Toyota dan Kesiapan Industri Otomotif Menuju Era Baru

Toyota Prius Plug-in Hybrid Electric Vehicle menjadi salah satu alternatif dari inovasi teknologi yang dihadirkan di GIIAS 2019. KOMPAS/Stefanus Osa
Perubahan era teknologi otomotif tak dapat dinafikan kemajuannya. Berawal dari keprihatinan akan semakin berkurangnya, cepat atau lambat, bahan bakar yang berasal dari fosil, para inovator teknologi otomotif berlomba-lomba menciptakan terobosan solutif. Mobil bertenaga listrik menjadi jawaban terkini, meskipun jenis bahan bakar lainnya juga sudah disiapkan oleh industri otomotif kelas dunia.
Di beberapa negara, mobil bertenaga listrik tak lagi menjadi pemandangan aneh, seperti yang Kompas lihat di jalanan kota Los Angeles, Amerika Serikat, beberapa pekan lalu. Mobil-mobil berteknologi EV (electric vehicle) berjalan beriringan, sesekali berjalan di samping mobil-mobil sport, seperti Lamborghini dan Ferrari, sudah menjadi pemandangan biasa.
Ciri uniknya, mesin mobil listrik terdengar senyap, karena memang tidak terjadi ledakan pembakaran internal seperti pada mesin-mesin konvensional. Sedangkan, saat berhenti menunggu lampu lintas menyala hijau, suara mesin mobil sport mudah terdengar. Apalagi, ketika pedal gas diinjak semakin dalam atau dientakkan pijakannya, suara “raungan” mesin makin mencirikan tingkat “galak”nya mobil sport itu.
Membedah teknologi
Dalam pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show 2019 yang berlangsung di ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, 18-28 Juli 2019, konsep-konsep mobil bertenaga listrik menjadi salah satu pencuri perhatian pengunjung. Padahal, kebijakan pemerintah menyangkut kehadiran mobil bertenaga listrik belum menjadi kepastian.

Membedah kelebihan maupun kekurangan mobil listrik tidak ada habisnya. Namun, riset Toyota menunjukkan, kontribusi sangat besar yang diberikan mobil listrik bagi lingkungan tidak dapat terelakkan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pembukaan pameran otomotif ini pun mendorong kesiapan industri otomotif untuk menciptakan mobil listrik. Persaingan global semakin ketat, ditambah lagi gaung kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menciptakan tatanan lingkungan yang bersih dari emisi karbondioksida – salah satunya berasal dari gas buang kendaraan bermotor yang semakin banyak jumlahnya – membuat inovasi teknologi otomotif mendesak diperlukan.
Langkah mendorong kebutuhan mobil bertenaga listrik itu membutuhkan sosialisasi tanpa henti. Era perubahan teknologi otomotif perlu pula perubahan mindset atau pola pikir. Dari sisi hilir, efisiensi bahan bakar menjadi salah yang paling sering dijadikan patokan dalam setiap acara sharing otomotif.
Pebalap Rio Haryanto dalam diskusi bertajuk “Toyota Electrification Day” di sela-sela penyelenggaraan GIIAS 2019, Jumat (19/7/2019), mengatakan, sejak menjadi duta Toyota C-HR Hybrid, pilihan akan kendaraan berteknologi dua mesin (mesin bakar konvensional dan motor listrik) itu membuatnya terkesima. Performa mesin sekaligus kenyamanan bisa didapatkan. Begitu juga, tingkat efisiensi bahan bakarnya.
“Yang pasti, efisien bahan bakar bikin pengeluaran untuk beli bensin bisa berkurang setiap bulannya,” kata Rio.

