Bukan Kipas Biasa
Tak sekadar pengusir gerah, kipas-kipas ini menjadi karya seni yang dilirik hingga mancanegara. Kualitas dan ketekunan para seniman kipas membuahkan keindahan yang tak lekang waktu. Sebagai benda mode, kipas apik dipadupadankan dengan aneka busana cantik. Ia bisa menjelma menjadi benda pajangan indah yang sarat makna.
Sejarah panjang kipas dituturkan I Wayan Wiraperdhana, generasi ketiga pemilik kipas Wiracana asal Bali. Pada gelaran Inacraft 24-28 April, kipas Wiracana menjadi salah satu produk yang dikerubungi pembeli. Saking banyaknya pesanan, Wiraperdhana sampai menolak beberapa di antaranya secara halus.
Keindahan kipas Wiracana memikat hati. Ada beragam pilihan motif dan warna. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 35.000 hingga jutaan rupiah. Kipas yang dibuat 100 persen dengan tangan dari bahan tulang, misalnya, dijual Rp 15 juta.
Harga ini sepadan karena setiap kipas dibuat dengan kesungguhan hati. Calon konsumen bakal jatuh hati menyaksikan keindahan bulu-bulu halus cenderawasih atau merak yang sedang memekarkan ekor terukir dalam lipatan kipas. Ada pula motif geometris ala tenun endek khas Bali hingga batik mega mendung Cirebon.
”Harus paham taste buyer. Pasar Spanyol suka warna cerah, Jerman suka gelap. Bali lebih senang ke desain tradisi,” ujar Wiraperdhana.
Menggabungkan kecanggihan teknologi dan sentuhan tangan, kipas Wiracana telah menembus pasar internasional. Kipas sutra Wiracana diterima antara lain di pasar Spanyol, Jepang, Amerika, Meksiko, Perancis, Jerman, Italia, Australia, dan negara lain di Asia Tenggara. Dari awalnya diproduksi hanya 10 kipas per hari, Wiracana kini bisa menghasilkan hingga 1.000 kipas per hari.
Kebanggaan memakai kipas antara lain ditanamkan dengan hadirnya duta kipas Wiracana, yaitu penyanyi Anggun C Sasmi. Dalam berbagai kesempatan, seperti ketika menjadi juri ajang pencarian bakat X Factor atau Asia’s Got Talent, Anggun kerap memakai beragam jenis kipas Wiracana yang disesuaikan dengan busana yang ia kenakan.
Untuk urusan kebutuhan mode pula, para penggemar kipas biasanya membeli lebih dari satu kipas agar serasi dengan penampilan. Dari sejarah, kipas bahkan pernah menjadi lambang status sosial. Kalangan yang disebut sosialita, misalnya, kerap hadir pula dengan kipas-kipas cantik sebagai pegangan di tangan. ”Sosialita enggak mungkin pakai sobekan karton ketika gerah,” tambah Wiraperdhana.
Produk seni
Pelukis Sasya Tranggono juga menggunakan kipas sebagai salah satu cara untuk memperkenalkan karya lukisannya. Beberapa dari lukisan wayang dan bunga yang dibuatnya dituangkan dalam wujud kipas. Diproduksi di pabrik kipas Wiracana, kipas-kipas seni Sasya yang dilabeli Sasyita Heritage ini didesain sendiri oleh tim Sasya Tranggono.
Setelah diproduksi, kipas Sasyita terbukti banyak diminati terutama oleh konsumen dari mancanegara sebagai buah tangan. Desain yang unik menarik minat banyak orang. Kipas ini dijual Rp 500.000 untuk kipas ukuran 23 cm dan Rp 900.000 untuk ukuran 30 cm. Desain kipas Sasyita berupa lukisan wayang karya Sasya. Lukisan wayang ini unik karena tanpa pakem seperti umumnya wayang Jawa.
”(Selama) 30 tahun melukis, wayang Bu Sasya beda karena dibuat sesuai imajinasi dia,” kata Merchandise Manager Sasyita Heritage Dyah Permata Sitawati.
Penyuka lukisan Sasya Tranggono juga bisa memiliki karya lukisan dalam wujud kipas dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan membeli lukisannya.
Tentu tidak semua karya lukis bisa dituangkan dalam lipatan kipas. Karena itu, gambar harus benar-benar dipilih agar sesuai dengan bentuk setengah lingkaran kipas kemudian dilipat.
Lukisan harus terlebih dulu melalui proses re-desain sebelum dicetak dan diaplikasikan ke kipas. Pelanggan kipas Sasyita adalah para pencinta kipas yang bisa membeli 10 kipas berbeda sesuai warna baju.
Kipas semakin eksklusif karena dibuat dari bahan kain satin yang berkilat. ”Lukisan aslinya bling bling dan tiga dimensi dengan glitter. Ini kipas seni, bukan kipas biasa,” tambah Dyah.
Menyasar niche market atau ceruk pasar yang spesifik, Wiracana terus berinovasi. Produknya pun semakin beragam, tak lagi mengandalkan kipas kayu cendana yang dulu populer di era 1980-an. Sebanyak 70 persen dari rangkaian produksi sudah menggunakan mesin dan 30 persen lainnya tetap memakai sentuhan tangan. Saat ini, Wiracana mempekerjakan 65 perajin.
Sangat spesial
Minat konsumen semakin didongkrak karena tidak ada pemberlakuan pesanan minimal untuk produk customized. ”Keunikannya, desain kita unusual. Kompetitor enggak banyak. Desain up to date. Copy-nya enggak banyak. Mesin dibuat sendiri dan cara produksi sangat spesial,” ujar Wiraperdhana.
Karena tidak ada silabus dalam produksi kipas, mesin-mesin tersebut diproduksi sendiri. Teknologi tinggi yang digunakan antara lain berupa penggunaan laser engraver. ”Di sini in house production, produksi dikerjakan sendiri dari bahan kayu gelondongan sampai jadi kipas dikerjakan di sini,” tambahnya.
Sejarah Wiracana bermula dari industri rumahan pada awal 1970-an bernama Dewi Ambha. Ayah dari Wiraperdhana, Ketut Wiranantaja, mewarisi usaha ini dari sang ayah lantas mulai melebarkan sayap bisnis. Wiranantaja yang bekerja di kapal pesiar melihat tingginya peluang menembus pasar luar negeri. Begitu pulang ke Bali, ia mulai menciptakan mesin demi menyambut tingginya permintaan kipas.
Meskipun berada di ceruk pasar sempit, Wiracana terus berkembang karena telah menguasai pasar dan memiliki klien tetap. Generasi penerusnya pun sudah menjadikan produksi kipas sebagai seni yang mendarah daging.
Bisnis kipas pun disebut-sebut sebagai bisnis yang tak lekang oleh waktu, tetapi menuntut ketekunan tinggi.