Panggung putih itu terlihat megah, namun juga sederhana. Ada unsur industrial dari scaffolding atau rangka logam yang dibiarkan telanjang. Kain-kain putih bergambar digantung dalam tatanan sehingga membentuk partisi semu. Dalam kesederhanaan, panggung ini menjelma jadi parade seni para penggiat busana.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Panggung putih itu terlihat megah, namun juga sederhana. Ada unsur industrial dari scaffolding atau rangka logam yang dibiarkan telanjang. Kain-kain putih bergambar digantung dalam tatanan sehingga membentuk partisi semu. Dalam kesederhanaan, panggung ini menjelma jadi parade seni para penggiat busana.
Dentuman musik dari disc jockey membuka pergelaran busana oleh ESMOD Jakarta, Rabu (3/7/2019) malam di Jakarta. Ada 45 desainer didikan ESMOD Jakarta yang ikut serta. Jumlah busana yang diperagakan ada sekitar 150 buah.
Tidak ada desainer yang menahan diri dalam berkarya. Ekspresi seni mereka tumpah ruah di landasan peraga. Model-model sudah serupa kanvas bagi para senimannya.
Tengoklah tiga lingerie (pakaian dalam) karya salah satu desainer, Anggun Binta Nurbaiti. Ketiganya meniadakan kesan erotis dan menggantinya dengan kesan edgy. Agak sulit menerjemahkan arti kata edgy. Namun, maknanya sama dengan keren dengan gaya yang spesifik.
Ketiganya berupa bralette dari bahan serupa kulit. Masing-masing tampilan diracik berbeda, namun ada kesinambungan antara satu sama lain. Salah satu bralette ddipadukan dengan celana model criss-cross berwarna jingga-hitam.
Ada juga bralette yang dibuat serupa model bosque dengan jalinan tali menyilang di pinggang. Bralette tesebut lalu dipadukan dengan celana hitam polos. Tampilan terakhir dibuat serupa gaun pendek dengan potongan yang menunjukkan lekuk pinggang.
Tubuh model kemudian dibalut dengan luaran semi-transparan dari bahan serupa plastik. Penampilan tersebut dilengkapi dengan sepatu boots berhak tinggi putih dari kulit. Boots itu panjang hingga menutupi paha dengan tali menyilang di sepanjang sisinya.
Paduan boots panjang dan luaran semi-transparan tesebut seakan menutupi tubuh model di bagian yang diperlukan. Keduanya bukan distraksi, melainkan bisa menekankan detail-detail pakaian dalam secara tepat. Jangan lupakan kesan edgy yang berhasil diciptakan melalui paduan semua elemen busana.
Mendobrak yang biasa
Malam itu, para desainer ditantang untuk berinovasi. Interpretasi seni mereka gunakan untuk menjawab tantangan itu. Melalui seni pula, mereka mencoba mendobrak norma berbusana, baik melalui warna, maupun material.
Sejumlah busana mengusung konsep genderless, yakni busana yang tidak mengenal jender. Lelaki dan perempuan bisa mengenakannya. Desainer Yolivia Krisdianti ialah salah satu yang menerapkan konsep itu.
Dengan memilih segmen pakaian laki-laki, Yolivia menampilkan tiga rencangannya. Salah satu busana didominasi warna merah muda. Sementara dua lainnya berwarna biru dan kuning.
Pada salah satu busana, model mengenakan kaos tak berlengan serupa seragam tim basket. Jaket merah muda dikenakan sekenanya. Salah satu bahu sang model tertutup jaket, sedangkan bahu lainnya tidak. Jaket itu dikaitkan malas dengan ritsleting berwarna kuning cerah.
Baju itu dipadukan dengan celana jogger gombroh merah muda sepanjang betis. Adapun kaos kaki bercorak merah muda dan sepatu melengkapi tampilan sang model.
Di koleksi lain, busana serba biru ditampilkan model perempuan. Potongan busana tidak mengharuskan busana itu untuk lelaki saja. Warna dan corak yang dipilih pun netral sehingga perempuan juga bisa mengenakan koleksi ini. Warna-warna cerah tersebut tidak menghilangkan maskulinitas, produk konstruksi sosial yang dibangun selama berabad-abad. Busana ini serupa dekonstruksi terhadap stereotip yang ada.
Dalam keterangan tertulis, Yolivia menyebut karyanya sebagai cara melepas diri dari stereotip. Untuk mencapainya, cara pandang dari beragam kelompok orang harus dilihat dan dimaknai. “The more struggles come, the happier they will be. Because all that we see, is not what they feel (Semakin banyak tantangan yang datang, mereka akan semakin bahagia. Sebab, apa yang kita lihat bukanlah apa yang mereka rasakan),” katanya.
Salah satu desainer, Martina Patricia juga mencoba mendobrak norma berbusana. Bila selama ini merancang busana identik dengan bahan seperti kain, kulit, hingga plastik, Martina mencoba bereksperimen dengan kertas.
Karya yang ia tampilkan didominasi warna putih. Potongannya minimalis dengan kesan modern. Pada beberapa busana, kertas dibentuk menjadi renda sebagai aksen. Walaupun terbuat dari kertas, busana ini disebut bisa dicuci berulang kali.
“Koleksi ini merupakan alegori dari emosi dan relasinya dengan memori yang kita punya di atas kertas polos,” kata Martina melalui pernyataan tertulis.
Semua desainer dibebaskan berkreasi dan berkarya melalui busana yang mereka rancang. Kreasi itu harus dituangkan dalam enam segmen pakaian, yaitu pakaian anak-anak, laki-laki, pakaian perempuan siap pakai, pakaian dalam, couture traditional, dan new couture.
Academic Program Head ESMOD Jakarta Patrice Desilles mengatakan, karya para desainer binaan mereka menggunakan teknik buatan tangan atau handmade. Menurutnya, di era serba praktis, bekerja dengan tangan perlu digalakkan agar manusia tidak melupakan akarnya. Beberapa teknik tangan itu antara lain ialah bordir dan teknik cukil.“Ada beberapa teknik tradisional Indonesia yang kami pakai, tapi tidak digunakan begitu saja. Kami kembangkan dengan beberapa cara, misalnya dengan membatik di atas kain jeans dan menenun dengan benang yang berbeda. Kami ingin para murid mencoba hal baru dan jadi inovatif,” kata Patrice.
Menurut Patrice, peragaan busana malam itu menampung ide, inovasi, seni, dan kreasi para muridnya. Hasilnya berupa 150 busana yang telah dikerjakan sejak Oktober 2018.
Seiring dengan redamnya musik dari panggung DJ, riuh tepuk tangan mengiringi penutupan peragaan busana. Malam itu, landasan peraga penuh dengan energi kebebasan seni yang meluap-luap. (SEKAR GANDHAWANGI)