Simulasi kerja mobil listrik pada Toyota Prius Hybrid yang dipamerkan di booth Toyota di GIIAS 2019.
Sebanyak 12 unit mobil berteknologi EV produksi Toyota, baik model HEV (hybrid electric vehicle) maupun PHEV (plug-in hybrid electric vehicle) diperkenalkan kepada jurnalis. Bahkan, seluruh kendaraan berbasis listrik itu juga diuji berkendara di kawasan perbelanjaan Q-Big, Serpong.
Dari sisi pemasaran, membedah efisiensi bahan bakar memang menjadi materi “jualan” yang paling sederhana. Terlebih, kondisi jalan yang sulit diprediksi tingkat kemacetannya di kota-kota besar membuat efisiensi bahan bakar tidak bisa ditawar-tawar lagi. Lihat saja, ketika obrolan-obrolan pengguna mobil yang tergabung dalam komunitas-komunitas otomotif soal penggunaan bahan bakar, terlebih di saat mudik.
Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmi Suwandy memaparkan, kebutuhan mobil berteknologi hybrid setidaknya memecahkan lima masalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan di Indonesia.
Bagi pengguna mobil di Indonesia, lima hal yang menjadi kebutuhan dasar adalah mobil bisa memberikan efisiensi bahan bakar yang masuk akal, bisa tetap fun to drive dalam melakukan mobilitas, comfortable bagi penumpang yang berada di dalam kabin, dan dari visi besar secara global mobil hybrid harus bisa menjadi kendaraan yang memberikan sumbangan terbaik bagi lingkungan, dan secara perawatan atau layanan servis purnajual dapat dilakukan dengan mudah dan terjangkau oleh kocek pemilik kendaraannya.

Baterai mobil listrik yang disematkan di sejumlah model mobil Toyota.
Terbilang dari sisi hilir, Anton menyuguhkan komparasi sederhana tingkat efisiensi bahan bakar antara mobil bermesin konvensional dan hybrid. Toyota C-HR konvensional 1.8L mampu menghasilkan angka konsumsi BBM 12,3 kilometer per liter. Sedangkan, Toyota C-HR Hybrid mampu mencatat 20,8 km per liter.
Sementara, Toyota Camry bermesin konvensional 2.4L hanya mampu mencapai 13 km per liter, sedangkan Camry Hybrid 2.4L bisa tercatat 22,3 km per liter. “Seluruh perhitungan ini sudah dilakukan dengan medan jalan dan rute yang sama. Begitu juga dengan waktu pengujian,” ujar Anton.
Bahkan, komparasi dilakukan terhadap akselerasi kedua teknologi otomotif ini. Tambahan putaran motor listrik pada mobil hybrid yang mumpuni menghasilkan performa kendaraan melaju lebih baik. Bicara dampak lingkungannya pun, Toyota C-HR konvensional masih menghasilkan emisi CO2 sebesar 150 gram per km, sedangkan C-HR Hybrid hanya 95 gram per km. Sementara, Camry konvensional mengeluarkan emisi CO2 sebesar 148 gram per km, sedangkan Camry Hybrid mampu menekan hingga mencapai 92 gram per km.
Ujung dari kepemilikan sebuah mobil adalah urusan maintenance. Dalam setahun, perawatan mobil Camry konvensional rata-rata mencapai Rp 3,611 juta, sedangkan Camry Hybrid agak mahal sedikit mencapai Rp 3,758 juta. Sementara, perhitungan perawatan C-HR konvensional mencapai rata-rata Rp 3,333 juta, sedangkan C-HR Hybrid mencapai Rp 3,354 juta per tahunnya.
Tak mau ketinggalan, komparasi teknologi pun diperlihatkan pada Toyota Prius yang memiliki dua versi. Prius dengan teknologi HEV menghasilkan emisi gas buang 83 gram per km, sedangkan Prius PHEV hanya sebesar 28 gram per km. Dari isi penuh bahan bakar, Prius HEV mampu mencapai jarak tempuh sekitar 900 kilometer, tetapi jangan salah, Prius PHEV mampu mencapai jarak tempuh sekitar 1.700 kilometer. “Lihat, betapa efisiennya bahan bakar yang dihasilkan oleh Prius,” ujar Anton.

