Apa sejatinya yang kita cari dari seni rupa? Salah satunya provokasi. Karya seni terasa menarik saat mampu menggugah publik secara visual. Lebih asyik lagi jika karya itu mampu merangsang kita untuk memikirkan hal-hal subtil yang melampaui apa yang terlihat.
Oleh
Ilham Khoiri
·6 menit baca
Apa sejatinya yang kita cari dari seni rupa? Salah satunya provokasi. Karya seni terasa menarik saat mampu menggugah publik secara visual. Lebih asyik lagi jika karya itu mampu merangsang kita untuk memikirkan hal-hal subtil yang melampaui apa yang terlihat.
Asumsi itu setidaknya muncul saat mengunjungi Venice Art Biennale 2019 di Venesia, Italia, awal Mei 2019. Pameran internasional itu diikuti 78 seniman undangan dan lebih banyak lagi seniman dalam 90 paviliun nasional yang disiapkan negara masing-masing.
Karya mereka digelar di dua kawasan, yaitu Giardini (taman terbuka dengan galeri bergaya klasik dan modern) dan Arsenale (kawasan gudang tua dari abad pertengahan). Perhelatan dibuka selama enam bulan lebih: 11 Mei sampai 24 November 2019.
Menyaksikan ratusan karya seni dalam pameran besar, pengunjung lazim mencari sesuatu yang memiliki ikatan emosional dengan dirinya. Mungkin sebagian mencari paviliun negaranya atau mengincar seniman tertentu yang sudah dikenal. Setelah itu, pengunjung memindai galeri dan berharap menemukan kejutan.
Proses pencarian karya menarik ini cenderung subyektif karena bergantung pada memori, pengalaman, minat, dan bacaan masing-masing. Namun, biasanya ada saja karya-karya yang mudah memikat perhatian di hati banyak orang. Kenapa begitu? Karena karya-karya itu lebih provokatif.
Salah satu karya provokatif adalah instalasi berjudul ”Flight” kreasi Roman Stanczak. Ini satu-satunya karya di Paviliun Polandia. Satu pesawat utuh, sepanjang sekitar 7 meter, dan diameter sekitar 2 meter, dihadirkan memenuhi ruang pamer.
Ewa Mielczarek, wakil komisioner Paviliun Polandia, saat ditemui di ruang pameran di Giardini, menjelaskan, Roman Stanczak membeli pesawat komersial dari seorang pengusaha di Italia. Badan pesawat itu lantas dibongkar, kemudian dirakit ulang. Perlu beberapa bulan untuk melakukan semua itu.
Tak hanya ukuran nyata, pesawat ini memicu sensasi karena seluruh tubuh pesawat diobrak-abrik dan seluruh elemen interiornya ditampilkan di luar. Terpaparlah tetek bengek jeroan pesawat: mulai dari jalinan kabel yang ruwet, pipa, sekrup, onderdil elektronik, kursi, kokpit, sampai papan kabin. Semuanya diumbar liar begitu saja.
Bagian dalam pesawat yang biasanya disembunyikan kini dibuka secara telanjang. Rusak dan berantakan. Pengunjung pun kaget, dan penasaran, apa pesan dari kegilaan visual itu? ”Karya saya berbicara tentang kehidupan,” kata Stanczak singkat pada katalog pameran.
Pesawat dengan jeroan yang terburai itu bisa saja ditafsirkan sebagai cerminan perilaku kita dalam media sosial belakangan ini. Teknologi komunikasi berbasis internet itu membuat sebagian publik kecanduan untuk terus saja mengunggah berbagai arsip pribadi, mulai dari rumah, pekerjaan, keluarga, pertemanan, orientasi politik, sampai hobi dan kebiasaan sehari-hari.
Kebiasaan itu memang menikmatkan karena menyalurkan hasrat narsisisme diri. Namun, perilaku itu juga memaparkan seluruh jeroan diri kita sampai nyaris ”telanjang”. Situasi ini cukup rentan. Tak hanya privasi kita kian tipis, ketelanjangan juga memberi peluang kemungkinan data itu diambil dan dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan kejahatan. Banyak sudah korban penipuan berbasis data di media sosial.
Membuka-membatasi
Problem kehidupan pula yang diulik seniman India, Shilpa Gupta, lewat instalasi berjudul ”Untitled”. Satu gerbang pintu besi dipasang di dinding ruang pameran. Dengan bantuan teknologi, daun pintu itu bergerak sendiri: mengayun, lantas menabrak dinding di bagian kiri dan kanannya. Gerakan itu terus berulang sehingga merontokkan permukaan kedua sisi dinding itu.
