Jurnalis dan penulis buku Desi Anwar dulu sama seperti sebagian dari kita: kacau emosinya. Butuh jalan panjang bagi Desi untuk berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. Pengalaman ini mau ia bagikan melalui kumpulan cerita pendek karangannya dalam buku Lima Cerita.
Buku tersebut dibuka dengan kisah seorang perempuan muda yang mendapati ayahnya meninggal secara tiba-tiba. Alih-alih sedih, ia malah marah. Kemarahan itu nyatanya adalah produk ketidakpahaman diri sang tokoh akan dirinya sendiri.
Adapun cerita tentang Djuna, sarjana yang belajar menjadi dewasa dari tokoh panutannya. Selanjutnya, ada cerita tentang seorang remaja yang tertekan dengan ujian sekolah sehingga berpikir untuk bunuh diri, cerita Adela yang menyadari bahwa cinta lebih rumit dari yang ia bayangkan, dan May yang mengalami hubungan ibu-anak yang aneh dengan ibunya.
”Dari kelima karakter itu, merekalah yang menyembuhkan diri (luka batin) mereka sendiri. Kuncinya adalah mereka harus melakukan, menerima, dan melepaskan rasa sakit yang mereka alami. Mereka juga harus berani mengambil keputusan untuk mengubah jalan hidup mereka,” kata Desi Anwar di Jakarta, Sabtu (2/3/2019). Hal itu disampaikan pada peluncuran buku Lima Cerita terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Lima Cerita merupakan terjemahan dari buku karya Desi, Growing Pains, yang terbit pada Juli 2018. Buku ini juga merupakan buku fiksi pertama yang Desi tulis. Sebelumnya, ia sering menulis tentang renungan personal hingga karya fotografinya.
Beberapa buku karya Desi antara lain Being Indonesian;Faces and Place; A Romantic Journey; Tweets for Life: 200 Wisdoms for A Happy, Healthy, and Balanced Life; dan A Simple Life/Hidup Sederhana. Buku-buku tersebut ada yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia maupun keduanya.
Cerita-cerita yang ditulis Desi merupakan manifestasi dari pengalaman personal. Fiksi dinilai jadi kemasan apik untuk menyampaikan roh cerita kepada pembaca. Ia ingin kisah tokoh-tokoh karangannya dalam menghadapi masalah bisa dicerna dengan baik oleh pembaca.
”Dengan fiksi, pembaca bisa berempati pada karakter-karakter itu. Pembaca akan lebih mudah ’masuk’ ke dalam cerita dan sekaligus belajar menghadapi masalah-masalah yang dihadapi karakter,” ucap Desi.
Terapi menulis
Kelima cerita tersebut merupakan hasil eksplorasi dan refleksi diri Desi dalam waktu yang tidak tergambar. Ia mengatakan, menulis telah membantunya melewati masa-masa sulit. Baginya, menulis adalah terapi.
Menulis dianggap sebagai media untuk mengambil jarak dari diri sendiri dan situasi yang dialami. Menulis membuatnya merenung dan belajar memahami, tidak hanya dirinya, tetapi juga orang lain, kehidupan, dan situasi. Pemahaman itulah yang membawanya pada perdamaian dengan diri sendiri.
”Kondisi ketika kita sudah tidak terpengaruh dengan respons-respons dari luar diri sendiri adalah titik kita bisa berdamai dengan diri. Mungkin sudah cukup lama saya mengalami kondisi itu,” ujar Desi.
Hingga kini, Desi masih terus mendalami proses berdamai dengan diri sendiri. Ia juga ingin menulis buku fiksi lainnya seperti Lima Cerita. Ia pun hendak mengeksplorasi kembali pengalaman-pengalaman emosional lain yang belum diceritakan.
”Menulis novel atau cerpen ternyata sulit. Bahkan, menurut saya, ini paling sulit daripada buku-buku lain yang pernah saya tulis. Saya mau menulis fiksi lain dan itu akan membutuhkan kerja keras,” kata Desi. (SEKAR GANDHAWANGI)