Inovasi Tanpa Henti Fujifilm
Matahari di bulan Mei menyengat tubuh sesaat pintu kereta Shinkansen terbuka lebar di Stasiun Sendai, Jepang, tengah hari. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Dengan menggunakan kereta Shinkansen, butuh waktu tak kurang dari dua jam untuk menempuh jarak 368 kilometer dari kota Tokyo menuju Sendai.
Disambut kesibukan di stasiun ini, kami melanjutkan perjalanan ke Taiwa dengan menggunakan bus untuk menuju pabrik Fujifilm. Kami memerlukan waktu 30 menit untuk sampai ke kompleks pabrik di utara kota Sendai ini.
Seperti suasana pabrik lainnya di Jepang, kompleks pabrik Fujifilm ini terkesan sepi, kental dengan arsitektur minimalis dan fungsional. Pabrik seluas 22,7 hektar dan pernah mengalami kerusakan akibat gempa bumi Tohoku tahun 2011 ini merupakan pusat perakitan lensa dan kamera serta pengemasan terakhir sebelum kamera ataupun lensa dipasarkan ke seluruh dunia.
Di pintu lobi pabrik, kami yang merupakan rombongan awak media dari berbagai belahan dunia disambut anggota staf dan petinggi pabrik dengan ramah. Sebelum melihat proses produksi di ruang pabrik, kami diberi informasi mengenai proses di dalam pabrik serta sejarah perkembangan perusahaan Fujifilm saat ini.
Pabrik Fujifilm di Taiwa ini difokuskan pada desain, uji coba, analisis, evaluasi produk, dan perakitan lensa Fujinon seri GF, XF, dan XC serta bodi kamera seri XT, GFX, dan lainnya.
Selain di Taiwa, ada tiga pabrik lain di Jepang. Pabrik di Mito memproses pembentukan kaca lensa, pabrik Morigane untuk proses pemoles lensa, dan pabrik Sano untuk proses bodi lensa. Pabrik proses pemoles lensa lain di luar Jepang ada di Filipina serta Tianjin dan Suzhou di China.
Dipandu Hiroto Nakata, Konsultan Pemasaran Imaging Fujifilm Singapura, kami memasuki ruang pengerjaan sensor kamera dan optik lensa dengan mengenakan kostum pengaman yang steril. Pekerja di ruangan ini pun mengenakan pakaian yang sama dengan yang kami gunakan.
Meski dibantu dengan teknologi komputer, hampir sebagian perakitan kamera dan lensa di sini masih mengandalkan keahlian tenaga manusia, mulai dari menyambung kabel pita hingga memasang sekrup sambungan komponen kamera. Komponen sensor kamera dan optik lensa diperiksa satu per satu untuk menjaga kualitas produksi sebelum melalui serangkaian proses selanjutnya.
Di salah satu ruang di dalam pabrik ini terlihat rangkaian anatomi lensa Fujinon seri XF 100-400 mm F 4.5-5.6 R LM OIS WR diurai satu per satu. Setidaknya ada 14 elemen kaca optik di tubuh lensa telezoom ini. Di ruang ini pula kami melihat demo bagaimana lensa tersebut di-adjust atau disetel agar lensa tersebut fokus pada bidang obyek dengan bantuan monitor komputer.
Fujifilm memiliki sejarah panjang lebih dari setengah abad dalam memproduksi lensa kamera, terutama lensa kamera sinema. Tahun 1960, Fujifilm memproduksi lensa Fujinon W135 mm F5.6 untuk kamera format besar (large format) dan lensa tele lain W 90 mm F8 dan T 300mm F8.
Pada tahun yang sama, Fujifilm meluncurkan kamera SLR (single-lens reflex) seri ST801 dan ST605 II yang menggunakan baik negatif film maupun film slide 35 mm. Pada tahun 1980, Fujifilm fokus ke pasar kamera medium dan large format GFX 645 dan GF 670.
Inovasi
Berbahagia, saat kunjungan, pabrik ini tengah berproduksi merakit lensa seri GF dan kamera digital medium format GFX 100 yang baru diluncurkan sehari sebelumnya, 23 Mei 2019, pada ajang Fujikina 2019 di Cross Dock Harumi, Tokyo.