Sistem charger listrik pada mobil Toyota Prius terlihat begitu mudah. KOMPAS/Stefanus Osa
Senior Manager Coordinator Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing (TDEM) Daisuke Itagaki, mengemukakan, dalam 30 tahun ke depan ada tantangan lebih jauh yang menjadi visi bagi Toyota. Melalui berbagi pengembangan teknologi yang dirancang oleh Toyota, tantangan yang perlu dihadapi adalah menggapai dampak nol (zero impact) terhadap lingkungan dan menghasilkan dampak positif jejaring penerimaan lingkungan. Kehadiran industri tidak boleh merusak tatanan lingkungan.
Lagi-lagi, secara teknis Itagaki menunjukkan langkah strategis berupa opsi-opsi pengembangan teknologi otomotif. Namun, kali ini komparasi lebih ditunjukkan pada teknologi HEV, kemudian PHEV, lalu Battery Electric Vehicle (BEV) dan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) atau kendaraan bertenaga hidrogen.
Dari sisi pengurangan emisi, tenaga penggerak mobil HEV yang masih dikombinasikan dengan bensin sudah tergolong baik dalam menekan emisi gas buang. Namun, kendaraan PHEV jauh lebih baik, apabila dilakukan peningkatan perpaduan tenaga penggeraknya. Dari keempat teknologi tersebut, BEV dan FCEV jauh lebih baik lagi dalam menekan emisi gas buang kendaraan karena praktis sama sekali tidak mengeluarkan emisi karbondioksida.
Tingkat komparasi juga memperlihatkan struktur yang lebih dari sisi jarak tempuh, tempo pergantian bahan bakar yang secara otomotis disesuaikan dengan tingkat kebutuhan laju kendaraan, dan kesiapan infrastruktur teknologinya. Dari komparasi tersebut, teknologi HEV masih paling dominan memiliki keunggulannya karena tak membutuhkan infrastruktur tertentu, seperti stasiun pengecasan baterai, untuk beroperasi.
Dari aspek ekonomi makro, kontribusi kendaraan listrik untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi Indonesia sesungguhnya tak terelakkan. Lihat saja pertumbuhan GDP per kapita yang terus meningkat, mendorong pula kebutuhan kepemilikan kendaraan bermotor. Akibatnya, emisi karbondioksida (CO2) dan kebutuhan akan impor bahan bakar dipastikan ikut terdongkrak naik.

Manuver mobil Toyota Prius berteknologi PHEV di lintasan parkiran sebuah pusat perbelanjaan di Serpong, Banten, Jumat (19/7/2019). KOMPAS/Stefanus Osa
Riset Toyota Motor Corporations menunjukkan, akumulasi penjualan kendaraan HEV Toyota secara global sejak tahun 1998 hingga 2018 telah mencapai 13 juta unit. Artinya, kontribusi pengurangan emisi CO2 dapat dikurangi sekitar 103 juta ton dan penghematan bahan bakar bensin mencapai 38 juta kiloliter.
Tentu, riset perbandingan ini baru dilakukan oleh Toyota. Sementara, industri otomotif lain juga bertarung memikirkan cara mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Belakangan ini, yang paling gencar mendorong kebijakan mobil listrik bukan hanya industri otomotif Jepang, tetapi industri otomotif China, Eropa, dan Amerika pun tak tinggal diam.
Tesla, misalnya, belakangan ini mulai menjadi perbincangan di pecinta otomotif di Indonesia, walaupun di pasar otomotif Amerika kini kehadirannya mesti mencatat daftar tunggu bagi para konsumennya. Bahkan, jasa transportasi umum Blue Bird mulai menunjukkan komitmennya dengan menghadirkan layanan transportasi dengan menggunakan kendaraan bertenaga listrik Tesla.
Dengan berbagai perbandingan yang telah dilakukan, Toyota meyakini pilihan yang paling masuk akal untuk saat ini adalah kendaraan hybrid. Mengapa? Jantung dari kendaraan listrik adalah motor listrik, baterai dan inverter (power control unit). Untuk HEV, jantung itu dikolaborasikan dengan mesin penggerak konvensional.

Deretan mobil listrik Toyota Prius jenis hybrid dan plug-in hybrid yang akan diserahkan kepada enam perguruan tinggi negeri oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono di Kementerian Perindustrian Jakarta, Rabu (4/7/2018). Airlangga Hartarto (kiri) bersama Warih Andang Tjahjono mencoba Toyota Prius jenis plug-in hybrid
Teknologi yang disematkan dalam kendaraan hybrid masih terdapat kombinasi dengan bahan bakar bensin. Listrik pada baterai penggerak kendaraan itu dihasilkan dari putaran roda yang mengisi secara otomatis. Ketika speedometer kendaraan berada di bawah kecepatan 60 km per jam, tenaga baterai lebih aktif digunakan. Namun, ketika akselerasi dibutuhkan lebih tinggi, mesin konvensional yang mengandalkan bensin akan aktif secara otomatis sehingga adrenalin performa kendaraan tetap dapat dirasakan pengemudinya.
Sementara pada mobil berteknologi PHEV, ia bisa menyimpan tenaga listrik dengan menggunakan sistem charging eksternal, yang membutuhkan infrastruktur stasiun pengisian baterai atau pengisian yang dilakukan di rumah. Namun, komponen inti mesin konvensional masih disematkan di dalam ruang mesin kendaraan.
Sementara, pada mobil berteknologi BEV, jantung penggerak mobil benar-benar hanya mendapatkan energi dari tenaga listrik yang disimpan di dalam baterai. Tidak ada sama sekali mesin konvensional di dalamnya. Karena itu, dibutuhkan infrastruktur stasiun pengisian baterai yang masif untuk menghindari mobil mogok di jalan karena kehabisan listrik pada baterai.
Berbeda halnya dengan FCEV. Jantung komponen kendaraan listrik dipadukan dengan komponen sel bahan bakar dan tangki untuk mengisi hidrogen (H2). Tentu saja ini membutuhkan campur tangan teknologi lain yang tak mudah dan tak murah.
Bagaimanapun, semua teknologi ini memiliki kelebihan maupun kekurangan saat dioperasikan di dalam perjalanan, meskipun setiap pelaku industri otomotif takkan membuat mobilitas pemilik kendaraan terhambat akibat opsi-opsi teknologi otomotifnya.

