Penunjang Ekosistem Gaya Hidup Aktif
Semenjak Samsung Galaxy S8 dan Apple iPhone X diluncurkan pada 2017, dunia ponsel pintar seakan-akan telah mencapai titik jenuh. Semua produsen berlomba-lomba menciptakan ponsel berlayar penuh; terkadang ada yang memilih menggunakan tonjolan (notch) untuk kamera depan, ada pula yang membiarkan bagian dahi dan dagu ponsel sedikit lebih luas demi layar yang tak terganggu. Sekali-kali juga ada yang menggunakan desain berani seperti kamera yang dipasang di elemen bergerak, muncul bagaikan periskop dari badan ponsel, seperti Oppo Find X.
Baca juga: Oppo Find X dan Tantangan Inovasi ke Dunia
Pada 2018, dua raksasa ponsel dunia itu pun tidak memberikan upgrade yang signifikan kepada gawai andalan mereka. Ponsel iPhone XS dan Galaxy S9 tidak memenuhi nafsu publik yang selalu ingin dipuaskan dengan kreasi baru. Tidak ada perubahan signifikan pada bentuk fisik kedua ponsel tersebut dibandingkan dengan pendahulu masing-masing. Dua tahun di dunia teknologi terasa sungguh lama.
Namun, kini tampaknya Samsung dapat mengembuskan sedikit angin segar bagi iklim gawai yang mulai terkesan stagnan. Ketika dua bulan lalu Galaxy S10 diluncurkan, ponsel itu muncul membawa fitur yang eksentrik: lubang kamera depan bagaikan dilubangi perforator kertas (hole-punch) dan pemindai sidik jari ultrasonik yang dibenamkan di bawah layar ponsel.
Ketika dua bulan lalu Galaxy S10 diluncurkan, ponsel itu muncul membawa fitur yang eksentrik: lubang kamera depan bagaikan dilubangi perforator kertas (hole-punch).
Galaxy S10 adalah ”anak tengah” di antara S10E dan S10+. S10E memiliki layar 5,8 inci; S10 6,1 inci, dan S10+ 6,4 inci. Kompas berkesempatan untuk mencoba menggunakan S10 selama beberapa hari.
Di awal penggunaan, fitur yang menarik perhatian adalah kesan betapa luasnya layar S10. Bezel atau bingkai ponsel begitu tipis, kesan ini diperkuat dengan layar yang melengkung di bagian sisi ponsel. Berdasarkan kalkulasi GSMArena, rasio luas layar dengan bodi ponsel adalah 88,3 persen; yang terbesar saat ini. Rasio ini lebih besar dibandingkan dengan iPhone XS Max (84,4 persen); Huawei Mate 20 Pro (86,9), atau Google Pixel 3XL (82,8).
Dengan bingkai yang begitu sempit di keseluruhan sisinya, menggunakan ponsel 6,1 inci dengan satu tangan bukan menjadi hal yang sulit.
Tampilan layar pun tajam dan cerah, dampak dari penggunaan panel AMOLED bersertifikasi HDR (high dynamic range) yang memiliki resolusi 1440p (3040 x 1440 piksel). Layar S10 tetap cerah dan mudah dibaca, bahkan di bawah sinar terik matahari Jakarta.
Layar ini harus sedikit diganggu dengan kamera depan yang terletak di bagian ujung kanan atas S10. Pada awalnya memang sedikit distraktif. Akan tetapi, dibandingkan dengan notch, hole-punch cenderung lebih tersembunyi. Begitu perhatian terfokus terhadap apa pun pekerjaan yang sedang dilakukan, baik mengetik maupun menonton Youtube, lubang kamera pun seakan lepas dari perhatian.
Meski demikian, jika masih terasa mengganggu, melalui pengaturan, pengguna dapat ”menyembunyikan” lubang kamera ini dengan membuat status bar menjadi hitam. Terlebih lagi apabila Night Mode diaktifkan, keseluruhan user interface S10 menjadi hitam dan kamera pun semakin tersembunyi.
Berbeda dengan Galaxy S10+ yang memiliki dua kamera depan, S10 hanya memiliki satu kamera dengan sensor beresolusi 10 megapiksel. Sementara pada kamera utama, S10 memiliki tiga kamera; ultra-lebar (ultra-wide), lebar, dan panjang atau telefoto.
Kamera ultra-lebar yang beresolusi 16 megapiksel ini mencakup pandangan 123 derajat atau 12 mm jika diekuivalensikan dengan kamera full frame 35 mm. Adapun modul kamera lebar memiliki resolusi 12 megapiksel dengan panjang fokal ekuivalen kamera full frame adalah 26 mm. Modul telefoto memiliki panjang fokal 52 mm dan resolusi 12 megapiksel. Fitur optical stabilizer hanya ada untuk kamera wide dan tele.
