Inovasi Tarian Klasik
Senjata keprajuritan, seperti tombak, busur, anak panah, dan keris, dimainkan di pentas tarian bedhaya yang sudah terkembangkan. Hadir pula pemaduan sentuhan tari khas empat etnis Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja disuguhkan dalam Festival Bedhayan di Jakarta. Inilah pesta untuk sebuah inovasi tarian klasik kita.
Keraton-keraton Jawa mewariskan seni tari bedhaya yang disakralkan sebagai tarian kontemplatif dan meditatif karya sang raja. Tarian ini sebelumnya hanya untuk dipentaskan di istana saja.
Kerajaan Kasunanan Surakarta pada era 1970-an mengawali membuka diri dan mempersilakan masyarakat untuk tidak sekadar menikmati jenis tarian bedhaya tersebut. Masyarakat diajak pula mengembangkan tari bedhaya untuk menyesuaikan zamannya.
Hasil pengembangan tari bedhaya inilah yang kemudian dinamai sebagai tari bedhayan. Sebuah Festival Bedhayan kemudian digagas pegiat budaya Jaya Suprana (70) melalui lembaga yang didirikannya, Jaya Suprana School of Performance Art.
Lembaga ini menggandeng Yayasan Swargaloka serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan festival tersebut pertama kali tahun 2018. Tahun 2019, Festival Bedhayan diselenggarakan kedua kalinya, berlangsung Sabtu (22/6/2019) di Gedung Kesenian Jakarta.
Turut unjuk pentas sebanyak 14 kelompok peserta dari komunitas pegiat seni pertunjukan tari antara lain dari Jakarta, Bandung, dan Surakarta atau Solo.
Jaya Suprana dalam sambutan pembukaan festival ini memberikan sentuhan khusus tentang alam sunyi tari bedhayan ini. Ia mengambil kisah satu-satunya kelompok penari tunarungu Smile Motivator asal Bandung, yang mengikuti festival ini. ”Teman-teman dari Bandung ini menunjukkan kepada kita tari bedhayan sebagai gerak di alam sunyi.”
Seni pertunjukan umumnya memberikan performa melawan kesunyian dari alam yang lekat dengan kebisingan. Kali ini kita diberikan refleksi alam lain sebuah pertunjukan dari alam sunyi, alam hening, alam tanpa suara.
”Teman-teman dari Bandung menyadarkan kita. Ini memperkuat perjuangan kesenian mahkotanya adalah kemanusiaan,” ujar Jaya.
GRAy Wandansari Koes Murtiyah (59) dari Keraton Kasunanan Surakarta menjadi salah satu pengamat festival ini. Sebelum pementasan, ia menyebutkan, ada satu jenis tari bedhaya, yaitu tari Bedhaya Ketawang, yang tidak boleh dikembangkan atau bahkan dipentaskan di luar keraton.
”Tari bedhaya harus dibawakan sembilan penari perempuan yang menyiratkan simbolik tertentu,” kata Koes Murtiyah, yang pernah meraih penghargaan Fukuoka Prize pada tahun 2011 untuk bidang kebudayaan.
Jumlah sembilan penari itu diambil dari nilai kultural Jawa tentang babahan hawa sanga yang memiliki makna menutup sembilan lubang di tubuh kita. Kiasan ini simbol penyangkalan diri atau menghindarkan diri dari godaan hawa nafsu duniawi. Tari Bedhaya Ketawang yang tidak boleh dipentaskan di luar keraton itu dipentaskan dalam keraton ketika seorang raja naik takhta.
Tentu saja mudah kita pahami, andai tari Bedhaya Ketawang dipentaskan di luar keraton. Ini bisa jadi dimaknai sebagai simbol pengangkatan raja lain di kerajaan itu.
Jenis tari klasik bedhaya lainnya biasanya diciptakan sebagai kontemplasi seorang raja atas suatu peristiwa tertentu. Para penarinya juga bisa para prajurit perempuan. ”Penampilan tari bedhaya di keraton juga menjadi olah fisik keprajuritan perempuan,” kata Koes.
