Teater Pengetahuan
Sebuah kelompok teater seharusnya menjadi agen yang membentuk mekanisme produksi pengetahuan. Pemain tidak boleh hanya menjadi aktor senyap alias ”silent actor” yang menyerahkan tubuhnya sebagai bagian dari perintah naskah. Seorang aktor justru menjadi ujung tombak produksi pengetahuan itu dengan segala kelengkapan kebutuhan akting di atas panggung.
Kelompok-kelompok teater, seperti Teater Semut Unsada, Teater Tema Gunadarma, Teater Hijrah, Lab Aktor Jakarta, Teater Lebah, Teater Matahari Hujan, Teater Nusantara, termasuk Sindikat Aktor Jakarta dan Teater Jerit, serta beberapa lainnya, adalah kelompok-kelompok dengan kecenderungan gaya berbeda.
Mereka adalah peserta dalam perhelatan Festival Teater Jakarta (FTJ), 19-29 November 2018, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ke-46. Festival ini bermula dari Festival Teater Remaja 1973 yang digagas oleh salah satu dedengkot teater Indonesia, Wahyu Sihombing.
Ketua Dewan Juri FTJ 2018 Benny Yohanes Timmerman melihat materi-materi yang menyangkut sepak terjang masyarakat urban belum mendapatkan tempat semestinya. Kelompok ini menjadi penting dibicarakan mengingat FTJ berbasis di kota metropolitan seperti Jakarta. Dari tahun ke tahun, kata Benny, kelompok-kelompok teater di Jakarta justru mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang terpinggirkan.
”Saya khawatir soal itu. Ini saya sebut sebagai sesuatu yang tipikal,” kata Benny.
Selain itu, naskah-naskah yang diproduksi sendiri juga biasanya memiliki kecenderungan episteme (jejak pengetahuan) dangdut dan verbal slapstick. Walaupun tokoh-tokohnya mengalami penderitaan yang berlarat-larat, selalu dibalut dengan kegembiraan bak musik dangdut. Bahkan, ujaran-ujaran khas masyarakat pinggiran yang cenderung kasar menyertai eksploitasi fisik yang berlebihan.
”Akhirnya tidak terdapat pendalaman materi. Sebenarnya apa perlunya memanggungkan persoalan masyarakat pinggiran itu? Harus ada advokasi atau setidaknya empati sehingga menjadi pengetahuan yang menginspirasi,” kata Benny.
Episteme dangdut memperlihatkan fragmen penderitaan secara berlebihan, bahkan bila perlu semenderita mungkin, tetapi pada titik-titik tertentu para tokohnya bisa melontarkan humor-humor khas masyarakat pinggiran. Sementara verbal slapstick diperlihatkan oleh banyak kelompok dengan mengeksploitasi ujaran-ujaran kasar dan benturan-benturan fisik yang berlebihan.
Ketua Komite Teater DKJ Afrizal Malna mengatakan, salah satu penyebab mandeknya produksi pengetahuan pada teater-teater di Jakarta karena FTJ menyediakan hampir seluruh fasilitas dan infrastruktur untuk kebutuhan pemanggungan. FTJ sangat melayani kelompok-kelompok teater dengan manajemen, publikasi, dan infrastruktur sejak babak penyisihan sampai babak final. ”Ini yang membuat mereka terjebak dalam zona nyaman dan iklim penciptaan yang tidak bergeser dari bentukan semasa Orde Baru,” kata Afrizal.
Akibat berbagai beban teater yang kompleks dan traumatik, ujarnya, banyak kelompok teater beranggapan forum FTJ menjadi satu-satunya alasan mereka untuk bertahan. Forum seperti FTJ bisa kehilangan visi untuk melakukan regenerasi, distribusi pertunjukan dan pengetahuan, lalu bertarung dalam penawaran gagasan.
Meski menyabet peringkat kedua, Sindikat Aktor Jakarta yang memainkan lakon End Game karya Samuel Beckett, menurut Benny, terlalu banyak melakukan pembocoran terhadap naskah. Upaya-upaya Sindikat Aktor Jakarta mendekatkan diri dengan problem penonton membuat pentas ini sering kali kehilangan konteks naskah. Dalam soal ini barangkali juri bisa berbeda pandangan dengan para penggarap lakonnya.
