Cahya Daulay (40) tersenyum lebar. Proyek film animasi berjudul The Everwood yang dirancangnya terpilih sebagai salah satu dari tiga proyek yang akan disertakan di Akatara 2019. Akatara adalah forum pendanaan film yang digagas oleh Badan Ekonomi Kreatif sejak 2017. Artinya, setahap lagi tersisa bagi Cahya untuk bisa merealisasikan idenya menjadi film layar lebar.
The Everwood berkisah tentang seorang anak lelaki berusia 14 tahun, bernama Rafe, yang tinggal di sebuah dunia fantasi bernama Kordata. Rafe harus berjuang untuk mengobati pohon kehidupan di planetnya yang terpapar oleh pengaruh buruk dan mengancam keberlangsungan planetnya.
Dalam petualangan menjaga planetnya itu, Rafe dibantu temannya yang bernama Cico. Cico bukan anak biasa. Dia adalah gabungan dari ras manusia dan roh penjaga yang dapat bertransformasi menjadi binatang apa pun.
Ide ini, menurut Cahya, diangkatnya dari kondisi kekinian Indonesia. Kondisi ketika sebagian masyarakat selalu membesar-besarkan perbedaan yang ada, baik perbedaan suku, agama, maupun ras. Padahal, keragaman seharusnya diterima sebagai anugerah dan bukan penghalang untuk bekerja sama.
Cahya adalah salah satu dari delapan peserta kompetisi pemaparan ide film (pitching competition) dalam acara bertajuk ”From Script to Screen Film Workshop Indonesia”, Jumat (22/2/2019).
Dalam kompetisi itu, delapan peserta diberikan masing-masing waktu lima menit untuk menjelaskan film yang akan mereka buat kepada dewan juri.
Dewan juri terdiri dari sineas Australia Jason van Genderen, Vice President Communications Asia Pacific Motion Picture Association (MPA) Stephen Jenner, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni, produser film Sheila Timothy, dan Ketua Bidang Fasilitasi Pembiayaan Film Badan Perfilman Indonesia Agung Sentausa.
Setelah itu, dewan juri memperoleh kesempatan untuk mendalami ide yang dipaparkan dengan melayangkan pertanyaan atau komentar selama dua menit.
Selain The Everwood karya Cahya Daulay, dua proyek lain yang terpilih untuk diikutsertakan di Akatara 2019 adalah Ancestors karya Ezra dan Radio Rimba karya Sim F.
”Seneng banget, apalagi karena satu-satunya proyek animasi dan bisa terpilih. Saya ingin lihat film animasi di Indonesia terus ada dan berkembang setiap tahun,” ujar Cahya saat ditemui seusai acara.
Selain itu, pemenang utama kompetisi akan berangkat ke Los Angeles, Amerika Serikat, untuk mengikuti American Film Market (AFM), November 2019. Ajang ini menjadi kesempatan untuk mempromosikan proyeknya.
Pemenang utama dari kompetisi itu adalah Meiske Taurisia, produser dari proyek film berjudul Vengeance is Mine, All Others Pay Cash.
Akatara ataupun AFM akan menjadi wadah yang mempertemukan pembuat film dengan investor, televisi, atau penyedia layanan streaming film untuk ”menjual” idenya yang baru setengah jadi.
Jika berhasil mendapatkan pendanaan atau bantuan dalam bentuk apa pun, jelas akan lebih memacu mereka untuk terus berkarya.
Baik Meiske, Cahya, maupun peserta pitching competition lainnya menyebutkan, adanya kompetisi tersebut sangat berharga. Sebab, acara itu menjadi kesempatan bagi pembuat film untuk mewujudkan ide mereka agar menjadi karya nyata di layar lebar. Dari kompetisi ini, mereka akan berkesempatan mendapatkan pendanaan produksi hingga distribusi film ke luar negeri.
”Semoga kesempatan seperti ini dibuka secara rutin sehingga dapat memacu sahabat-sahabat lain untuk ikut. Mereka yang tahun ini datang sebagai pengunjung bisa saja tertarik ikut tahun depan kalau diadakan rutin,” kata Cahya.
Semoga kesempatan seperti ini dibuka secara rutin sehingga dapat memacu sahabat-sahabat lain untuk ikut.
Hal serupa diungkapkan Meiske Taurisia. ”Kalau kita lihat di Eropa, ada banyak forum (pitching) seperti ini. Mereka memiliki banyak sistem seperti melalui festival film atau mendapat hibah. Oleh karena itu, pitching forum atau pitching competition di Indonesia sangat penting,” ujarnya.
Fauzan Zidni mengungkapkan, pitching competition memang sangat penting sebagai sarana latihan bagi insan perfilman Indonesia untuk mematangkan ide film mereka.
Selain itu, kompetisi ini juga melatih kemampuan mereka untuk berbahasa asing. Pasalnya, pitching yang paling penting adalah saat pembuat film melakukannya di depan para investor yang kebanyakan berasal dari luar negeri.
Untuk itu, kemampuan ”menjual” film dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, menjadi penting.
”Kesempatan seperti ini harus dimanfaatkan pelaku industri film Indonesia sebaik-baiknya,” ucap Fauzan. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)