Telepon Umum : Ada Menjadi Tiada
Tahun 1969 Jakarta untuk pertama kali memasang telepon umum otomatis sebanyak 100 buah. Jenis telepon ini baru berfungsi jika sebuah koin khusus dimasukkan ke dalamnya. Koin khusus ini bergambar lambang Pemerintah DKI Jakarta dan PN Telkom ini berangsur hilang karena dijadikan benda koleksi.
Jakarta sebagai kota metropolitan, dalam tahun pertama pembangunan lima tahunnya di tahun 1969 memasukkan program pemasangan telepon umum otomatis sebanyak 100 buah. Jenis telepon ini sudah banyak digunakan di negara-negara lain, seperti di Inggris yang menggunakan koin khusus senilai enam pence.
Jenis telepon ini baru berfungsi jika sebuah koin khusus dimasukkan ke dalamnya. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang kerap dipanggil Bang Ali, telah menyediakan dana 10 ribu dolar AS untuk proyek tersebut.
Sebagai tahap pertama, 36 buah pesawat telepon umum otomatis didatangkan ke Jakarta dari Malang. Menurut Kepala Daerah Telekomunikasi I Jakarta & Banten, saat itu, R van Raalten, pesawat telepon merek Siemens itu sudah 10 tahun menganggur di Malang. Karena lama tidak digunakan, pesawat telepon ini mengalami sedikit kerusakan dan perlu sedikit perbaikan.
Telepon ini akan beroperasi dengan memasukkan koin khusus. Desainnya ada gambar lambang Pemerintah DKI Jakarta dan PN Telkom di kedua sisinya. Koin ini akan dicetak di percetakan uang Kebayoran. (Kompas, Senin, 15/12/1969, hlm 2).
Terus Berkembang
Setiap warga Jakarta dapat setiap saat menggunakan telepon dimana saja tanpa harus menunggu orang lain dengan hanya mengeluarkan beberapa rupiah dari sakunya, itulah ide dari Bang Ali untuk mengadakan fasilitas telepon-telepon umum.
Targetnya dalam Pelita I, bisa terpasang 300 buah telepon umum. Program ini pun dimulai Maret 1970, dengan mengambil pesawat telepon umum dari Malang. Penempatannya dipilih di pusat keramaian seperti Bandara Kemayoran (5 buah), Pasar Senen (2), Stasiun bis Lapangan Banteng (2), RSUP Cipto Mangunkusumo (2), Kantor Telkom (3) serta masing-masing satu buah di TIM, Balaikota, DPU Jatibaru, Stasiun bis Grogol, Stasiun Kereta Api Gambir, IRTI (Monas), bioskop Megaria, Kartika Plaza dan Sarinah.
Perum Telkom yang mengurusi soal ini ternyata menghadapi banyak kesulitan. Telkom belum mampu memisahkan saluran umum dengan langganan sehingga jumlah pemakaian telepon umum dengan pendapatannya tidak pernah klop. Penggunaan pesawat telepon merek Siemens membawa konsekuensi tersendiri karena jenis ini peka. Sedikit saja kurang hati-hati dalam pemakaiannya bisa berakibat pesawat ini macet. Persoalan lain adalah pengadaan koin khusus untuk menelpon.
Menurut Ir Wardiman dari Biro II DKI, awalnya DKI hanya memesan 20 ribu koin senilai Rp 25,-/koin. (Kompas, Senin, 12/7/1971, hlm 5). Nantinya koin-koin itu akan beredar dan kembali lagi pada Perum. Kenyataannya perhitungan tersebut meleset.
Desain koin yang unik dan bagus, justru membuat koin itu menarik dijadikan benda koleksi. Fasilitas telepon umum di Bandara Kemayoran menjadi contoh “hilang”nya koin telepon karena dikoleksi oleh turis mancanegara dan domestik yang singgah di bandara tersebut. Akibatnya telepon umum ditempat itu tidak dapat digunakan dan information desk Kemayoran menyediakan telpon tanpa koin, dengan biaya sekali putar Rp 25,-. Bayangkan saja di awal penggunaannya, sudah 13 ribu koin telpon hilang alias tidak kembali.
Video Lainnya : Roda Kehidupan Telepon Umum
Meski merugikan bagi Telkom, jualan koin masih dirasa menguntungkan bagi Sabaruddin yang mangkal di stasiun bis Lapangan Banteng. Ia menjual koin itu dengan harga resmi, Rp 25,-/koin. Untuk kerja dari pukul 07.00-19.00, Sabaruddin mendapat honor Rp 4.500,-/bulan dari pihak terminal bis. “Lumayanlah, daripada nganggur,” katanya.