Merah putih
Panggung festival pun dibuka dengan pementasan para penari Swargaloka School of Dance dari Jakarta dengan judul Tari Bedhayan Gula Kelapa/Merah Putih. Dandanan khas penari Keraton Jawa bernuansa merah dan putih dikenakan, mengimbuhi keanggunan dengan semangat juang dan keperkasaan sosok perempuan dalam rengkuh gemulai tarinya.
Iringan gending atau instrumen musik gamelannya melantun lembut di sepanjang tarian, seperti angin sepoi yang membius. Di babak akhir tarian instrumen gamelan itu makin bersemangat, para penari satu per satu menyongsong sebilah tombak yang tersedia di sisi belakang panggung pentas.
Mereka menari dengan menyandang sebilah tombak. Pencipta tari ini, Dewi Sulastri, ingin mengisahkan perempuan sebagai tiang negara yang menopang tegaknya bangsa. Wanita adalah simbol kekokohan dan kewibawaan bangsa.
Pentas dilanjutkan dengan Tari Bedhayan Ura-ura dari Jaya Suprana School of Performing Arts. Dewi Sulastri juga menjadi pencipta tari ini.
Ura-ura dalam bahasa Jawa itu bermakna sebagai senandung yang melagukan ketenteraman hati dan pikiran. Tari Bedhayan Ura-ura tidak kurang untuk menggelar ekspresi yang sama melalui gerak tubuh lambat yang kontemplatif dan meditatif.
Pentas ketiga, ditampilkan Bedhaya Rancaekek dari kelompok Smile Motivator, Bandung, dengan tujuh perempuan penari yang tunarungu. Pelatihnya, Eneng Subartin, mengatakan, seharusnya tarian itu dipentaskan sembilan orang, tetapi dua lainnya tidak bisa hadir.
Enenglah yang memberi aba-aba gerak para penari tunarungu itu dari bawah di sisi muka panggung. Seusai pementasan itu, tidak diduga oleh panitia ataupun para hadirin, Jaya Suprana naik panggung.
Jaya Suprana tergopoh penuh semangat. Tirai yang sudah tertutup diminta Jaya untuk dibuka kembali. Para penari yang sudah keluar panggung pentas diminta masuk kembali. Ia meminta hadirin untuk berdiri dan memberi tepuk tangan sekali lagi untuk mereka. Ekspresi spontan Jaya itu mengharukan.
Pementasan dibagi ke dalam dua sesi dengan jumlah penampil masing-masing tujuh kelompok. Kelompok tari Sanggar Shanti Budaya Hayuwerdhi dari Solo mengakhiri pementasan dengan suguhan tari yang berjudul Bedhaya Saptongkoro.
Roh bedhaya
KP Sulistyo Tirtokusumo (66), yang juga menjadi pengamat Festival Bedhayan, mengimbuhkan pesan, pengembangan tari bedhaya memberi nilai tersendiri dalam pengembangan seni pertunjukan, tetapi hendaknya pengembangan itu tidak terlepas jauh dari roh bedhaya.
Sulistyo belajar dari empu tari RM Wignyohambegso dan RT Kusumokesowo, kemudian bergabung ke Pawiyatan Kebudayaan Keraton Surakarta. Ia mengawali karier penarinya pada usia 16 tahun sebagai penari tokoh utama Rama dalam Sendratari Ramayana di Prambanan.
Kemudian Sulistyo berkecimpung dalam berbagai pementasan Sendratari Ramayana dan tari tradisi lainnya di dalam ataupun luar negeri. Ia juga pernah menjabat antara lain sebagai Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga Direktur Budaya Taman Mini Indonesia Indah.
Hadir pula sebagai pengamat Wahyu Santoso Prabowo (67) yang mengawali karier penari sebagai pemenang lomba tari Cakil tingkat Jawa Tengah pada 1971 serta Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.
Festival Bedhayan berhasil menyuguhkan pesta inovasi tarian klasik Jawa dengan sentuhan ragam budaya Nusantara. Semoga menjadi ilham bagi bangsa ini untuk terus bergerak maju.