Di pabrik ini, komponen kamera GFX 100 diperlihatkan cacahan modul secara detail berikut jumlah komponennya. Contohnya, untuk konstruksi bodi bagian depan kamera saja tertanam 320 komponen untuk dirakit. Belum lagi masih ada empat konstruksi potongan bagian tubuh kamera lain, seperti IBIS (In Body Images Stabilization), konstruksi baterai, serta bagian belakang dan atas tubuh kamera. Paling tidak dalam konstruksi satu kamera ini terdapat 860 komponen.
Kamera seri GFX 100 terbaru Fujifilm ini merupakan generasi penerus dari seri GFX 50S/R yang hanya memiliki video rekam full HD (1.920 x 1.280) dan foto berkapasitas 51 megapiksel.
Di salah satu pojok ruangan, seorang karyawan dengan saksama memeriksa permukaan sensor CMOS berkemampuan 102 megapiksel dengan layar monitor komputer untuk menjaga kualitas sensor agar terhindar dari kotoran dan cacat sebelum sensor itu dicangkokkan ke tubuh kamera seri GFX 100.
Sensor CMOS 102 megapiksel ini memiliki bidang 43,8 mm x 32,9 mm, panjang diagonal sensor 55 mm, merupakan sensor terbesar untuk ukuran kamera digital medium format saat ini. Sensor ini memiliki kemampuan untuk sensitivitas, noise and dynamic range, konstruksi BIS (Backside Illuminated Structure) yang terdapat di sensor, untuk menjaga kualitas dan kecepatan membaca data saat merekam foto dan juga kecepatan menemukan titik fokus pada mata dan wajah subyek.
Ada penyempurnaan pada sistem deteksi wajah atau mata di kamera ini dengan sistem AF Generation 4.1 terbaru untuk mempertinggi akurasi peningkatan 500 persen lebih dekat saat merekam video dan rentang deteksi mampu mendeteksi lebih kecil 7 persen dari subyek yang ada pada bingkai gambar.
Sensor ini dibingkai dengan IBIS dengan image stabilizer 5 aksis untuk mencegah guncangan dan menjaga kestabilan gambar pada saat bukaan rana rendah ketika pengambilan foto atau video.
Untuk mendukung kinerja sensor berukuran besar ini, sensor ditunjang dengan image processor data X-Processing 4. Prosesor ini bekerja pada still images atau foto original file atau RAW data mencapai 16 bit dengan RAW (RAF original format) data sekitar 200 megabyte tanpa kompresi.
Kepekaan cahaya ISO 50 hingga 102.400, ukuran perbandingan foto 4:3 (11.648 x 8.736), dan data 16 film simulasi, seperti Provia, Astia, Velvia, Pro Negative, Classic Chrome, Eterna, Monochrome, Acros, dan Sepia.
Kami mencoba mengambil foto dengan resolusi 102 megapiksel pada kesempatan peluncuran kamera GFX 100 ini. Foto RAW yang dihasilkan kamera ini saya perbesar dengan cropping sekitar 200 persen dengan aplikasi Photoshop. Detail dan warna terlihat masih tetap konstan.
Untuk merekam video, kamera ini didukung dengan DCI (Digital Cinema Initiatives) 4K (4.096 x 2.160 - oversampling 11.604 x 4.352) 30fps, codec H 265/H264 dengan bitrate 400 Mbps (All Intra), 4:2:2 10 bit HDMI Output dan 4:2:0 10 bit internal kamera, audio rekam 48 kHz 24 bit. Untuk video ditanam juga film simulasi sinema Eterna, F-log, dan HLG (4K HDR10). Durasi rekam video hingga 60 menit.
”Ada empat kelebihan di kamera ini, resolusi 102 megapiksel, IBIS, fokus deteksi wajah dan mata, dan resolusi video 4K,” ujar Haryanto R Devcom, fotografer lanskap Indonesia, yang mencoba kamera GFX 100 saat hadir pada peluncuran kamera ini di Tokyo.
Melihat bagaimana pabrik kamera Fujifilm yang terus berinovasi tanpa lelah ini semakin meyakinkan, perkembangan teknologi kamera digital semakin didominasi kamera sistem mirrorless. Tak hanya pada teknologinya, tetapi juga pasar sekarang ini yang paling menentukan.