Boksnya berisi 500 koin, tapi setiap kali dibuka oleh petugas Telkom jarang cocok. Kadang-kadang berkurang sampai 10 buah tapi pernah pula menjadi 502 buah. Kalau berkurang, karena orang bawa koinnya. Biasanya karena tidak sabar antri giliran. Apalagi dia kan sudah bayar, kata Sabaruddin. Kalau sudah begini, hilanglah koin dari peredaran. Hal inilah yang menurut Ir Wardiman, perlu dipikirkan jalan keluarnya.
Mencetak koin khusus bukan menjadi solusi jika koin tersebut terus berkurang. Target 300 buah telepon umum terpasang di Jakarta sebelum tahun 1973 tidak bisa tercapai, karena telepon yang ada tidak dapat dipakai akibat ketiadaan persediaan koin.
Kesulitan soal koin khusus untungnya dapat teratasi dengan dikeluarkannya uang logam Rp 25,- pada tahun 1971. Ukurannya kebetulan sama dengan koin khusus yang digunakan sejak Maret 1970. Tentang kemungkinan kenaikan ongkos menelpon, Pemerintah DKI Jakarta tinggal mengganti alat-alat yang berhubungan dengan ukuran koin itu. Misalnya, jika naik menjadi Rp 50,- maka ukuran lubang koin dalam pesawat tersebut diganti dengan ukuran mata uang logam Rp 50,-, kata Ir Wardiman.
Persoalan merek pesawat telepon Siemens yang peka pun mulai ada jalan keluarnya. Pesawat telepon akan diganti dengan merek Tamura yang sudah didatangkan sebanyak 250 buah seharga Rp 13 juta. (Kompas, Selasa, 6/6/1972, hlm 1). Mulai akhir Mei 1978, sebanyak 26 telepon umum bergardu transparan akan ditempatkan di trotoar jalan-jalan utama DKI Jakarta. Lokasinya antara lain di Jalan Sudirman di depan gedung KONI (6 buah), depan Hotel Hilton, di pertigaan Bendungan Hilir, depan gedung Udatimex, depan gedung Arthaloka dan Komdak Metro Jaya.
Pasang surut
Pada tahun pertama Pelita ke II, pemda DKI Jakarta akan menambah 43 telpon umum dari 407 unit yang sudah ada di Jakarta. Penambahan fasilitas ini bekerjasama dengan pemerintah pusat antara lain dalam bidang penyediaan tanah, penyesuaian saluran telepon dengan rencana detail kota.
Pembangunan sarana telekomunikasi tidak hanya di Jakarta tapi juga ke daerah-daerah. Dalam siaran pers Departemen Perhubungan, Kamis (27/11/1980), pemerintah akan membangun 75 Stasiun Bumi Kecil (SBK), 3.500 satuan sambungan telepon umum (boks koin) dan 3.750 satuan sambungan telepon pedesaan. Pemerintah membangun 75 SBK di luar Jawa dan Bali, yaitu Kalimantan (19 buah), Sumatera (17), Sulawesi (12), Kepulauan Riau (8), Kepulauan Maluku (7), Nusa Tenggara dan Irian Jaya masing-masing (6). (Kompas, Senin, 1/12/1980, hlm 2).
Sejak 9 Oktober 1981, masyarakat Bandung sudah dapat menikmati penggunaan telepon di gardu-gardu telepon umum. Saat itu baru ada 36 gardu dari rencana 101 gardu di Bandung dan Cimahi. Menurut Kepala Human Perumtel, Sidjan, di seluruh kota penting di Jawa Barat akan didirikan lagi 136 gardu.
Dalam sebuah survey pengguna telepon umum di Jakarta, dalam sehari sebanyak 908.000 orang menggunakan 908 buah telepon umum yang tersebar di Jakarta. Hal ini mendatangkan pemasukan sebesar Rp 2,27 juta yang dihitung dari banyaknya jumlah keping uang logam Rp 25,- yang ada di dalam boks koin telepon.
Untuk menambah layanan, di dalam gardu telepon disediakan buku petunjuk telepon. Di dalam buku ini berisi nomer telepon rumah warga, kantor hingga instansi penting seperti rumah sakit, pemadam kebakaran dan polisi. Sayangnya, keberadaan buku ini kerap tidak lama alias hilang atau beberapa halamannya hilang karena disobek. Karena itu, untuk mengatasinya beberapa buku telepon yang ada di ikat dengan rantai agar tidak hilang.
