Situs Toleransi nan Agung
Sebelum toleransi ramai digaungkan dewasa ini, semangat keberagaman sudah dijunjung tinggi Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13). Buktinya terlihat pada jejak tiga aliran agama di situs Candi Bumiayu di Kabupaten Panukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.
Matahari baru beranjak naik ketika sekeluarga asal Prabumulih, Sumatera Selatan (Sumsel), sampai di pelataran Kompleks Candi Bumiayu, Jumat (7/6/2019). Diiringi kicau burung dan udara segar pagi hari, mereka membentangkan tikar di hamparan rumput hijau tak jauh dari situs Candi Bumiayu 8.
Satu keluarga yang terdiri dari Ayah-ibu dan tiga anak itu pun memulai rekreasi dalam rangka libur Lebaran (Idul Fitri) di satu-satunya kompleks percandian yang relatif utuh dan lengkap di Sumsel itu. Walaupun pemeluk Islam, keluarga itu tak canggung harus berlibur di kompleks percandian yang bernapaskan Hindu-Buddha tersebut.
”Kami ke sini nak bewisata dan jingok jejak sejarah yang ado di sini. Kami dak nyangko, ruponyo ado tempat percandian cak ini di Sumsel. Kagum jugo, wong zaman dulu pacak buat bangunan cak ini,” ujar Bambang Eko (46), sang kepala keluarga tersebut.
Berdasarkan data pengelola Candi Bumiayu, kompleks percandian yang pertama kali ditemukan orang Belanda, EP Tombrink, pada 1864 itu memang tempat favorit warga Sumsel pada masa liburan. Jumlah pengunjung bisa mencapai 3.000 orang per hari pada masa liburan. Pada hari biasa, jumlah pengunjung tak sampai 1.000 orang per hari.
Ada 11 situs berupa gundukan tanah di kompleks percandian seluas 15 hektar itu. Lima bangunan telah selesai dipugar dan diberi cungkup (candi 1, candi 2, candi 3, candi 7, dan candi 8). Di sekitar situs itu terhampar rumput hijau yang terawat serupa lapangan golf yang dihiasi pepohonan rindang.
Di tengah kompleks candi, ada tiga gedung koleksi reruntuhan candi. Tempat itu menyimpan pecahan patung atau arca dan batu berelief yang tadinya menempel di candi. Gedung koleksi utama yang terletak di antara candi 2 dan 3 menyimpan sejumlah benda yang relatif utuh, foto-foto, dan penjelasan mengenai sejarah percandian tersebut.
Di luar lingkungan percandian, terdapat perumahan penduduk dengan arsitektur unik, khas daerah pedalaman Sumsel. Di sekitarnya masih ada hutan, kebun karet yang lebat, dan setengah kilometer (km) ke arah timur candi mengalir Sungai Lematang, salah satu cabang Sungai Musi.
Kompleks Candi Bumiayu tidak terlalu jauh dari Palembang, ibu kota Sumsel, yakni berjarak sekitar 100 km ke arah barat Palembang atau 2-3 jam perjalanan darat. Jalannya cukup bagus, hampir semua sudah beraspal dan cor beton. ”Dak rugi datang ke sini. Apolagi masuknyo gratis,” kata Atika Purnama (49), pengunjung asal Palembang.
Semangat keterbukaan
Pemangku adat Desa Bumiayu, Ahmad Empe, mengatakan, keberadaan situs candi itu sudah diketahui warga setempat sejak dahulu. Ketika itu, kompleks percandian itu dianggap sebagai reruntuhan keraton Kerajaan Gedebong atau Kebon Undang.
Gedebong atau kebon artinya tempat atau wilayah, sedangkan Undang artinya mengajak atau mengundang. Maksudnya, kerajaan itu adalah tempat untuk semua orang. ”Dari dulu, tempat ini ado semangat keterbukaan. Idak meleh-meleh, siapo bae boleh dateng dan tinggal di sini,” katanya.
Namun, menurut Empe, seiring masuknya Islam pasca-abad ke-13, perlahan kompleks percandian itu ditinggalkan. ”Walaupun idak lagi melakukan ritual di sano, warga tetap nyago (jaga) tempat itu. Caronyo lewat larangan lisan yang bersifat mistis, seperti warga diingetke kalau ngambek (ambil) sesuatu dari percandiaan itu, pacak dak biso balek. Beberapo adat di sini jugo siso dari masa Hindu-Buddha, cak adat nganten dan beberapo tarian,” ujarnya.
Kepala Desa Bumiayu Saprin mengatakan, jumlah penduduk desanya sekarang 670 jiwa yang hampir semuanya memeluk Islam. Namun, semangat keterbukaan dan saling menghargai yang diajarkan leluhur masih mereka junjung tinggi.
