Pada masa Orde Baru, media yang berdaulat belum diakui. Pemberitaan yang berseberangan dengan agenda regulator dibungkam. Ruang gerak pers terbatas. Kendati demikian, fakta tetap harus disiarkan agar tidak berlalu dan menjadi legenda belaka.
Sejumlah orang (terutama jurnalis) dihadapkan pada dilema besar saat itu: bagaimana caranya menulis fakta tanpa menanggung risiko pembredelan? Sejumlah kantor media tercatat sudah mengalaminya. Sebut saja Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, Pos Sore, dan Majalah Tempo.
Jumat, 20 Januari 1978, Harian Kompas pun dibredel. Kepala Penerangan Laksusda Jaya, Letkol Anas Malik, yang menyampaikan informasi ini. Belasan hari berselang, Harian Kompas terbit kembali pada 6 Februari 1978.
Kala itu, kritik tajam terhadap pemerintah terbilang tabu. Mekanisme check and balance (untuk mengontrol para penyelenggara negara) tidak berjalan. Informasi yang menjadi dasar sistem kontrol tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Fakta yang mau disampaikan juga harus dipikirkan masak-masak.
Sejumlah orang kemudian memutar otak agar fakta tetap bisa dibaca publik. Fiksi dinilai sebagai sarana yang tepat. Sebab, imajinasi ada di luar ruang kritik obyektif. Tidak bisa disalahkan, apalagi dibredel. Namanya juga fantasi.
Fiksi dinilai sebagai sarana yang tepat. Sebab, imajinasi ada di luar ruang kritik obyektif.
Penulis Dewi “Dee” Lestari pernah berkata bahwa fiksi yang baik adalah yang terasa seperti kenyataan. Fiksi yang baik juga ialah yang seakan-akan bisa mengaburkan batas fiksi dan fakta. Fiksi karya Dee juga sering dibumbui fakta dan pengetahuan sehingga terasa nyata. Pembaca diseret ke dalam realitas yang dibangun Dee.
Jurnalis dan penulis Seno Gumira Ajidarma pun demikian. Pengalamannya meliput pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur dituangkan dalam buku kumpulan cerpen. Fakta dikemas dalam fiksi.
Hal serupa juga dilakukan oleh penulis Bre Redana. Pensiunan wartawan Kompas ini juga menyajikan fakta dalam selimut fiksi. Sebut saja novelnya yang bertajuk New Urban Sensation!. Ada kisah tentang kejadian 1965 yang disisipkan di sana.
Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Andina Dwifatma, berpendapat, hal ini sah-sah saja dilakukan. Penyampaian fakta dalam fiksi sudah banyak dipraktikkan. Menurut dia, dalam hal ini, fiksi tidak mempunyai fungsi kritik.
“Fiksi di sini bukan untuk kritik, melainkan meraih empati para pembaca. Ada sejumlah fakta yang diseleksi untuk tampil dalam fiksi,” kata Andina di Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Hal ini disampaikan pada pra-diskusi Jakarta International Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diskusi itu berjudul “Fiksi dalam Fakta”.
Ia mengakui bahwa fakta yang diterima dalam fiksi sifatnya subjektif, tergantung interpretasi masing-masing pembaca. Dalam hal ini, penulis fiksi tidak punya kuasa untuk menentukan pakem interpretasi. Sebab, ini semua basisnya imajinasi.
Fakta yang diterima dalam fiksi sifatnya subjektif, tergantung interpretasi masing-masing pembaca
Menurut Andina, salah satu cara menginterpretasikan fakta dalam fiksi bisa dilakukan melalui pihak ketiga. Pihak itu dianalogikan sebagai pihak yang punya kredibilitas untuk melaksanakan kritik sastra. Kendati demikian, faktor utama untuk menerjemahkan fakta dalam fiksi ialah wawasan si pembaca.
“Sejauh mana fakta bisa disampaikan sebagai sastra? Hal itu akan ada bila tugas wartawan untuk menyampaikan kebenaran itu tidak bisa dilakukan,” kata Andina.
Mencurigai kebenaran
Peran media dinilai sakral buat menjaga aliran fakta kepada masyarakat. Selain itu, media juga diilhami sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, fakta kini tidak lagi sakral. Berita bohong membuat masyarakat mencurigai kebenaran sekaligus mempercayai kebohongan.
Pada acara yang sama, pendiri Remotivi, Roy Thaniago, berpendapat bahwa hal ini tidak lepas dari era post-truth. Orang-orang tidak lagi menaruh kepercayaan pada pihak kredibel (dalam hal ini pers). Mereka lebih mempercayai pihak yang menyebarkan suatu berita, misalnya seseorang dalam grup percakapan daring.
“Ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa otak kita tidak didesain untuk menerima kebenaran,” kata Roy. Orang-orang cenderung memilih untuk mempercayai apa yang mereka ingin percayai. Dalam hal ini, fakta jadi hal yang sifatnya relatif.
Kondisi ini diperparah dengan hadirnya berita bohong. Di tengah derasnya aliran informasi, media pun rawan terkecoh dengan hoaks. Menurut Roy, media harus bisa memperoleh kepercayaan publik, salah satunya ialah dengan terus berpegang pada kodrat media sebagai penyampai kebenaran.
Sementara itu, Andina mengatakan, publik juga perlu mengambil peran sebagai pengawas media. Dengan ini, media yang bertugas sebagai pengawas pemerintah pun bisa diawasi pula secara adil.