Menurut seorang pejabat di Kantor Telekomunikasi Wilayah Telepon IV DKI, dari jumlah 908 buah telepon umum, angka kerusakan setiap harinya berkisar antara lima sampai 10 persen. Sebagian besar kerusakan karena dipukul-pukul atau diguncang-guncang. Padahal, mau diperlakukan sekasar apapun, dalam kotak biru itu sendiri sebenarnya sudah terdapat suatu redaman mekanis yang melindungi pesawat dari pemakaian yang kasar. Selain soal buku telepon, orang juga kerap menggunakan koin yang sudah dilubangi dan diberi benang. Dengan koin khusus ini, seseorang dapat menelpon lebih lama dari waktu tiga menit yang sudah ditentukan.
Gangguan telepon umum juga bisa disebabkan oleh permainan layang-layang. Benang layang-layang terbukti mampu merusakkan kawat telepon. Di daerah Rawamangun, dari 70 puluh gangguan telepon termasuk telepon umum, lebih dari 50 persen akibat permainan layang-layang. (Kompas, Sabtu, 3/4/1982, hlm 3).
Keberadaan telepon umum selain memudahkan masyarakat untuk berkomunikasi secara cepat dan efektif, juga membawa berkah bagi warung kaki lima yang berada disekitarnya. Setiap saat ada saja orang yang mau menukarkan uang menjadi kepingan Rp 25,- sambil membeli barang yang dijual di warung. Uang kembaliannya diminta dalam pecahan Rp 25,-. Namun bisa juga terjadi karena kebutuhan yang mendesak mereka mau menerima jumlah kepingan Rp 25,- meski nilainya tidak sebanding dengan uang yang ditukarkan. Misalnya Rp 200,- hanya mendapat enam keping Rp 25,- karena si pemilik warung hanya punya enam keping.
Pada November 1984, Jakarta memiliki lima buah pesawat telepon umum ganda, lokal dan interlokal dengan sistem koin. Pesawat ini menggunakan koin pecahan Rp 50,- dan Rp 100,-. Kahumas Wilayah Usaha Telekomunkasi IV Drs Sidjan menjelaskan bahwa kelima pesawat itu berada di lima tempat, yaitu Stasiun Telepon Otomat (STO) Sisingamangaraja (Kebayoran Baru), STO Slipi, Gambir, Gedung Sky Line di Jalan Thamrin dan Gedung Jayakarta Tower di Jalan Hayam Wuruk (Jakarta Kota).
Berbeda dengan telepon umum lainnya, jenis telepon umum ganda menggunakan sistem komputer digit. Berapa jumlah uang logam yang dimasukkan ke kotak uang logam pesawat tersebut dapat dilihat melalui layar komputer mini. Jumlah uang tersebut akan terus berkurang sejalan dengan lamanya pembicaraan. Kalau uang logam yang dimasukkan ke dalam kotak itu Rp 600,- dan pemakaiannya hanya Rp 550,- maka sisa yang Rp 50,- secara otomatis akan keluar begitu rangkaian pembicaraan selesai. Pengembalian uang hanya dalam bulatan Rp 50,- atau Rp 100,- karena pulsa dihitung Rp 50,- dan bukan Rp 60,- seperti pesawat telepon pelanggan di rumah-rumah.
Perkembangan dan kemajuan teknologi menjadikan penggunaan telepon umum perlahan berkurang dan menghilang. Gencarnya orang menggunakan telepon selular salah satunya. Ada ungkapan dahulu orang mengejar nomor (telepon) tapi sekarang nomor yang mengejar orang.
Sumber : Kompas, Kamis, 3 Juli 1969, halaman 2, Kompas, Senin, 15 Desember 1969, halaman 2, Kompas, Selasa, 20 Januari 190, halaman 2, Kompas, Senin, 12 Juli 1971, halaman 5, Kompas, Selasa, 6 Juni 1972, halaman 1, Kompas, Rabu, 12 Maret 1975, halaman 2, Kompas, Senin, 1 Desember 1980, halaman 2, Kompas, Sabtu, 31 Oktober 1981, halaman 8, Kompas, Sabtu, 3 April 1982, halaman 3, Kompas, Selasa, 20 November 1984, halaman 3.