Sutradara Sindikat Aktor Jakarta Joind Bayuwinanda tidak menggunakan kata pembocoran. Ia mencoba melakukan kontekstualisasi terhadap lakon yang berjarak sekian waktu dengan problem-problem manusia Indonesia di Jakarta.
”Ini supaya lakonnya nyambung dengan kondisi di mana ia dipentaskan,” kata Joind. Ia juga tidak ingin penonton mengerutkan dahi ketika menyaksikan pementasan End Game yang dianggap berat.
”Bisa jadi karena menganggap mementaskan filsafat itu berat, dilakukan pembocoran-pembocoran dengan humor. Tetapi, itu justru mengurangi nilai dari naskahnya,” kata Benny. Situasi pembocoran itu, ujarnya lagi, membuat tafsir naskah menjadi disorganis dan mencari-cari nilai dari luar naskahnya sendiri.
Pergumulan intelektual
Teater sebagai sumber produksi pengetahuan membutuhkan proses pergulatan intelektual. Kebanyakan kelompok teater yang tampil dalam FTJ ingin mengikuti jejak Arifin C Noor yang banyak menulis naskah tentang orang-orang pinggiran.
Menurut Benny, selain sebagai sutradara dan aktor kawakan, Arifin telah melalui proses kerja intelektual yang panjang dan berat. Perjalanan keaktoran itulah yang telah melahirkan lakon-lakon filosofis, seperti Sumur Tanpa Dasar, Tengul, Kapai-kapai, dan Orkes Madun.
Pesan ini yang kemudian ditangkap kelompok-kelompok seperti Sindikat Aktor Jakarta, Teater Hijrah, dan Teater Nusantara. Seusai mengikuti festival bulan lalu, Joind segera mengumpulkan seluruh awak Sindikat Aktor Jakarta untuk berlatih kembali.
Hari Minggu lalu, mereka berkumpul di markas Teater Indraja di kompleks Gelanggang Olahraga Grogol, Jakarta Barat. Joind sedang mengajak rekan-rekan berlatih membaca lakon Surat kepada Gubernur karya Theodore Apstein, yang diterjemahkan Mohamad Diponegoro. Lakon ini akan didaptasi dan dipentaskan pada April 2019.
Sementara itu, setelah menjadi pemenang ketiga dalam FTJ, awak Teater Hijrah siap-siap melakukan pengaderan di Bogor. Selain itu, Imam Widayat, sebagai motor penggerak, sedang mempersiapkan naskah untuk pementasan pada November 2019. Ia juga terlibat dalam persiapan pementasan 10 monolog yang diangkat dari cerpen karya Danarto.
Bersama Imam terlibat Achmad Chotib dan Lailatin Na’ma yang sedang menyiapkan lakon Magma berdasarkan naskah Arifin C Noor. Magma awalnya berupa sinopsis yang belum ditulis secara lengkap oleh Arifin. Chotib kemudian menyempurnakannya sebagai lakon yang siap dipanggungkan.
Perihal memproduksi pengetahuan itu, dalam tataran praksis dilakukan oleh Teater Nusantara yang bermarkas di Jakarta Barat. Kelompok ini senantiasa mendalami masalah-masalah yang terjadi di kisaran hidup mereka.
”Kami meyakini teater adalah pergumulan atas masalah sosial yang bisa jadi tuntunan bagi masyarakat,” kata sutradara Teater Nusantara Mohammad Hidayat, Kamis (6/12) di Jakarta. Dalam perhelatan FTJ kelompok ini memainkan lakon Amangkurat, Amangkurat karya Goenawan Mohamad.
Segala bentuk keterlibatan para pelaku teater dalam persoalan-persoalan sosial, yang berkelindan di sekitar hidup mereka, menjadi bukti bahwa teater hidup dan berproses bareng dengan pertumbuhan masyarakat. Bahwa sejauh ini kebanyakan dari mereka belum mampu memproduksi pengetahuan sebagaimana yang diharapkan Benny, setidaknya teater di Jakarta sudah merunut jalan yang benar.
Bukan tidak mungkin pada penyelenggaraan FTJ Ke-50, akan lahir kelompok-kelompok teater yang benar-benar ideologis, bisa menjawab pertanyaan penting: Buat apa kita berteater? Oleh sebab itu, forum seperti FTJ masih dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan itu. Begitu bukan?
(Putu Fajar Arcana/
Nawa Tunggal/M Hilmi Faiq/Videlis Jemali)