Sejak candi 1 selesai dipugar pada awal 1990-an, warga pemeluk Hindu ataupun Buddha mulai berdatangan untuk melakukan ritual agama di percandian itu, terutama saat Nyepi dan Waisak. Walaupun generasi saat itu tidak pernah lagi melihat ritual agama Hindu ataupun Buddha, warga tidak melarang pemeluk Hindu/Buddha melangsungkan ritual agamanya tersebut. ”Kito saling menghormati. Bahkan, kami nyago kendaraan mereka pas mereka lagi sembahyang,” katanya.
Memuliakan keberagaman
Kompleks percandian yang dibangun pada abad ke-8 sampai ke-13 itu terdapat corak Hindu Saiwa, Buddha Mahayana, dan Hindu Tantris. Artinya, walaupun mayoritas menganut Buddha Mahayana, penguasa Sriwijaya tidak membatasi ataupun mematikan aliran lain untuk eksis dan berkembang.
Arkeolog Balai Arkeologi Sumsel Sondang M Siregar menjelaskan, tim peneliti menemukan tiga unsur keagamaan dari Kompeks Candi Bumiayu. Pertama, mereka menemukan sejumlah arca Hindu Saiwa di candi 1, seperti Siwa Mahadewa, Agastya, dan Nandi. Ciri utama arca Hindu Saiwa adalah penggambaran/perawakannya tenang (santa).
Lalu, peneliti menemukan sejumlah jejak Buddha Mahayana, seperti arca singa di candi 1. Arca singa umumnya dipahat pada percandian Buddha. Singa mempunyai makna penghormatan kepada Buddha Gautama. Selain itu, peneliti juga menemukan arca logam Buddha dan Awalokiyeswara di candi 2. Temuan jejak Hindu Saiwa dan Buddha Mahayana itu berasal dari periode yang sama, yakni sekitar abad ke-8 dan ke-9.
Terakhir, peneliti menemukan sejumlah arca bernapaskan Hindu Tantris di candi 3, seperti Siwa Bhairawa, Dewi Bhairawi, dan makhluk ghana (penjaga candi) yang tubuhnya dihiasi tengkorak. Ciri utama arca Hindu Tantris adalah penggambaran seram (ugra). Adapun Hindu Tantris adalah aliran yang mendapatkan pengaruh dari paham Buddha Tantrayana, yakni aliran Buddha yang bersifat gaib/mistis. Jejak tantris itu berasal dari abad ke-13.
”Temuan-temuan dari Candi Bumiayu mengindikasikan toleransi beragama sudah berlangsung di sana. Keberlangsungan toleransi itu tentu berkat dukungan penguasa Sriwijaya yang mengizinkan kebebasan mendirikan bangunan ibadah dan melaksanakan kegiatan keagamaan sesuai kepercayaan masing-masing,” kata Sondang.
Arkeolog Balai Arkeologi Sumsel, Retno Purwanti, menyampaikan, karena sifatnya sebagai kerajaan maritim dan kerajaan dagang, serta berada di pesisir, Kerajaan Sriwijaya terbiasa berinteraksi dengan orang luar. Tak heran, penguasa Sriwijaya punya sifat terbuka, termasuk dalam kepercayaan.
Bahkan, mereka menaruh minat tinggi kepada kepercayaan-kepercayaan baru. Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan Ke-18, Akar Pembaruan Islam Indonesia karya Prof Dr Azyumardi Azra MA pada 2004, Sriwijaya tercatat sebagai salah satu perwakilan Nusantara yang paling awal berinteraksi dengan Islam pada abad ke-7/ke-8.
Selain sudah banyak pemeluk Islam yang datang berdagang ataupun menetap di Sriwijaya, penguasa Sriwijaya dua kali mengirim surat resmi kepada penguasa Islam di Timur Tengah. Pada surat kedua yang tertuju kepada Khalifah Umar bin Abdul Al-Aziz (berkuasa pada 717-720), penguasa Sriwijaya meminta dikirimkan seorang yang dapat mengajarkannya tentang Islam.
Semangat keberagaman itu pun masih melekat di benak masyarakat Sumsel yang notabene menjadi pusat Sriwijaya. Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin menyatakan, di Sumsel, tak pernah terjadi kerusuhan antarumat beragama ataupun antaretnis karena setiap pihak sangat menjunjung toleransi (Kompas, Senin, 10 Juli 2017).
Leluhur Nusantara, terutama dari masa Sriwijaya, membuktikan bahwa keberagaman itu bukan masalah. Sebagai generasi penerus, sepatutnya generasi sekarang meneladani hal-hal positif warisan dari para leluhur.