Dihibur Negara Lain
Jika Anda dilarang orangtua pergi ke kelab malam karena khawatir terpengaruh peminum alkohol atau terjebak dalam kehidupan malam, cobalah pamit main ke pusat-pusat kebudayaan asing yang ada di Jakarta. Di sana Anda bisa ikut clubbing alias ajeb-ajeb tanpa merasa bersalah. Sebab, ini pusat kebudayaan. Kali ini, kita ajeb-ajeb berbudaya.
Dian Migi (27), Lauren Westerveld (23), Adriansyah (26), dan Agustyna (26) berdiri bergerombol di pintu masuk Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta, menunggu dimulainya konser break dance oleh kelompok dari Belanda, 155 alias Eenvijfvijf, dan Anne-Fay, Rabu (3/4/2019) malam. Pakaian Lauren dan rekan-rekannya senada, putih dan biru muda dengan penampakan kasual. Mereka beberapa kali mengambil foto diri bergantian dan berkelompok.
Ketika panitia mengumumkan pertunjukan segera dimulai, mereka langsung menyerbu pintu bersama 200-an pengunjung lain. Ketika memasuki acara utama dengan penampil 155, Lauren dan teman-temannya ikut terprovokasi bergoyang bersama.
Para personel 155 sangat provokatif saat tampil. Mereka menari secara akrobatik, seperti salto dan split. Lalu, berulang kali turun panggung dan menari di tengah penonton, di bawah sorotan lampu remang-remang penuh warna.
Bahkan, dalam satu kesempatan, penonton diajak menari salsa bareng. Penonton cewek yang diajak cowok penari personel 155, Thomas Bos, kegirangan. Lauren dan rekan-rekannya ikut larut, terlebih saat penonton diajak naik panggung dan menari bersama. Hampir setengah penonton memadati panggung. Di sana terlihat siapa yang benar-benar bisa menari dan siapa yang sekadar ikut bergoyang.
Thomas lalu menghentikan tarian yang mulai menggila di atas panggung itu. ”Sekarang, siapa yang paling muda di sini, silakan naik panggung dan joget,” tantang Thomas.
Seorang cowok berambut ikal dan berkulit sawo matang naik panggung. Dia meliuk melakukan gerakan-gerakan khas break dance, seperti top rock, kick step, tap mill, flare, dan windmill. Penonton berikut personel 155 terpesona melihat tarian cowok yang belakangan mengenalkan diri sebagai Aldo (16) itu.
Aldo malam itu sebenarnya datang telat karena terjebak macet saat mengendarai sepeda motor dari Bekasi ke Erasmus Huis yang jaraknya mencapai 23 kilometer. ”Tetapi, senang bisa ikut menari. Orangnya baik-baik,” kata Aldo.
Tiga hari sebelumnya, Senin pukul 19.00, pengunjung menyesaki ruangan di Institut Francais d’Indonesie (IFI) Wijaya. Sebagian besar duduk di kursi yang ditata di halaman depan (tempat acara pembukaan) dan sisanya asyik menikmati lukisan yang dipajang di ruang pameran pada Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta itu. Malam itu dibuka pameran lukisan Emansipasi dari Lima Bintang. Lima bintang ini terdiri dari Ipong Purnama Sidhi, Kembang Sepatu, Maria Tiwi, Mas Padhik, dan Remy Sylado.
Lebih dari sekadar pesta pembukaan pameran, IFI malam itu menjadi ruang rekreasi bersama. Keluarga, kerabat, dan kenalan berkumpul merayakan kebersamaan serta kebahagiaan. Mimin Aminah (65), misalnya, datang ke pembukaan pameran karena diajak anak dan cucunya. Mimin ingin nonton Alexa (9), cucunya, menari dalam acara pembukaan pameran.
Di @america, pusat kebudayaan di bawah Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (3/4), Neza (18) dan rekan-rekannya bermain tebak kata, gim sederhana yang terpasang di Ipad milik @america. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta, Jakarta Timur, ini mengunjungi pusat kebudayaan itu untuk bermain sekaligus berlatih mengasah kemampuan berbahasa Inggris.
Mereka datang atas saran dari dosen dan diminta membuat laporan kelompok. Namun, ketika masuk ke area utama, mereka kaget. Apa yang mereka saksikan di situ sangat jauh dari bayangan. ”Kirain di dalam itu kaku gitu, tidak ada apa-apa. Ternyata di dalam nyaman banget, banyak mainan, cozy,” kata Elsa (18), rekan Neza.
