Suatu karya arsitektural tidak melulu dinilai berdasarkan tampilan fisiknya saja. Ada proses kreatif panjang yang menyertai berikut eksekusi desainnya. Kedua hal inilah yang membuat suatu bangunan tidak hanya berdiri, tetapi juga bercerita dan bermanfaat bagi para penggunanya.
Tidak banyak bangunan yang bisa ”bercerita”. Cerita itu biasanya datang dari proses dan pemikiran panjang seorang arsitek ataupun desainer interior. Proses itu, antara lain, mencakup pemilihan material, gubahan massa, konektivitas antar-ruangan, dan cara bangunan itu menjawab isu lingkungan sekitar.
Karya arsitektural yang baik pun tidak lepas dari tiga teori Vitruvius, penulis dan arsitek Romawi. Ketiganya adalah firmitas (soliditas), utilitas (kegunaan), dan venustas (estetika). Apabila ketiganya dipadukan dengan baik, suatu bangunan bisa dibilang sudah punya cerita.
Cerita itu kini bisa diceritakan lebih luas melalui kompetisi desain. Selain untuk mengadu cerita, kompetisi juga diharapkan bisa menunjukkan desain yang variatif dan inovatif. Para pemenang dan finalis pun dianggap sebagai representasi dari cerita yang hendak dibagi.
”Dalam kompetisi, kami (juri) menilai dengan cara yang berbeda-beda. Namun, kami harus melihat karya secara eksternal dan internal. Kami juga melihat proses dari karya itu, sensitivitasnya pada lingkungan sekitar, seperti budaya, geografi, dan sebagainya,” kata desainer interior Amerika Serikat, Tony Chi, pada konferensi pers Kohler Bold Design Awards (KBDA) 2018 di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Hadir pula dalam acara ini salah satu juri KBDA 2018, Hidajat Endramukti, President Kitchen and Bath Asia Pacific Kohler Company Angel Yang, Group President Kitchen and Bath Kohler Company Larry Yuen, dan Managing Director of Champalimaud Edmond Bakos.
KBDA 2018 merupakan kompetisi desain dengan tipologi tempat tinggal (residential), perhotelan (hospitality), dan komersial (commercial). Kompetisi ini berlangsung sejak September 2018, yang dimulai dengan pengumpulan karya dari para arsitek dan desainer interior se-Indonesia. Pada Maret ini, para pemenang baru diumumkan.
Ada 250 karya yang dinilai memenuhi syarat dari 300 karya yang masuk. Panitia mencatat ada sekitar 140 arsitek dan firma desain yang mendaftar untuk 11 kategori.
Kategori tersebut adalah Living: Condo Apartment Architect Award, Living: Villa Architect Award, Travel: Urban and Resorts Architect Award, Living: Condo Apartment Interior Design Award, Living: Villa Interior Design Award, Travel: Urban and Resorts Interior Design Award, Leisure, Culture, Influencers, Rising Talents, dan The John Michael Kohler Lifetime Achievement Award.
”Ada antusiasme dari para desainer pada kompetisi ini. Dari karya-karya yang masuk, bisa terlihat bahwa ada yang berkarya dengan mata dan ada pula yang berkarya dengan hati,” kata Chi yang juga anggota dewan juri KBDA 2018.
Memilih pemenang
Salah satu juri KBDA 2018, Faried Masdoeki, mengatakan, desain yang berani tampil beda menjadi salah satu variabel penilaian kompetisi ini. Desain yang berbeda ini, menurut Faried, harus mencakup keberanian dalam menggunakan material, menerapkan gubahan massa, dan memberi solusi atas isu desain yang dihadapi. Selain itu, desain-desain terpilih harus bisa menjawab tantangan lahan dan desain serta menampilkan estetika.
”Memilih pemenang ini adalah tantangan karena karya-karyanya bagus. Para pesertanya pun konsultan-konsultan yang terkenal. Tetapi, kami melihat konsep desain dan eksekusinya. Bagaimana konsistensi desainnya, lalu apakah desain bisa menjawab isu yang dihadapi, misalnya iklim dan cuaca,” kata Faried.
Sementara itu, salah satu juri KBDA 2018, Andra Matin, mengatakan, kompetisi ini bisa meningkatkan standar desain di Indonesia karena keterlibatan juri internasional. Ia berharap kompetisi ini juga membuat para arsitek dan desainer Indonesia yang tersembunyi bisa mulai dikenal publik.
”Saya harap ada beberapa desainer dan arsitek Indonesia yang tadinya tidak terlihat menjadi bisa dilirik oleh klien luar negeri. Itu menurut saya salah satu hal yang bisa meningkatkan standar kita sebagai desainer dan arsitek Indonesia,” kata Andra. (SEKAR GANDHAWANGI)