Pengunjung yang melintas pun terenyak. Sebagian dari mereka berhenti untuk mengamati gerakan pintu besi yang terus saja menghantam ke kiri-kanan itu. Apa maknanya?
Pintu adalah akses orang untuk memasuki satu bangunan atau kawasan. Namun, saat berbarengan, pintu juga membatasi akses. Pemisahan ini kerap memicu persoalan.
Bagi kelompok di dalam, pintu bisa menjadi katup pengaman. Tetapi, bagi orang di luar, pintu berarti penguasaan teritori tertentu. Siapa pun dari luar (liyan) tak bisa masuk leluasa keluar-masuk, kecuali seizin tuan rumah. Ini semacam pengasingan.
Karya itu sungguh jitu mengorek problem saat ini. Sekarang dunia semakin terbuka. Lewat jaringan internet, terutama media sosial, masyarakat bebas berkomunikasi nyaris tanpa batas, massal, seketika, dan interaktif. Namun, manusia justru getol membatasi diri, meringkuk dalam cangkang eksklusif, seraya mencurigai kelompok luar.
Masih terkait topik ini, ada instalasi karya seniman Meksiko, Teresa Margoles, berjudul ”Muro Ciudad Juarez”. Dia memboyong tembok asli dari Ciudad Juarez, kawasan di Meksiko yang berbatasan dengan Amerika Serikat. Tembok, yang penuh lubang peluru dan dilengkapi kawat berduri, didirikan di tengah ruang pamer di Giardini.
Secara fisik, tembok itu mengusik. Secara simbolik, karya ini mengingatkan pada kekerasan dan narkoba di Ciudad Juarez yang menjatuhkan banyak korban. Lebih jauh, tersirat juga sentilan atas rencana Presiden Donald Trump untuk membangun tembok pembatas antara AS dan Meksiko. Ini bagian dari kampanye pembatasan imigran.
Bagi pendukung Trump, tembok mewakili hasrat memperketat keamanan negara. Namun, bagi warga Meksiko, dunia internasional, bahkan sebagian warga AS sendiri, dinding pembatas itu justru mengabsahkan politik xenofobia (ketakutan pada asing), keangkuhan, dan prasangka.
Masa yang menarik
Ada banyak topik yang diangkat para seniman di Venice Art Biennale 2019. Sebut saja soal pencarian identitas, konflik, keterbelahan, diskriminasi, feminisme, kesenjangan ekonomi, sampai spiritualitas. Semuanya merundung kehidupan manusia zaman sekarang.
Jangan bayangkan berbagai masalah itu disajikan dalam kemasan yang menyeramkan. Banyak seniman memilih kemasan yang tidak terduga. Bukan meratapi, seniman justru membantu publik untuk memandang persoalan secara lebih santai, bahkan menyenangkan. Lewat karya seni yang menggugah seluruh indera, kita dapat membangkitkan kesadaran yang selama ini tersembunyi.
Ini selaras dengan tema ”May You Live in Interesting Times” yang diusung kurator Ralph Rugoff untuk Venice Art Biennale 2019. Bagi dia, seni bisa menjadi sarana untuk mengimajinasikan kembali kemungkinan dari ”waktu menarik” sekarang ini. Seni mengajak kita untuk menelisik kompleksitas masalah yang dihadapi manusia dan menjelajahi berbagai kemungkinan jalan keluar. Karya seni berpotensi merangsang dialog antara seniman, karya, dan pengunjung di ruang pamer.
”Pameran sedapat mungkin membangkitkan kemampuan seni untuk membuka mata pada hal-hal yang kurang disadari terkait kehidupan masa kini sehingga publik bisa mengubah cara dan sudut pandangnya,” catat Rugoff dalam katalog pameran.
Direktur Hayward Gallery di London itu juga menyoroti paradoks media sosial yang memudahkan komunikasi, tetapi sekaligus menebarkan penyesatan atau kesalahan informasi. Medsos (yang kian dipegang sebagai referensi oleh para penggunanya) rentan menumbuhkan percakapan yang bias sesuai kecenderungan penggunanya. Saat komunikasi semakin terbuka, justru publik semakin terdorong untuk terjebak dalam lingkaran kepentingan masing-masing.
Paradoks medsos itu yang secara jitu ”dimainkan” oleh instalasi karya Roman Stanczak, Shilpa Gupta, dan Teresa Margoles di atas tadi. Mereka memprovokasi publik untuk tidak berhenti hanya menatap karya, tetapi mencoba berdialog dengan gagasan mereka dan mengaitkannya dengan masalah global dewasa ini.