Siasat Besar Petani Kota
Kebun di kota kini berkembang pesat. Berbagai siasat dilakukan ”petani-petani” urban. Mereka bersiasat dengan keterbatasan ruang dan memanfaatkan teknologi. Berkebun di kota pun menjadi langkah besar perubahan zaman. Para petani kota ini giat untuk benar-benar menjadikan kebun mereka di kota berdampak besar.
Dua pekerja telaten menyiangi tanaman di Arumdalu Farm, Scientia Square Park, Serpong, Tangerang, Kamis (24/4/2019) siang itu. Mereka merapikan selada, cabai, kacang hijau, pokcoy, dan beragam sayuran lainnya. Beberapa pengunjung berjalan memperhatikan tanaman, mencium bau daun, atau sekadar berswafoto.
”Tadi pagi ramai, anak-anak sekolahan berkunjung,” kata Albert Arron Pramono, CEO Arumdalu Farm. Perusahaannya itu menjalin kerja sama dengan Scientia Square Park membuat kebun terintegrasi dalam satu lingkungan.
”Di sini kita bisa metik sayuran, minum minuman khusus, makan burger tempe, atau sekadar berfoto dengan bunga matahari di belakang. Coba dirasa ini peppermint-nya, semua organik,” kata Albert menunjukkan tanaman vertikal.
Tanaman-tanaman ini sebelumnya lahir dan berkembang dari sebuah kebun seluas 1 hektar yang berada tidak jauh dari tempat itu. ”Your Simple Garden” adalah nama kebun tersebut, tempat berbagai eksperimen tanaman dilakukan.
Selain itu, kebun ini juga menjadi tempat menggagas bangunan ramah lingkungan. Kebun itu menjadi laboratorium mengembangkan tanaman perkotaan. Ratusan hingga ribuan tanaman ada di dalam kebun. Berbagai teknologi pertanian baru turut dikembangkan.
Sebelumnya, tidak pernah terbayang di benak pemuda 28 tahun ini bisa menjadi penggerak di pertanian perkotaan. Meski keluarganya menyenangi tanaman, bisnis utama mereka jauh dari pertanian.
Ketika ingin membuat resor di Belitung, mereka kelimpungan. ”Selada aja enggak ada. Gimana mau bikin salad, masak sayur? Terus kami memang ingin menanam stroberi di pinggir laut sana,” cerita Albert.
Kebun itu lalu dikembangkan sebagai tempat uji coba teknologi. Berbagai tanaman dicoba ditanam dengan berbagai pendekatan. Teknologi hidroponik, aquahidro, dan vertikal diupayakan. Hingga akhirnya semua teknologi itu diterapkan di resor mereka.
”Sekarang selada sama stroberi sudah tumbuh di sana,” tambahnya tersenyum.
Melihat potensi itu, tambah Albert, urban farming menurut dia adalah bagian dari solusi masa depan. Berbagai hal bisa tumbuh dan lahir dengan pendekatan inovasi dan teknologi terbaru yang bisa saling membantu. ”Ini bisa menjadi industri masa depan. Sebagai bagian dari solusi pangan, edukasi. Saya aja yang berkecimpung di dunia tanaman bisa kolesterol, gimana yang lain?” kelakarnya.
Kesadaran akan kesehatan juga diketahui betul oleh pemilik Disc Tarra, Wirawan Hartawan (60). Ia menyebut dirinya sedang kepepet ketika akhirnya berkenalan dengan pertanian hidroponik. ”Saya kena penyakit. Kepepet. Musik enggak laku lagi dan banyak bajakan. Saya sakit dan harus makan sayur lalu menjadi baik. Memacu saya, ternyata kalau tanam sayur sendiri bisa lebih sehat,” kata Wirawan.
Namun, tidak hanya sekadar untuk sehat dan hobi, Wirawan belakangan menjadi pengusaha hidroponik. Setahun terakhir, aneka sayur dan buah hidroponik yang diproduksinya di dua areal pertanian di Bogor dan Tangerang sudah menembus pasar. Sayur dan buah yang dilabeli merek Eat Me ini bisa dijumpai antara lain di Total Buah, Kem Chicks, Farmers Market, dan Food Hall.
Belajar hidroponik dengan teknologi modern dari luar negeri membuat produktivitas tanaman dengan sistem hidroponik miliknya bisa 17 kali panen dalam setahun tanpa peduli cuaca hujan ataupun terik matahari. Wirawan kemudian membagikan ilmunya di beragam forum edukasi tentang pertanaman hidroponik yang benar.
Dia sempat diundang Pemerintah DKI Jakarta sebagai narasumber seminar tentang pertanian urban bagi ibu-ibu PKK hingga pemuda karang taruna. Selama dua tahun terakhir, Wirawan telah melatih lebih dari 6.000 orang untuk pertanian hidroponik skala rumahan.
Meskipun telah didukung peralatan canggih, pertanaman hidroponik tetap membutuhkan sentuhan hati. Setiap tiga hari sekali, misalnya, areal pertanaman hidroponik harus dibesuk untuk memastikan ketercukupan nutrisi, mengecek PH air, dan kontrol hama.
Kebutuhan besar
Menanam dan mengembangkan tanaman di perkotaan juga dilakukan pemilik jaringan restoran hidangan khas Vietnam, Praba Madhavan dan Le Thi Tuyet, istrinya. Berangkat dari kebutuhan untuk bisa selalu menepati janji kepada konsumen, sejak awal mereka memutuskan menanam dan menyediakan sendiri, terutama sejumlah tanaman bumbu, yang mereka perlukan sehari-hari.
