JAKARTA, KOMPAS – Kebutuhan pasar terhadap serat viscose-rayon diprediksi meningkat pada 2020. Hal ini menyusul berkembangnya tren busana ramah lingkungan di industri mode.
Direktur PT Asia Pacific Rayon (APR) Basrie Kamba, Rabu (1/5/2019) di Jakarta, mengatakan, penggunaan viscose-rayon sebagai bahan baku pakaian belum sepopuler bahan lain, seperti katun dan poliester. Namun, perkembangan serat ini diprediksi berprospek positif.
Kebutuhan serat viscose-rayon di Indonesia saat ini adalah 6-7 persen atau setara dengan 5,7 ton. Sementara itu, kebutuhan viscose di dunia baru tiga persen.
“Permintaan global akan viscose-rayon diperkirakan akan meningkat menjadi delapan persen atau setara delapan juta ton pada 2020. Itu karena industri mode mulai gencar mempromosikan tren fesyen berkelanjutan,” kata Basrie.
Basrie mengatakan, viscose-rayon merupakan salah satu serat ramah lingkungan. Serat ini berasal dari perkebunan pohon akasia yang bersertifikat dan dapat dilacak atau dipertanggungjawabkan.
Selain menggunakan bahan baku terbarukan, viscose-rayon juga dapat diurai. APR selaku produsen viscose-rayon pertama di Indonesia mengklaim, seratnya dapat terurai ke alam dalam waktu kurang dari dua tahun.
Pabrik APR memiliki kapasitas produksi sebesar 240.000 ton per tahun. Hasil produksinya diserap oleh industri dalam negeri dan diekspor ke sejumlah negara, seperti Pakistan, Turki, dan Vietnam.
Busana muslim
Viscose-rayon dinilai sesuai sebagai bahan baku produksi busana muslim. Itu karena viscose-rayon bersifat sejuk, tingkat penyerapan warnanya tinggi, menyerap keringat, dan memiliki efek “jatuh”.
Desainer sekaligus Ketua Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengatakan, serat viscose-rayon lebih sejuk dibandingkan bahan biasa. Maka dari itu, bahan ini cocok untuk membuat pakaian muslim di negara tropis.
“Kami juga mengolah lagi desain tekstil (viscose-rayon). Misalnya, kami campur bahan ini dengan katun, linen, dan poliester untuk meraih desain yang diinginkan,” katanya.
Hasil eksplorasi busana Ali dan tujuh desainer Indonesia lain pun ditampilkan pada Muslim Fashion Festival (Muffest) di Jakarta Convention Center, 1-4 Mei 2019. Adapun desainer yang terlibat adalah Ali Charisma, Hannie Hananto, Weda Githa, Sofie, Raegitazoro, Novita Yunus, Dibya Hody, dan Aldre.
Di sisi lain, Indonesia dinilai berpotensi menjadi kiblat busana muslim dunia. Menurut State of the Global Islamic Economy Report 2018/2019, Indonesia merupakan satu dari 15 negara ekonomi Islam terbesar di dunia. Dari sejumlah variabel penilaian, sektor modest fashion atau pakaian tertutup Indonesia menempati peringkat kedua terbaik dunia (Kompas.id, 22/4/2019).
Pada 2017, busana muslim tercatat menyumbang 270 miliar Dolar AS bagi perekonomian global. Kontribusi sektor ini diprediksi meningkat pada 2023 menjadi 361 miliar Dolar AS.
Menurut Ali, penggunaan viscose-rayon berpotensi berkembang di Indonesia. Itu karena serat tersebut pun sejalan dengan filosofi fesyen berkelanjutan. Ia berharap, IFC akan mengembangkan busana berbahan dasar viscose-rayon di masa depan.