Sekitar 2018, media sosial marak dengan akun-akun pengulas makanan, misalnya di Instagram. Bukan hanya tampak lezat, makanan-makanan yang diulas (nyaris selalu) disebut nikmat di lidah. Selain membuat perut keroncongan, konten seperti ini menggelitik. Sebab, ada satu pertanyaan yang tidak bisa tidak terlintas: “mana makanan yang benaran enak ?”.
Pertanyaan tersebut mungkin akan dijawab secara subjektif. Tergantung selera lidah. Namun, lezat tidaknya suatu makanan pun butuh argumentasi. Mengapa tidak enak? Apakah ada bahan yang belum melengkapi cita rasa makanan? Apakah rasanya terlalu pedas hingga tidak bisa dinikmati? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Salah satu pengulas makanan yang bisa menyajikan argumentasi itu adalah almarhum Bondan Winarno. Ia cukup deksriptif untuk memberi label “maknyus” dan “top markotop” pada makanan. Tekstur makanan, paduan bumbu, hingga sekilas info soal bahan makanan khas daerah bisa ia jelaskan.
Argumentasi Pak Bondan membuat penilaiannya tidak lagi subjektif. Audiens pun bisa ikut belajar menilai makanan. Jadi, cita rasa makanan tidak lagi sekadar enak dan tidak enak.
Belajar mengulas
Menyajikan ulasan yang deskriptif dan argumentatif memang tidak mudah. Food blogger Stanislaus Hans Danial Subianto (27) butuh waktu lama untuk mempelajarinya.
“Prosesnya sangat panjang. Ini dimulai dari pengetahuanku yang sangat sedikit soal makanan. Pertama kali nge-blog, itu sucks sekali. Aku cuma bisa bilang enak dan nggak enak. Tapi, aku nggak bisa menjelaskan kenapa dan bahan makanannya apa saja,” kata blogger yang akrab dipanggil Hans di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Ulasan pertama Hans kala itu bercerita tentang makan malam keluarga di sebuah restoran. Variabel makanan yang diulas juga masih terbatas, misalnya kesegaran bahan makanan dan tekstur crunchy pada udang goreng yang ia makan.
Perlahan, ia belajar memperkaya wawasan untuk konten blognya. Hans mengikuti banyak acara terkait makanan dan memperluas jaringan pertemanan di kalangan food blogger. Selama itu, ia berproses dan belajar banyak untuk mengulas makanan.
“Setelah belajar, aku jadi tahu kalau rasa pedas bisa berasal dari banyak bahan. Bisa dari jalapeño, bell pepper, dan lainnya. Rasa pedasnya pun beda-beda,” kata Hans.
Ulasan jujur
Hans adalah salah satu food blogger cukup lama bertahan dan konsisten menulis hingga kini. Ia membuat blog milknya, eatandtreats.blogspot.com sejak Oktober 2012. Selama hampir tujuh tahun, Hans dikenal sebagai blogger yang selalu memberikan ulasan jujur.
Bisa dibilang, kejujuran adalah barang langka di platform digital. Saat orang lain berlomba-lomba untuk mempromosikan atau endorse suatu produk di media sosial, menjaga objektivitas ulasan pribadi bisa jadi tantangan.
“Aku bukan dalam posisi yang bisa menghakimi. Tapi, ada pula orang yang menjadikan media sosial sebagai bisnis mereka. Mungkin karena media sosial sedang gede (pamornya) and the money is good. Pada akhirnya, pilihannya kembali kepada kita. Apakah kita ingin membuat akun kita sebagai akun promosi atau akun informasi yang bisa kasih sesuatu (kepada audiens). Kita semua punya standar sendiri,” kata Hans.
Untuk menjaga kejujuran, Hans memilih membayar sendiri makanan-makanan yang ia ulas. Sekitar 80 persen ongkos untuk makanan dan plesir ke negara serta kota lain ia tanggung sendiri. Dengan begitu, ia punya kebebasan untuk mengulas secara independen.
Bila ada proyek kerja sama dengan pihak tertentu, ia lebih memilih dibayar setelah selesai mengulas. “Jadi kalau makanannya nggak cocok, mereka tidak perlu membayar. You can keep the money,” kata Hans yang juga mengurus bisnis orangtuanya di bidang tekstil.
Kejujuran itu tidak sia-sia. Audiens menyukai kejujuran Hans dan mempercayai hasil ulasannya. Banyak netizen yang tergugah untuk mencoba makanan dan minuman yang direkomendasikan oleh Hans. Silakan cek instagram story Hans di akun instagramnya, @eatandtreats. Ia kerap mengunggah ulang “laporan” para followers yang mengikuti rekomendasinya.
“I think they like that I’m honest. I think it’s my number one quality. They also like that I’m very visual,” kata Hans.
Adanya media sosial dan platform digital lain memang bisa mengubah banyak hal, seperti tren dan standar kejujuran. Namun, pada akhirnya, konten yang ditulis dengan dedikasi akan tetap punya tempat di hati audiens. Kejujuran akan abadi dan akan menjadi lentera di era disrupsi digital. (SEKAR GANDHAWANGI)