Selain untuk menjamin keotentikan rasa dan kelezatan hidangan-hidangan yang mereka sajikan, konsep menyediakan langsung bahan baku masakan dari kebun ke meja hidang (farm to table) juga berhubungan erat dengan komitmen mereka memastikan kesegaran dan kesehatan masakan yang ada kepada para konsumen.
”Saat pertama buka empat tahun lalu kebutuhan pasokan bahan baku untuk dua restoran kami masih cukup dipenuhi dari lahan di kediaman saya di Jakarta dan sebidang tanah di Cimanggis, Bogor,” ujarnya.
Seiring bertambahnya jumlah gerai restoran mereka di beberapa lokasi di Jakarta, kebutuhan pasokan bahan bumbu segar juga semakin bertambah. Kebutuhan akan beberapa jenis tanaman bumbu khas itu sama sekali tak bisa ditawar. Keotentikan cita rasa dan kelezatan menjadi pertaruhan.
Ada setidaknya 5 dari total 10 macam tanaman bumbu khas kuliner Vietnam, yang ditanam sendiri oleh Praba. Saat berkunjung ke rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta, Praba masih memanfaatkan sekitar 200 meter lahan pekarangannya untuk menjadi kebun kecil bagi beragam tanaman herba, selain tanaman hias, yang membuat kediamannya menjadi sangat asri dan rindang.
Beberapa jenis tanaman herba yang ditanam sendiri adalah daun kemangi Vietnam (rau que) yang total kebutuhan per bulannya bisa mencapai 400 kilogram, daun ketumbar Vietnam (ngo gai), yang total kebutuhan 200 kilogram per bulan, serta daun sirih Vietnam (la lot) dan daun tia (tia to), masing-masing kebutuhannya mencapai 100 kilogram per bulan.
”Semua untuk memenuhi 13 outlet restoran kami. Dengan menanam sendiri, kami bisa berhemat besar sekali. Bisa sampai ratusan juta rupiah. Lebih hemat, walau kami harus mempekerjakan orang khusus untuk menanam dan merawat sendiri. Total kami mempekerjakan empat tenaga khusus,” kata Praba.
Ia lalu bekerja sama dengan pihak Lippo Mal Kemang agar dapat memanfaatkan lahan di bagian atap untuk ditanami beberapa jenis tanaman herba. Kebetulan pihak pengelola pun sepakat dan mendukung konsep pemanfaatan lahan untuk urban farming seperti itu.
Sebanyak 600 pot ditata di atas lahan seluas 150 meter persegi di area atap gedung. Selain dua tenaga khusus yang bertanggung jawab atas proses di sana, sejumlah kru restoran juga dilibatkan.
Kemandirian pangan
Chef Chris Salans, pendiri dan pemilik jaringan restoran Chris Salans Group (CSG) di Bali, yang membawahkan dua restoran ternama, Spice by Chris Salans dan Mozaic Restaurant Gastronomique, juga menanam sendiri bahan baku masakannya. Tanamannya ditanam di lahan seluas 700 meter persegi dengan berbagai variasi tanaman, khususnya yang sulit ditemukan.
”Contoh daun laksa atau kesum, edible flowers macam rosemary, dill, atau bunga kenikir, sulit didapat di Indonesia sehingga kami harus tanam sendiri. Saya juga terpaksa menanam sendiri untuk memenuhi kebutuhan bunga jeruk purut. Hampir 10 tahun belakangan saya tidak kunjung dapat petani yang bersedia menanam dan memasoknya ke saya,” katanya.
Meski begitu, menurut Chef Chris, langkah menanam sendiri kebutuhan bahan baku masakan seperti itu justru dinilainya membutuhkan biaya tambahan, baik untuk lahan maupun tenaga kerja.
Berbanding terbalik dengan Chef Chris, kemandirian pangan justru menjadi obsesi Fathulloh (39) untuk memberdayakan masyarakat agar mereka menghasilkan sayur-mayur sendiri. Ketua Komunitas Petani Kota itu juga mendorong warga agar bertani ikan dengan akuaponik.
Sistem itu merupakan kombinasi akuakultur dengan hidroponik. Kombinasi itu menciptakan simbiosis mutualisme. Budidaya sayur-mayur diintegrasikan dengan memelihara ikan. Kotoran ikan dan endapan pangan yang terkumpul di kolam menyebabkan toksisitas melonjak.
Sistem akuaponik membuat air itu bermanfaat untuk menyuburkan tanaman. Kualitas ikan lebih baik dan sayur-mayur yang dihasilkan juga lebih sehat karena dibudidayakan secara organik. Sayur-mayur yang telah dihasilkan dengan sistem itu seperti sawi, tomat, kangkung, cabai merah, cabai rawit, dan terung. Sementara ikan yang bisa dibudidayakan antara lain patin, nila, gurami, lele, dan mas.
Paling penting, tambahnya, para petani bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Jika produktivitasnya tinggi, lahan seluas 1 meter persegi saja bisa menghasilkan 5 kilogram sayur-mayur dan 50 kg ikan. Penghasilan yang diperoleh setiap petani bervariasi bergantung pada harga sayur dan ikan yang dipanen. Kangkung dipanen setelah 1 bulan, sementara lele setelah 2,5 bulan.
”Komunitas Petani Kota memang ingin membangun ketahanan pangan. Masyarakat bisa mencukupi kebutuhan pangan sendiri sekaligus mendapatkan penghasilan,” ujar Fathulloh.
Jika di kota saja semangat bertani mulai menyala, komunitas ini ingin menyemangati para petani di desa agar tak meninggalkan dunia bertani. Jadi, yuklah, kita bertani (lagi)!