Genderang Perang Gerakan Diet Plastik
Dunia telah lama terbelit persoalan sampah plastik. Namun, baru dua tahun terakhir publik benar-benar tersentak dan marah oleh dampaknya. Ibarat menabuh genderang perang, gerakan antiplastik pun menggelora di berbagai penjuru.
Sejak awal tahun 2018, Rumah Juliet, kafe vegan di Tanjung Duren, Jakarta Barat, secara bertahap tak lagi menggunakan kantong plastik sekali pakai. Pemiliknya, Vivian Amelia, mengganti kantong plastik dengan kantong berbahan singkong yang dikenal dengan telo bag atau cassava bag.
“Konsumen kami kebanyakan membeli lewat ojek daring yang perlu pembungkus. Kami sekarang tak lagi memakai kantong plastik. Kalau ada yang bawa wadah sendiri, kami beri ekstra es krim sebagai apresiasi,” tutur Vivian, Rabu (23/1/2019).
Semula, kafe ini mempromosikan gaya hidup vegan. Promosi lalu meluas pada gaya hidup sehat, termasuk kepedulian lingkungan. Salah satunya dengan berpartisipasi mengurangi sampah plastik yang sudah mengancam lingkungan. Pada pembeli yang bertanya tentang telo bag yang bertuliskan “I’m not plastic,” Vivian senang hati memberi informasi.
Selain menggunakan telo bag, Rumah Juliet juga sudah tak memberi sedotan plastik untuk pesanan bawa pulang. Kue pun diwadahi kertas yang bisa didaur ulang. Untuk makan di tempat, sedotan plastik diganti sedotan logam.
Di Kebun Roti, toko roti artisan berbahan organik di Yogyakarta, sejak tahun 2014, ada anjuran bagi pembeli untuk membawa wadah makanan dan minuman sendiri. Siane Caroline, pemilik Kebun Roti, menuturkan, langkah itu dimulai sejak dia sering berpartisipasi di gelaran pasar organik yang membudayakan penjual tak memakai kantong plastik.
“Dari situ kami terbiasa tidak menyediakan kantong plastik. Lalu kami teruskan pada pembeli,” ucapnya.
Upayanya itu bukan tanpa tantangan. Tak sedikit pembeli protes, bahkan marah karena tak mendapat kantong. Memang disediakan kardus pembungkus, tapi berbayar. Untuk ukuran besar Rp 5.000, ukuran kecil Rp 2.000. Cangkir sekali pakai untuk kopi yang dibawa pulang pun dikenai biaya.
“Pasti ada tantangannya, terutama dari generasi di atas saya yang terbiasa dengan pola lama, menganggap kalau membeli sesuatu, otomatis mendapat kantong plastik. Pelan-pelan kami beri pengertian. Tapi kalau ada yang protes, marah, atau tidak mau, kami tidak memaksa,” tuturnya.
Pelanggan lama Kebun Roti, terutama anak-anak muda, sudah hafal dengan ‘aturan main’ itu. Mereka datang membawa wadah makanan dan minuman sendiri. Pembeli yang membawa tumblr atau wadah kopi sendiri mendapat diskon 10 persen sebagai apresiasi.
Mereka juga sudah mahfum, tak ada lagi sedotan plastik, tapi sudah diganti sedotan logam. Tersedia sedotan bambu yang bisa dibeli. Peminatnya melimpah, sampai beberapa kali stok ulang.
Di restoran Nusa Indonesian Gastronomy di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, laku serupa juga diterapkan. Co Founder Nusa, Mei Batubara menuturkan, sejak berdiri tahun 2015, Nusa memutuskan menganut nilai-nilai menjaga lingkungan dengan lebih baik. “Sejak awal kami sudah menggunakan sedotan bambu dan sedotan dari singkong. Beberapa bahan yang dikirim kepada Nusa juga menggunakan kardus untuk mengurangi plastik,” papar Mei.
Menurut Mei, semua dilakukan karena isu sampah plastik sebenarnya bukan hal baru. Karena itu, apa yang dilakukan Nusa sama sekali tak berhubungan dengan pencitraan atau alasan finansial.
“Kami tak ingin menganggap kampanye diet plastik ini sebagai sesuatu yang trendi,” katanya. Diet plastik, tambah Mei, sudah seharusnya jadi tanggung jawab warga bumi yang sadar betapa sampah plastik merusak lingkungan.
Mereka senang, konsumen merespons positif. “Kami dapat banyak pujian saat minuman tersaji menggunakan sedotan bambu,” katanya.
Angin Lalu
Di dunia, alarm tentang bahaya sampah plastik sebenarnya sudah dibunyikan sejak bertahun lalu. Awal tahun 1990-an, para ilmuwan telah memunculkan beragam studi mengungkap bahaya sampah plastik. Namun, semua dianggap angin lalu.
Artikel The Guardian, The Plastic Backlash: What’s Behind Our Sudden Rage and Will It Make a Difference (13/11/2018) menyebutkan, awal tahun 2015, publik sebenarnya sudah paham bahaya sampah plastik, tapi belum sampai level “marah”. Setelah menyaksikan banyaknya tayangan dan pemberitaan makhluk laut yang mati dengan plastik di perutnya, kemarahan publik pun tersulut.
Banyak studi mengungkap, mikroplastik telah masuk ke jaringan tubuh manusia. Hal itu diperkuat studi termutakhir seperti dirilis ahli teknik lingkungan University of Georgia, Jenna Jambeck, yang menyebut sekitar 4,8 juta-12,7 juta ton plastik masuk ke lautan setiap tahun dan diperkirakan berlipat ganda tahun 2025. Jambeck juga membeberkan 10 negara yang “berdosa” mencemari laut dengan sampah plastik. Berturut-turut dari yang terbesar : China, Indonesia, Filipina, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, Mesir, Malaysia, Nigeria, dan Banglades.