Deretan mobil Toyota berteknologi hybrid.
Hulu otomotif
Industri memiliki visi masa depan, begitu pula visi menciptakan tatanan lingkungan yang lebih baik juga dimiliki oleh pemerintah di berbagai belahan dunia. Tentunya, termasuk Indonesia.
Tak sedikit pelaku industri otomotif berjalan seiring dengan pemerintah. Memberikan mindset perkembangan teknologi otomotif, menunjukkan secara terbuka kemajuan teknologi otomotif dengan bahan bakar yang semakin ekonomis, bahkan industri pun terbuka untuk pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, membedah secara langsung kelebihan dan kekurangan teknologi mobil listrik.
Tak kurang pula, langkah infrastruktur yang dibedah bersama lembaga pemerintah terkait. Misalnya, kebutuhan akan stasiun pengisian tenaga listrik untuk kendaraan. Jangan sampai ada mobil listrik dengan teknologi PHEV dan BEV sudah dipasarkan di Indonesia, tetapi mobilitas berkendara terhambat karena minimnya sarana pengisian baterai.
Lebih jauh lagi, masih ada pertanyaan seputar tenaga listrik yang di Indonesia yang sebagian besar masih dihasilkan pembangkit dengan sumber-sumber energi yang tidak ramah lingkungan, misalnya batu bara. Akibatnya, cita-cita pengurangan emisi yang dicapai kendaraan listrik tidak membuat lingkungan semakin terjaga kebersihannya, karena energi listrik yang dihasilkan masih berasal dari fosil.

Mobil konsep Toyota FCR (Fine Comfort Ride) yang sempat dirasakan Kaesang Pangarep (kiri) saat berkunjung ke booth Toyota di ajang GIIAS 2019, Jumat (19/7/2019).
Tentu, pekerjaan rumah yang masih sangat besar dihadapi Indonesia dalam menciptakan mobil listrik. Muncul pula pertanyaan, sungguhkah industri otomotif siap?
Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Franciscus Soerjopranoto mengatakan, kebijakan mobil listrik tak semestinya mirip dengan diskusi tentang ayam dan telur. Secara prinsip, menghadapi persaingan yang semakin ketat, seluruh industri, terutama otomotif, terus berupa menciptakan inovasi-inovasi teknologi, termasuk opsi-opsi bahan bakar yang dapat digunakan sebagai penggerak hasil industrinya.
Di lain sisi, kata Soerjo, Toyota pun memiliki komitmen untuk menciptakan mobil yang semakin ramah lingkungan. Menurut dia, teknologi hybrid kini paling memungkinkan untuk diterapkan. Ke depan, alternatif teknologi otomotif yang menggunakan bahan bakar dari listrik maupun hidrogen juga sudah dipersiapkan oleh Toyota.
Di Indonesia, Toyota pun sangat terbuka dengan kebijakan pemerintah. Untuk membuka wawasan dan mengubah pola pikir dalam menghadapi teknologi otomotif ke depan, Toyota pun sudah berupaya terbuka kepada pemerintah menyangkut teknologi-teknologi otomotifnya.