Keberadaan tiga modul kamera ini memberikan kemudahan bagi pengguna jika harus memotret dalam berbagai situasi.
Meski demikian, kualitas sensor dari tiga kamera itu tidak identik. Kualitas sensor terbaik digunakan di modul lebar. Sensor ini memiliki ukuran piksel terbesar (1,4 mikrometer) dan sistem autofokus phase-detection (PDAF). Phase-detection memungkinkan autofokus yang lebih cepat dan akurat dibandingkan dengan sistem konvensional, yakni contrast-detection. Ukuran piksel yang lebih besar memungkinkan gambar yang lebih minim noise.
Apabila digunakan di suasana yang terang, perbedaan antara ketiganya tidak begitu mencolok. Akan tetapi, ketika di dalam ruangan dan pencahayaan redup, akan terlihat penurunan kualitas yang relatif terlihat pada kamera telefoto; noise yang lebih kentara dan gambar yang soft. Meski demikian, secara umum, kualitas gambar S10 termasuk yang terbaik.
Ultrasonik
Fitur mencolok lainnya adalah pemindai sidik jari yang berada di bawah layar S10. Selama dua tahun terakhir, baik pada S8 maupun S9, lokasi pemindai sidik jari berada di bagian punggung guna memungkinkan luas layar yang maksimal di bagian depan.
Lokasi pemindai di punggung sebetulnya tidak mengorbankan faktor ergonomis karena jari telunjuk dapat mudah mencapai lokasi pemindai itu. Namun, dengan lokasi pemindai sidik jari di bagian punggung, terkadang dapat sedikit menyulitkan penggunaan ketika gawai diletakkan telentang di atas meja, misalnya.
Pemindai bawah layar ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, OnePlus 6T sudah menerapkan fitur ini. Namun, teknologi pemindai OnePlus 6T hanya berbasis optik, sedangkan S10 menggunakan ultrasonik. Pemindai optik konvensional hanya ”melihat” sidik jari sebagai sebuah citra dua dimensi, sedangkan pemindai ultrasonik membaca sidik jari sebagai sebuah rekaman tiga dimensi. Keamanan pun disebut lebih terjamin.
Penggunaan sensor ultrasonik ini juga berhasil menanggulangi permasalahan sepele yang sering mengganggu pemindai sidik jari konvensional, yakni jari yang lembab atau basah. Pengalaman Kompas, dalam keadaan jari atau layar yang basah, pemindaian dapat berjalan dengan sukses.
Pemindai sidik jari S10 ini pun adalah yang pertama kali mendapatkan sertifikasi Biometric Component Certification Program secara penuh dari FIDO, organisasi standardisasi keamanan identifikasi daring dunia.
Namun, tanpa adanya penanda khusus saat layar mati, pengguna perlu beradaptasi menemukan titik yang tepat untuk meletakkan jari dan memindaikannya. Perlu diingat, pemindai ultrasonik ini tidak dimiliki S10E. S10E memiliki pemindai capacitive konvensional di tombol pengunci layar (lock screen button).
Fitur S10 yang eksentrik lainnya adalah kapabilitas PowerSharing. S10 tidak hanya dapat diisi ulang dayanya menggunakan peranti wireless charging, tetapi juga bisa mengisi ulang daya peranti lain secara nirkabel.
Ekosistem gaya hidup aktif
Kapabilitas mengisi daya peranti lain secara nirkabel tampaknya menjadi benang pengikat sebuah ekosistem penunjang gaya hidup yang mulai dibangun Samsung. Momentum peluncuran S10 digunakan untuk meluncurkan arloji pintar terbarunya, Galaxy Watch Active, dan earbuds tanpa kabel Galaxy Buds.
Desain Galaxy Watch Active menunjukkan evolusi perkembangan desain arloji pintar, dari yang awal begitu besar dan canggung, kini mulai menjadi begitu sederhana tetapi elegan.
Arloji pintar ini pun tidak terlalu besar. Galaxy Watch Active memiliki ukuran diameter 40 mm, tidak sebesar arloji-arloji pintar lainnya. Layar sebesar 1,1 inci ini pun menggunakan teknologi AMOLED; cahaya terik tidak menjadi masalah. Tingkat kecerahan 5 dari 10 yang disediakan sudah mencukupi.
Untuk mengontrol arloji, selain melalui layar sentuh pada muka arloji, juga ada dua tombol di sisi kanan. Tombol di bawah adalah home button sekaligus tombol daya (power). Adapun tombol satunya adalah tombol untuk ke menu sebelumnya (back button).
Sistem tatap muka (interface) Galaxy Watch Active cukup intuitif. Menu aplikasi dapat ditampilkan dengan tombol menu, dan widget yang menampilkan notifikasi, kalender, detak jantung, tingkat stres, hingga pencatat konsumsi air minum, dapat diakses dengan menyapu (swipe) muka utama arloji.
