Tak Sebatas Indah di Mata
Warna-warni cat tertoreh di antara puluhan lukisan karya para penyandang disabilitas, di antaranya terselip dua lukisan dengan turus-turus monokromatik hijau dan kuning kemerahan karya seorang anak berkarunia cerebral palsy atau mengalami kelumpuhan saraf tertentu di otak. Lukisan-lukisan itu tak sebatas indah di mata.
”Lukisan dengan cat warna gradasi kuning kemerahan ini diberi judul, Life on The Beach. Lukisan dengan gradasi warna hijau diberi judul Awal Kehidupan. Itu dua lukisan karya murid saya, Maison Kurniawan,” ujar Timotius Suwarsito (44), seorang pengajar melukis bagi anak berkebutuhan khusus di Hadiprana Art Class dan beberapa lembaga pendidikan lain di Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Suwarsito akrab disapa Kak Toto. Murid dengan kebutuhan khusus yang pernah ia ajar sejak 2003 sudah mencapai 200 orang. Suwarsito juga mengelola sebuah toko seni Outsider Art Shop di Jakarta Selatan. Ia memajang lukisan karya murid-muridnya dan anak berkebutuhan khusus lain.
Maison berusia 19 tahun merupakan salah satu dari dua muridnya yang cerebral palsy. Ia mengajarnya sejak empat tahun lalu. Kebanyakan murid lainnya dalam spektrum autisme.
”Ketika Maison melukis, tangan kanan saya menyangga tangan kanannya yang memegang kuas. Tangan kiri saya menyangga siku tangan Maison supaya bisa menggerakkan kuas,” ujar Kak Toto.
Kemudian dibuat kesepakatan. Ketika tangannya menjatuhkan kuas dan tidak menahan lagi kuas itu, berarti Maison ingin membentuk titik. Ketika kuas dijatuhkan dan ditahan, berarti ia menghendaki garis yang panjang. Maison juga menetapkan pilihan cat.
”Ternyata Maison juga mampu memberi judul karyanya dengan cara mengetik di kibor yang dirancang khusus sebagai fasilitas komunikasi bagi mereka. Ini seperti dilakukan murid saya yang lainnya, Raynaldy Halim,” ujar Kak Toto.
Narasi
Raynaldy atau Aldy (22) mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), yakni gangguan sistem otak yang memengaruhi perkembangan motorik. Ayahnya, Syamsuar Halim, mengatakan, Aldy pernah diperiksa di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat. Di sana ditemukan otaknya terpapar merkuri yang menyebabkan ADHD bagi Aldy.
Lukisan Aldy bercorak abstrak dari lelehan cat yang ia tumpahkan di kanvas. Seperti Maison, Aldy mampu menggunakan kibor untuk mengetik narasi yang diinginkan bagi setiap karya lukisannya.
Kurator seni rupa Agus Dermawan T menuliskan kisah Aldy di dalam buku berjudul, Aldy-Kisah Inspiratif Artistika Lukisan Penyandang Autisma (2018). Di buku tersebut diuraikan lukisan-lukisan dengan narasi yang dibuat oleh Aldy sendiri.
Contohnya, sebuah lukisan diberi judul Laut Ungu,berukuran 70x50 sentimeter. Dengan kibor facilitated communication, Aldy menuliskan sendiri kutipan, ”Laut ungu bagiku itu amat sangat indah. Ungu adalah warnaku di laut dan kalau aku di laut lagi berarti aku makin jaya.”
Ada lagi dengan ukuran sama diberi judul Perahu Kehidupan. Tentang itu, Aldy menulis, ”Perahu kehidupan kita dulu masih diombang-ambing. Dibawa arus ombak, tetapi kita masih bisa bertahan walaupun pusing tujuh keliling, sekarang sudah teratasi.”
Aldy tampak menyukai laut. Ia mengekspresikan identitas diri sebagai laut yang ungu, bukan biru. Perahu kehidupan yang terombang-ambing di laut besar kemungkinan adalah keluarga Aldy yang sempat bingung atas penyakit Aldy. Namun, bagi Aldy, sekarang semua itu sudah teratasi.
Jean Couteau, pengamat seni rupa asal Perancis yang menetap di Bali, mendekatkan karya Aldy dengan periode terciptanya abstrak liris atau ragam seni Tachisme yang berkembang di Eropa, terutama Perancis tahun 1940-an. Georges Mathieu dan Zao Wou-Ki adalah pelukis abstrak liris terkenal dari periode itu.
Aldy tergolong sangat produktif melukis. Menurut ayahnya, lebih dari seribu lukisan Aldy kini tersimpan di rumahnya.
