JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan ekosistem film Indonesia bisa diperkuat melalui beragam cara, yakni pelatihan bagi komunitas akar rumput, pembiayaan produksi film, hingga penyediaan platform penayangan film. Untuk merealisasikan cara-cara itu, salah satunya bisa melalui kerja sama antara pihak swasta dengan institusi pendidikan.
Menurut hasil riset tentang Capaian Makro Subsektor Film yang dirilis pertengahan September 2018, pertumbuhan film nasional pada 2016 adalah 10,1 persen. Angka ini meningkat 3,42 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya. Hal ini terungkap pada Indonesia Film Business Outlook 2019 oleh Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf.
Pertumbuhan film Indonesia disertai pula oleh maraknya produksi film dalam negeri. Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta mengatakan, ada 140 film karya kreator Indonesia pada 2018. Namun, hanya 11 film yang berhasil menjual lebih dari satu tiket bioskop.
Menurut Varun, potensi dari segi kreator film Indonesia sudah tersedia. Begitu pula dengan kontennya. Potensi ini perlu didukung oleh pelatihan dan lingkungan bisnis yang memadai.
“Viu punya beberapa program, Viu Shorts! dan Viu Pitching Forum. Kami bekerja sama dengan komunitas akar rumput di 17 kota di Indonesia sejak tahun lalu. Kami adakan mentoring dan lokakarya bagi mereka,” kata Varun pada acara penandatanganan perjanjian kerja sama antara perusahaan penyedia layanan video over the top Viu dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Pada program Viu Pitching Forum, para pembuat film akan difasilitasi untuk mengembangkan dan membiayai ide cerita film.
Nantinya, film akan diproduksi menjadi Viu Originals.
Sementara itu, Viu Shorts! menyediakan lokakarya bagi siswa SMA maupun SMK di beberapa kota. Masing-masing peserta lokakarya akan diminta untuk membuat satu film pendek berdurasi 10 menit. Film tersebut akan ditayangkan di Viu pada April 2019.
Lokakarya tersebut telah diadakan sejak Oktober 2018 dan akan berakhir pada April 2019. Lokakarya itu diadakan antara lain di Bojonegoro, Tanjung Pinang, Batam, Banyuwangi, Samarinda, Padang, Banjarmasin, dan Manado.
Rektor IKJ Seno Gumira Ajidarma mengatakan, ekosistem perfilman Indonesia baru bisa berkembang bila semua elemen hidup dan seimbang.
“Jadi jangan hanya ada pembuat film, tapi harus ada penonton yang bisa mengapresiasi. Kerja sama antara IKJ dan Viu ini pun juga membentuk penonton (bagi film),” katanya.
Kerja sama
Kerja sama antara IKJ dan Viu meliputi sejumlah poin, antara lain kesempatan bagi mahasiswa tingkat akhir IKJ untuk menampilkan karya mereka di Viu selama sebulan. Karya yang ditampilkan akan dikurasi terlebih dahulu oleh tim pengajar IKJ.
“Kami belum menentukan teknisnya (pemilihan film). Yang jelas, standar filmnya adalah yang bisa diterima oleh semua pihak. Sebab, dengan ditampilkan di Viu, film akan ditonton di 16 negara lain,” kata Seno.
Selain itu, ada pula program beasiswa senilai Rp 500 juta bagi satu siswa SMA/SMK berprestasi di bidang sinematografi. Beasiswa itu bisa digunakan untuk belajar di IKJ selama empat tahun. Siswa terpilih merupakan peserta lokakarya Viu yang telah membuat film pendek berdurasi 10 menit dan memperoleh audiens terbanyak.
“Biaya itu sudah dihitung berdasarkan biaya kuliah, biaya hidup, transportasi, hingga biaya mengerjakan tugas kuliah. Siswa terpilih juga bisa bekerja sebagai asisten eksekutif produser Viu Originals selama kuliah. Tidak ada kewajiban bekerja di Viu setelah selesai kuliah,” kata Senior Vice President and Marketing Viu Indonesia Myra Suraryo.
Pada kesempatan yang sama, Founder Habibie Center Ilham Akbar Bakrie berharap, beasiswa ini bisa mendorong semakin banyak orang sukses di bidang perfilman. (SEKAR GANDHAWANGI)