Galaxy Watch Active memiliki GPS dan secara otomatis akan mendeteksi aktivitas, dari lari di luar ruangan, lari di atas treadmill, bersepeda, berenang, hingga gerakan yoga dan senam. Arloji ini tahan air, tetapi sebaiknya apabila berada di dalam air, mode Water Lock diaktifkan terlebih dahulu. Mode ini berguna untuk menghindari sentuhan-sentuhan yang tidak disengaja terhadap layar arloji.
Sesuai dengan namanya, Galaxy Watch Active juga mendorong penggunanya untuk makin aktif. Apabila pengguna terdeteksi selama satu jam tidak bergerak, arloji ini akan mengingatkan pengguna untuk meregangkan otot. Galaxy Watch Active juga memiliki cip NFC untuk layanan pembayaran.
Baca juga: Membangkitkan Produktivitas dengan Arloji Pintar
Salah satu keluhan terhadap arloji pintar adalah baterai yang terbatas. Ketika Apple Watch pertama kali diluncurkan pada 2015, banyak kritik mengenai durasi penggunaan yang begitu terbatas; daya butuh diisi ulang setiap hari. Namun, kini Galaxy Watch Active, berdasarkan pengalaman Kompas, hanya butuh diisi ulang dayanya setiap dua hari sekali.
Galaxy Buds
Galaxy Buds mungkin tampak seperti jawaban Samsung terhadap Apple Airpods yang kini sangat populer. Tetapi, Galaxy Buds adalah edisi ketiga dari earphone tanpa kabel Samsung. Bahkan, edisi pertama earbuds tanpa kabel Samsung, yakni Gear IconX, diluncurkan pada 2016 beberapa bulan sebelum Airpods muncul.
Terlepas dari telinga tanpa sengaja adalah kekhawatiran utama dengan earphone tanpa kabel. Berbeda dengan earphone yang akan tertahan kabel, muncul sedikit keraguan untuk mengenakan earphone tanpa kabel untuk beraktivitas yang berkemungkinan dapat menyebabkannya terlepas dari telinga. Apple Airpods memiliki kecenderungan untuk mudah lepas, bahkan sudah ada beberapa produsen aksesori yang membuat sejenis kaitan untuk menjaga Airpods tetap di telinga.
Namun, permasalahan ini teratasi oleh Galaxy Buds. Galaxy Buds memiliki karet pembungkus berbentuk pipih meruncing (wingtips) yang dapat mengaitkan peranti ke lekukan telinga. Dalam kotak Galaxy Buds disediakan tiga ukuran wingtips yang dapat dipilih sesuai dengan bentuk lekukan telinga. Posisi Galaxy Buds di telinga pun terasa lebih pasti. Galaxy Buds pun juga tahan terhadap keringat, sangat cocok untuk digunakan sambil berolahraga.
Galaxy Buds dioperasikan dengan menyentuh sisi luar peranti saat dikenakan. Seperti tombol pada earphone berkabel, satu sentuhan berarti pause atau play; dua sentuhan artinya lagu berikutnya; dan tiga sentuhan untuk kembali ke awal lagu atau lagu sebelumnya.
Galaxy Buds pun juga tahan terhadap air keringat, sangat cocok untuk digunakan sambil berolahraga.
Tidak bijak untuk berharap Galaxy Buds memiliki kualitas audio setara headphone kelas atas. Namun, memadai untuk mendengar musik berbagai genre. Dengan meng-install aplikasi Galaxy Wear pada ponsel, pengguna pun dapat mengatur setelan ekualiser Galaxy Buds sesuai dengan selera.
Galaxy Buds juga memiliki Ambience Mode. Dalam sebuah situasi ideal, mode ini memungkinkan pengguna tetap dapat mendengar suara di sekitar sehingga tetap dapat bercakap-cakap sambil mendengarkan musik.
Satu kekurangan Galaxy Buds adalah kapasitas baterai charging case yang rendah. Kotak penyimpan yang juga berfungsi sebagai alat untuk mengisi ulang daya milik Galaxy Buds hanya dapat menyimpan daya yang setara sekitar tujuh jam. Charging case Apple Airpods, sementara itu, dapat menyimpan daya setara 19 jam.
Galaxy S10, bersama dengan Galaxy Watch Active dan Galaxy Buds, menjadi sebuah kombinasi serba bisa, penunjang gaya hidup yang aktif. Namun, berbagai kemudahan ini pun memiliki label harga; Galaxy S10 dijual dengan harga resmi Rp 12,9 juta, Galaxy Buds Rp 1,9 juta, dan Galaxy Watch Active Rp 3,5 juta.
Harga yang cukup tinggi. Namun, jika beberapa tahun yang lalu peranti wearable masih dalam masa infansi yang diliputi berbagai persoalan, kini gawai-gawai tersebut sudah mulai matang dan menjadi andal. Apakah mungkin banderol yang mahal itu memang sepadan?