Ragam hiburan
Tidak hanya musik dan pameran lukisan, berbagai pusat kebudayaan asing di Jakarta juga menampilkan beragam hiburan lain yang kemudian seolah menjadi ciri khas masing- masing. Misalnya, Japan Foundation menggelar acara pengenalan kimono.
Selain pameran dan pemutaran film, IFI kadang juga menggelar pesta musik dengan mengundang disjoki dari Perancis. Adapun Italia lewat Istituto Italiano di Cultura mengedepankan acara kuliner dengan menampilkan beraneka jenis pasta, piza, keju, dan hidangan pencuci mulut macam es krim gelato. Adapun Korean Cultural Center (KCC) menyebarluaskan budaya pop mereka, hallyu, lewat festival film Korea, pameran lukisan, tarian K-pop, dan lomba menyanyi.
Penyebaran budaya sebagai bagian dari agenda diplomasi lembut efektif menarik minat warga Jakarta. Sebutlah Lusiana T (31), yang semula tak begitu puas menonton drama Korea karena tak paham bahasanya.
Setelah ikut kursus bahasa Korea, dia mendapat limpahan informasi dari KCC seputar budaya dan bahasa Korea. Selanjutnya, dia menjadi gemar menonton film-film festival, kesenian tradisional, dan lagu-lagu K-pop. Selain melancarkan bahasa Korea, menonton film-film tadi juga membuatnya terhibur.
Lebih dari itu, Ali Chaidar (23) kini malah menjadi pengisi acara, dari semula hanya senang menonton dan rutin mengunjungi acara-acara yang digelar Japan Foundation, Jakarta. Saat kuliah tiga-empat tahun lalu, Ali yang kini menjadi seorang konsultan lepas mulai mendatangi acara di Japan Foundation. Dia tertarik dengan budaya Jepang.
Saat ada waktu luang, dia menyempatkan diri datang dan menonton acara-acara yang digelar di Japan Foundation. Sebagai konsultan lepas, mudah baginya menyesuaikan waktu di sela pekerjaan. Informasi tentang acara-acara itu banyak dia dapatkan dari media sosial Japan Foundation.
Ali terkesan dengan acara pengenalan kimono yang digelar tahun lalu. Ketika itu, Yuko Nakano dan Miyuki Ishii, dua pengajar dari Kyoto Kimono Gakuin, dengan piawai memperagakan cara pemakaian kimono yang rumit. Mereka juga menjelaskan berbagai jenis kimono sesuai dengan tujuan pemakaiannya, seperti kimono untuk perempuan, untuk laki-laki, dan khusus untuk pengantin.
Karena tertarik dengan chanoyu, upacara minum teh, Ali juga ambil bagian dalam kelas minum teh yang diadakan Japan Foundation. Kegiatan tersebut dibuat berkala sebanyak 15 kali pertemuan dengan sensei atau guru dari Jepang. Dia amat menyukainya dan mulai mahir menyajikan teh dalam chanoyu.
Akhirnya, saat perhelatan Japan Cultural Week yang rutin digelar Japan Foundation, Ali pun didapuk menjadi pengisi acara chanoyu. Dengan piawai, dia memperagakan penyajian teh. ”Hasilnya memuaskan, he-he-he,” ujarnya.
Kembali ke konser break dance di Erasmus Huis. Setelah 1,5 jam penampil dan pengunjung bergoyang serta menari penuh peluh, acara kelar. Namun, penonton seperti belum puas.
Mereka masih menari mengikuti musik pengiring. Lauren dan teman-temannya meninggalkan panggung, memilih lokasi menarik untuk foto. Dibantu seorang pengunjung, mereka berfoto bersama dengan latar raksasa bergambar kelompok 155. ”Ini untuk Instagram,” kata Lauren.
Dia dan rekan-rekannya menanti acara ini sejak berhari-hari sebelumnya. Mereka bahkan membeli baju khusus agar bisa tampil senada dan sepadan. ”Ini hiburan seru dan gratis. Kami juga menjadi lebih tahu tentang Belanda,” kata Lauren, dara berdarah campuran Jawa-Belanda yang bekerja sebagai tenaga public relations sebuah apartemen.
Lauren malam itu bukan hanya mencari hiburan seru dan gratis. Dia sebenarnya mencari jati dirinya. Sebagai keturunan Belanda, dia perlu mengenal segala detail tentang budaya ”Negara Kincir Angin”. Malam itu, dia puas setelah ikut ”berputar-putar” bak kincir angin saat dihibur 155 yang datang dari Belanda. (MHF/JAL/DWA/DIA/FRO/MYE)