukan permainan dua pemusik biola muda, yakni Darren Tantama dan Hannes Hochschild, untuk memainkan bagian solo.
Kedua pemain biola ini bersanding di sisi panggung sambil bergantian memainkan bagian solo mereka masing-masing.
Henrik menuturkan, seleksi musik dalam repertoar yang dimainkan malam itu diatur sedemikian rupa dari sisi dinamika dan durasi.
”Hermann and Dorothea Overture” yang dibawakan pertama kali merupakan karya yang paling muda menurut periodisasi sejarah musik klasik. Sementara karya-karya selanjutnya yang dimainkan, dari Bach hingga Schubert, berumur lebih tua ratusan tahun dibandingkan dengan generasi Schumann.
”Saya membuat repertoar ini berdasarkan karakter dan durasi di setiap bagian. Saat membuka konser, saya selalu ingin memulai hal dengan sesuatu yang paling fasih dimainkan orkestra saat latihan. Setelah itu, saya tonjolkan sisi solois instrumen yang bermain, kemudian kembali menonjolkan sisi simfoni orkestra saat akhir,” ungkapnya seusai konser.
Kolaborasi
Leipzig Meets Jakarta malam itu tersaji atas kolaborasi Henrik Hochschild dengan puluhan pemusik lintas generasi binaan Sekolah Musik Amadeus. Henrik mengatakan, sisi kolaborasi adalah hal yang sangat ingin ia tonjolkan.
Ia mencontohkan, salah satu kolaborasi ini terwujud saat anaknya, Hannes Hochschild, dan Darren Tantama saling beriringan memainkan bagian solo biola dalam ”Concerto for Two Violins in D Minor, BWV 1043”.
”Saya pikir itu adalah kolaborasi yang simbolis dan sangat sempurna mewakili tema konsernya, Leipzig Meets Jakarta,” ujarnya.
Henrik mengaku banyak belajar selama sepekan terakhir di Jakarta, terutama saat bekerja sama dengan pemusik dari Amadeus Symphony Orchestra. Sebagian dari tim orkestra itu adalah murid yang dipilih oleh guru musik dan mereka dinilai bekerja sama dengan sangat baik saat menyiapkan pertunjukan.
”Kolaborasi ini sangat menyentuh karena saya belum pernah menangani orkestra yang para pemusiknya adalah gabungan guru dan murid. Di Leipzig, saya akan coba mengajak guru musik di sana untuk turut melibatkan murid mereka dalam taraf orkestra yang lebih besar,” kata Henrik.
Melalui kolaborasi ini, Henrik juga ingin menunjukkan bahwa dari Jakarta dan Leipzig yang jaraknya berjauhan dapat timbul sejumlah kesamaan yang saling selaras dan saling mengisi.
Henrik menceritakan, tujuannya ke sejumlah negara, terutama Asia, belakangan ini adalah untuk melihat perkembangan musik klasik di luar wilayah Eropa. Sebab, selama ini musik klasik telah berkembang pesat dan menjadi bahasa yang bersifat universal bagi seluruh dunia.
”Hingga akhir abad ke-19, musik klasik memang seakan milik sejumlah wilayah di Eropa, salah satunya Leipzig yang juga dikenal sebagai kota musik. Namun, bicara mengenai hal ini pada abad ke-21, musik klasik telah berkembang dan membaur di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia,” tutur Henrik.
Keberadaan musik klasik sebagai bahasa universal pun disetujui pendiri sekolah musik Amadeus, Grace Soedargo. Ia mengibaratkan musik klasik seperti bahasa Inggris yang banyak dikuasai oleh negara-negara di berbagai belahan dunia.
”Ibaratnya kita mempelajari bahasa Inggris, musik klasik adalah bahasa tambahan yang membuat kita dapat berkomunikasi dengan negara-negara lain di dunia. Namun, perkembangannya di Indonesia sendiri masih cukup mengalami tantangan, terutama pada generasi muda,” ujar Grace.
Henrik berharap tradisi musik klasik dapat terus berlanjut pada generasi muda. Membiayai diri saat mempelajari musik klasik memang tidak mudah, tetapi jika ditekuni secara serius, kemampuan sebagai pemusik klasik pada akhirnya dapat pula dipandang secara profesional.
Budayawan Franz Magnis-Suseno yang turut menonton konser malam itu mengatakan, adanya panggung musik klasik yang melibatkan generasi muda perlu terus dilestarikan.
”Saya pikir sudah bagus kalau ada yayasan yang fokus dengan hal semacam ini, terutama jika melibatkan kolaborasi lintas negara. Hal tersebut akan mendukung fungsi musik sebagai bahasa yang universal,” ucap Franz.