“Behind The Seams”, Peran Difabel di Balik Peragaan Busana
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
Selalu ada orang-orang berjasa di belakang panggung. Itulah yang diyakini desainer sekaligus pendiri label Batik Kultur, Dea Valencia (25). Peragaan busana pertamanya, Behind The Seams, dipersembahkan untuk orang-orang berjasa yang telah membantunya, yakni para difabel.
Pertemuan Dea dengan Tumi pada 2013 membuka perspektif baru terhadap kemampuan para difabel. Tumi yang difabel mampu melakukan banyak hal, seperti menulis, makan, dan sebagainya. Walaupun terhalang keterbatasan, Dea menyadari bahwa kemampuan para difabel sama dengan orang-orang kebanyakan.
“Saya jadi sadar bahwa ada banyak orang seperti dia. Dari situlah saya merasa ditakdirkan untuk betemu dengan mereka,” kata Dea di Jakarta, Sabtu (23/3/2019). Ini disampaikan pada pembukaan gerai Batik Kultur dan peragaan busana Behind The Seams.
Kini, ada sekitar 120 orang yang bekerja bersama Dea. Sebanyak 50 orang di antaranya penyandang difabel. Mereka punya peran yang berbeda-beda, seperti penjahit, administrator, hingga fotografer.
Dea mengatakan, semua karyawan diperlakukan setara, baik yang difabel maupun tidak. Ia juga menetapkan standar produksi busana yang setara. Untuk mencapainya, ia mengakui butuh pengertian antarkaryawan ketika bekerja. Pengertian itu diwujudkan dengan budaya membantu satu sama lain.
“Saya harus melakukan apa yang saya bisa untuk mengakomodasi mereka yang ingin bangkit (dari keterbatasan). Kita harus beri kesempatan agar mereka bisa berdiri dengan kaki sendiri dan menjadi sukses,” kata Dea.
Hasil kerja bersama
Menurut Dea, ada tangan-tangan lain yang membantunya menjahit busana yang ia rancang. Oleh sebab itu, Behind The Seams digelar untuk merayakan hasil kerja Dea bersama karyawannya, khususnya para difabel.
“Para difabel sama seperti benang. Mereka mungkin tidak terlihat, tapi benang-benang itu adalah orang-orang di balik Batik Kultur,” katanya.
Ada enam koleksi mini yang ditampilkan pada peragaan busana ini. Dari koleksi ini, ada 30 busana siap pakai, yakni busana perempuan dan laki-laki. Busana yang ditampilkan meliputi antara lain gaun midi, blazer, dan mantel panjang.
Busana rancangan Dea menggunakan batik tulis yang berasal dari beragam daerah, salah satunya Pekalongan. Batik kemudian dipadukan dengan sejumlah elemen, misalnya kain polos, lurik, hingga brokat. Paduan ini bertujuan agar batik tidak lagi terkesan kaku dan “berat”.
Pada peragaan tersebut, Dea menampilkan batik dengan nuansa informal. Nuansa itu dibangun dengan warna beragam, mulai dari cerah, monokromatik, hingga warna pastel. Desainnya juga tidak kaku, misalnya dengan potongan kerah asimetris di salah satu busana. Batik rancangan Dea cocok digunakan oleh generasi muda tanpa harus terlihat “tua”.
“Dalam desain, batik diletakkan di tempat yang strategis sehingga bajunya tidak full batik. Kalau full, kesannya berat dan formal. Untuk desain yang tidak formal, batik bisa diakali dengan cutting di bagian leher. Bisa juga batik dibuat menjadi off shoulder,” kata Dea.
Pelatihan
Sebelum direkrut, para karyawan difabel telah dibekali keterampilan selama setahun. Mereka dilatih di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Fisik (BBRSPDF) Prof Dr Suharso, Solo, Jawa Tengah.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Bimbingan Lanjut BBRSPDF Suharso Suyono Yusup mengatakan, pelatihan kepada para difabel mencakup pembekalan keterampilan, kemampuan sosial, dan pendampingan psikis.
“Saat dibekali keterampilan, kami juga melihat sejumlah aspek, misalnya minat, bakat, latar pendidikan, hingga kemampuan ekonomi keluarga. ini supaya mereka bisa mandiri saat lulus,” kata Suharso.
Suharso mengatakan, ada 155 orang difabel yang dilatih setiap tahun di BBRSPDF. Para difabel tersebut berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. “Kami mengirimkan surat pada dinas sosial setempat untuk mengirimkan mereka untuk dilatih bersama kami. Kami juga menanggung semua biaya mereka, mulai dari biaya medis, pakaian, makan, tempat tinggal, hingga transportasi,” tambahnya.
Para difabel yang telah dilatih kemudian menjalani tes tertulis dan praktik sebelum diluluskan. Setelah lulus, mereka bisa disalurkan kembali ke Dinas Sosial tempat mereka tinggal atau ke sektor swasta, seperti label busana yang didirikan Dea. (SEKAR GANDHAWANGI)