Pekerja menyelesaikan produksi mesin bensin dan etanol tipe TR di Pabrik Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Sunter, Jakarta, Senin (9/5/2016).
Sebuah perubahan teknologi tidak akan serta-merta bersifat drastis. Artinya, perubahan dari produksi mobil bermesin konvensional menjadi mobil listrik murni tidak akan serupa membalikkan telapak tangan. Tidak semudah itu menghentikan pasokan komponen dari para supplier mobil konvensional yang sudah ada selama ini.
“Terlebih, walaupun ada visi mendorong diproduksinya mobil listrik, kebutuhan mobil bertenaga bensin ataupun solar masih sangat besar. Potensi pasarnya masih sangat besar. Penjualan mobil di Indonesia saja masih sekitar satu jutaan unit per tahun,” kata Bob Azam, Direktur Administrasi, Korporasi dan Hubungan Eksternal PT Toyota Manufacturing Motor Indonesia (TMMIN), yang memproduksi mobil-mobil Toyota di Indonesia.
Bob menegaskan, regulasi mobil listrik sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Setiap negara pasti membutuhkan waktu untuk benar-benar dapat mengeluarkan regulasi mobil listrik.
Bagi industri sendiri, kata Bob, masih menghadapi persoalan besar menyangkut penyediaan baterai yang dapat digunakan untuk tenaga penggerak otomotif. Biaya menyediakan baterai otomotif saat ini masih berkisar 200 dollar AS per kWh. Untuk mencapai nilai ekonomis, biaya yang diperlukan semestinya mencapai kisaran 70 dollar AS per kWh.
Masalahnya, baterai sudah menjadi komoditas. Tidak bisa serta-merta serupa barang yang semakin diproduksi banyak, harga barang itu akan turun secara ekonomis. Tidaklah demikian bagi baterai. Semakin banyak dibutuhkan, semakin mahal harga jualnya. “Sampai sekarang, belum ada titik temu untuk membuat biaya produksi baterai semakin terjangkau,” ujar Bob.

Ekspor Mobil - Deretan mobil yang akan diekspor melalui Terminal Kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (6/5/2014).
Secara teknis, kata Bob, baterai bukan sekadar hasil produksi teknologi, melainkan penting pula memperlihatkan baterai mampu membuat mobilitas kendaraan lebih efisien. Kekuatan baterai harus mampu menempuh jarak jauh ataupun siap menghadapi kemacetan. Jangan sampai pilihan kemajuan teknologi baterai, malah menjadikan mobilitas manusia terhambat.
Memang, bukan jalan mudah untuk mewujudkan target pemerintah 25 persen dari kendaraan bermotor yang dijual pada tahun 2025 adalah kendaraan berteknologi listrik. Pasar otomotif dinilai masih bisa tumbuh pesat. Rasio kepemilikan mobil di Indonesia masih sangat kecil.
Mobil bertenaga listrik masih menjadi alternatif. Bob menambahkan, para pelaku industri tak usah merasa khawatir produksi mobil konvensional bertenaga bensin atau solar akan serta-merta hilang. Butuh waktu sangat panjang dan dibutuhkan kesabaran dalam menyosialisasikan kendaraan listrik.
“Tidak perlu khawatir teknologi konvensional otomotif akan mengalami disruption,” ujar Bob.
Uniknya, industri otomotif tetap menunjukkan kebolehannya dengan memperkenalkan mobil bertenaga listrik. Dalam pameran di GIIAS 2019, misalnya, Mercedes-Benz menampilkan mobil listriknya di antara deretan mobil berbahan bakar konvensional.
Begitu pula DFSK, pendatang baru asal China di Indonesia, menempatkan salah satu konsep mobil bertenaga listrik di antara deretan mobil-mobil yang didominasi model SUV. Bahkan, pihak DFSK mengklaim bahwa mobil listrik yang dipamerkan di GIIAS 2019 sesungguhnya merupakan mobil futuristik, bukan sekadar konsep yang membutuhkan waktu lama untuk bisa diproduksi massal.
Gebrakan inovasi DFSK maupun sejumlah pemain otomotif di Tanah Air berujung pada sebuah penantian akan kebijakan pemerintah. Regulasi mobil listrik tinggal menunggu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Sosialisasi pola pikir tentang kemajuan teknologi mobil hybrid. KOMPAS/Stefanus Osa
General Manager Marketing PT Sokonindo Automobile, Permata Islam, mengatakan, “Kebijakan pemerintah masih sangat ditunggu-tunggu. Tentunya, pemerintah memiliki perhitungan tersendiri yang masih membutuhkan waktu.”
Secara prinsip, industri otomotif siap, asalkan harga jualnya kelak dapat terjangkau masyarakat. Tanpa dukungan pemerintah, mobil listrik yang sesungguhnya dapat ikut menekan emisi atau menjadikan Indonesia ramah lingkungan akan menjadi barang yang teramat mahal. (Stefanus Osa)