Gelombang kemarahan publik itu bahkan menekan para pemegang tampuk kekuasaan berbuat lebih tegas demi mengurangi sampah plastik. Laman National Geographic dalam artikel Planet or Plastic: A Running List of Action on Plastic Pollution (17/1/2019) menyebut, tekanan publik membuat pemerintah dan perusahaan mengambil langkah nyata.
Peru melarang penggunaan plastik sekali pakai di 76 kawasan cagar alam dan cagar budaya, dari Machu Picchu hingga Manuto Huascaran. Kota San Diego di California melarang styrofoam dan kaleng minuman. Washington DC melarang sedotan, mengikuti langkah Seattle. Parlemen Uni Eropa menyetujui rancangan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai.
Di Indonesia, pemerintah menargetkan pengurangan 70 persen sampah plastik di laut pada tahun 2025. Sejumlah pemerintah daerah telah melarang penyediaan kantong plastik sekali pakai di tingkat peritel, seperti Balikpapan. Langkah ini diikuti kota Bandung, Banjarmasin, dan Bogor. Bali juga menerapkan hal serupa, bahkan hingga ke tingkat desa lewat peraturan adat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menyiapkan aturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sampah di DKI mencapai 2,5 juta ton per tahun, sebanyak 357.000 ton di antaranya sampah plastik.
Gelombang Besar
Di tengah gelombang dan kemarahan publik berperang melawan plastik, angin segar terus berhembus. Belakangan, perintel besar dan restoran cepat saji berjaringan luas di Tanah Air pun turut serta dalam perang melawan plastik.
Di supermarket Super Indo kawasan Ciledug misalnya, petugas kasir langsung menawarkan kantong belanja pada pembeli yang membayar belanjaan dan tak membawa kantong belanja sendiri. “Silakan kantong belanjanya, harganya Rp 10.500,” ujar Syifa, petugas kasir.
Bila pembeli menginginkan kantong plastik, mereka harus membayar Rp 200 per kantong. Untuk pembeli dengan banyak barang belanjaan, petugas kasir menawarkan kardus bekas sebagai ganti kantong plastik.
Head of Corporate Affairs and Sustainability PT Lion Super Indo Yuvlinda Susanta mengungkapkan, perusahaannya menerapkan kebijakan kantong plastik tidak gratis (KPTG) sesuai rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengikuti polluters pay principle. Pada setiap pembayaran di kasir, akan diterapkan prosedur seperti yang dilakukan Syifa.
“Kebijakan KPTG diberlakukan sejak tahun 2016. Tahun 2013 kami menerapkan program insentif ‘Gunakan reusable bag, dapatkan cashback’. Setiap belanja minimal Rp 50.000 ada cashback Rp 100, berlaku kelipatan Rp 100.000,” papar Yuvlinda.
Cara ini, menurut dia, berdampak positif pada pengurangan hingga 50 persen penggunaan kantong plastik sekali pakai. Super Indo menghitung, rata-rata diperlukan dua kantong plastik per transaksi. Setelah diberlakukan KPTG, jumlahnya turun jadi sekitar 0,7-0,8 kantong plastik per transaksi. Artinya tak semua pembeli memakai kantong plastik.
“Dalam waktu dekat, Aprindo akan mengaktifkan lagi KPTG sehingga cakupannya makin luas. Retail termasuk jembatan tersebarnya kantong plastik. Program khusus ini sebagai bentuk tanggung jawab kami untuk mengurangi sampah plastik,” katanya.
Atas dasar kepedulian pada lingkungan yang semakin mendesak itu pula, jaringan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC), sejak Mei 2017 melakukan gerakan #nostrawmovement, di enam gerai KFC di Jakarta. Gerakan ini pada dasarnya mengontrol penggunaan sedotan sekali pakai di gerai KFC.
“Berdasar data, satu sedotan digunakan tak lebih dari 1 jam, tapi membutuhkan waktu hingga 500 juta tahun untuk terurai menjadi microplastic, yang sebenarnya jauh lebih berbahaya,” ujar General Marketing KFC, Hendra Yuniarto. Sejak itu, KFC menarik dispenser sedotan dari wilayah dining ke wilayah kasir.
Saat ini, gerakan ini telah dilakukan di seluruh gerai KFC di Indonesia yang jumlahnya hampir mencapai 500 gerai. Hasilnya, penggunaan sedotan di gerai KFC secara nasional turun hingga 56 persen. “Konsumen juga mulai terlihat minum langsung dari gelas,” kata Hendra. November 2018, langkah serupa dilakukan restoran cepat saji McDonalds dengan gerakan #mulaitanpasedotan.
Di media sosial, gema perlawanan terhadap plastik juga tak kalah besar. Banyak individu dan figur publik terlibat. Aksi mereka misalnya, turut mengkampanyekan penggunaan sedotan logam dan botol minum untuk mengurangi botol kemasan plastik.
Pasangan artis Ringgo Agus dan Sabai Morscheck, musisi dan aktivis Robi Navicula, hingga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memberlakukan denda hingga Rp 500 ribu bagi karyawan yang membawa air mineral dalam botol plastik. Siswa-siswa SD Gemala Ananda dan para orang tuanya, sejak tahun 2015 pun patuh membawa wadah makan dan minum sendiri di setiap kegiatan sekolah.
Hari-hari ini, semua orang harus menjadi pejuang. Berperang melawan plastik!
(Wisnu Dewabrata)