Seorang remaja penyandang autisme yang juga memiliki karunia asperger, Anfield Wibowo, juga seperti Aldy yang produktif melukis. Anfield melukis dengan corak ekspresif figuratif. Dengan ratusan lukisan Anfield di atas kanvas itu, keluarganya membuatkan sebuah galeri di Ciputat, Jakarta.
Stigma
Keluarga anak berkebutuhan khusus dengan spektrum autisme tak menghendaki kondisi anak mereka dikategorikan sebagai bagian dari gangguan mental. Terutama bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu menunjukkan prestasi tersebut.
Menurut penjelasan psikiater Suzy Yusna Dewi dari Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, pada dasarnya yang kerap kita sebut gangguan mental itu adalah gangguan otak. Ada dua kategorinya, yaitu gangguan struktur dan gangguan fungsi yang berujung pada gangguan perilaku dan mental sehingga dalam dunia psikiatri dimasukkan ke dalam ranah gangguan mental.
”Gangguan struktur termasuk pada jenis spektrum autisme, epilepsi, cerebral palsy, dan gangguan neurologis lainnya. Gangguan fungsi dilihat dari hasil perilakunya, seperti pada spektrum gangguan skizofrenia dan bipolar,” kata Suzy.
Istilah gangguan mental atau gangguan jiwa juga dipersoalkan Nurhamid Karnaatmaja (56), pendiri dan pengelola lembaga sosial Istana Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) di Cianjur, Jawa Barat. Ia mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar soal stigma sosial terhadap penyandang gangguan mental dimasukkan dalam sistem ajar atau kurikulum pendidikan.
”Perbuatan anak yang nakal itu bisa menjadi bagian dari gangguan jiwa. Pejabat yang korupsi juga termasuk orang dengan gangguan jiwa,” kata Nurhamid.
Orang yang menerima stigma sebagai penyandang gangguan mental atau gangguan jiwa, bahkan disebut gila, menurut Nurhamid, adalah orang yang menyandang gangguan organ otak. Ketika memperoleh sarana dan fasilitas yang tepat, mereka yang terganggu organ otaknya bisa menunjukkan prestasi yang bermanfaat.
Tanggung jawab
Melukis terbukti menjadi salah satu aktivitas produktif bagi para penyandang gangguan otak ini. Di luar melukis, masih banyak lagi aktivitas lain yang menunjang. Namun, di Indonesia, tanggung jawab seperti itu masih banyak tertumpu pada keluarga.
Berbeda dengan negara lain yang lebih maju, seperti di Jepang. Sebuah lembaga pekerja sosial Glow di Prefektur Shiga, Jepang, menangani pemberdayaan warga yang memiliki ragam gangguan otak melalui berbagai program.
Direktur Perencanaan Glow Kazue Tabata mengatakan, berbagai program itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini berbeda ketika melihat program serupa yang dipraktikkan di Indonesia.
”Ini seperti contoh penyandang gangguan mental Dwi Putro yang beberapa kali saya datangi dan saya riset di Yogyakarta. Ia produktif melukis tanpa bantuan negara. Di Jepang, itu diserahkan sebagai tanggung jawab negara,” ujar Tabata.
Di Glow, ada berbagai program bagi para disabilitas dengan ragam spektrum gangguan otak. Bagi yang suka melukis, mereka tentu diberi program melukis. Yang suka main musik diberi program bermain musik. Begitu pula untuk jenis seni lain, seperti patung dan pertukangan.
Seorang anak dengan spektrum retardasi memiliki kesukaan memukul-mukul sesuatu. Ia diberi pekerjaan sesuai kesukaannya, yakni memukul-mukul lapisan kayu jenis tertentu untuk dijadikan bahan kertas seni khas Jepang atau bahan uang kertas yang disebut wagami atau washi.
Di Melbourne, Australia, Arts Project Australia adalah studio sekaligus galeri yang mengelola sekitar 140 seniman penyandang disabilitas dalam beragam spektrum. Organisasi ini sudah berjalan sejak 1974. Setiap hari di studio itu sekitar 40 seniman bergantian memanfaatkan ruang untuk berkarya.
Sue Roff, Direktur Eksekutif Arts Project Australia, menjelaskan, studio dan galeri ini mendorong para seniman untuk bisa mandiri, mengurus diri sendiri, di ruang bersama. Mereka juga memfasilitasi para seniman ini untuk berpameran hingga ke luar negeri. Sebagian di antara karya para seniman ini juga terjual dengan harga tinggi.
Pada akhirnya, karya seni, terlepas dari bagaimana keterbatasan ataupun kelebihan pembuatnya, tetaplah seni. Seni yang punya makna dan bernilai. (DAY)