Berbagi Memori Erupsi
Bencana alam hampir selalu menyisakan kisah pilu. Namun, keberanian untuk membuka diri dan membagikan kisah musibah itu kepada orang lain bisa mengubah kehidupan seseorang. Perubahan itu bahkan tak jarang dimulai dari bilik-bilik pribadi....
Pustopo (36), warga Dusun Petung RT 001 RW 005, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, adalah salah seorang penyintas. Pada saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Topo, nama panggilan Pustopo, dan keluarganya kehilangan tempat tinggal karena diterjang luncuran awan panas yang kerap disebut wedhus gembel.
Puing rumah tersebut tidak diratapi, tidak juga ditinggalkan. Topo membuka diri dan mempersilakan orang lain memasuki ruang pribadi keluarganya. Reruntuhan bangunan rumah tersebut dijadikan galeri yang kemudian diberi nama Galeri Omahku Memoriku.
Omah dalam bahasa Jawa berarti rumah. Kini, Galeri Omahku Memoriku yang terletak di daerah kawasan rawan bencana III Gunung Merapi itu menjadi tempat singgah wisatawan yang berkunjung ke lereng-lereng Gunung Merapi.
Hari Minggu pagi, di akhir Oktober 2018, puncak Gunung Merapi sesaat terlihat jelas di sela kabut yang mengambang. Puluhan jip yang mengikuti Lava tour, sebuah perjalanan wisata offroad menggunakan jip dengan tujuan lokasi-lokasi situs yang terdampak erupsi Gunung Merapi, parkir rapi di halaman Galeri Omahku Memoriku.
Isa Sari (28), karyawati bank swasta di Jakarta, ada di antara rombongan Lava tour tersebut. Bersama beberapa temannya, dia memasuki galeri dan melihat benda-benda yang ada dalam reruntuhan bangunan rumah tersebut.
Beberapa kali, dia berhenti dan menempelkan tangan ke mulut. ”Merinding rasanya melihat galeri ini. Kita jadi merasakan dahsyatnya efek dari erupsi Gunung Merapi” ujar Isa.
Galeri Omahku Memoriku dikonstruksi untuk memelihara ingatan terhadap dampak erupsi Gunung Merapi. Galeri ini adalah rumah warisan keluarga almarhum Sarsuadji, ayah Pustopo. Saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, rumah itu rusak parah dan hanya menyisakan dinding.
Material kayu sebagian besar hangus, genteng berserakan di lantai rumah yang dipenuhi abu. Peralatan rumah tangga meleleh sebagian dan rusak diterjang hawa panas.
Hingga tiga tahun pascaerupsi, rumah tersebut tidak terurus dan dibiarkan kosong. Selama kurun waktu tiga tahun itu, Topo dan keluarganya pindah ke rumah hunian tetap mandiri yang disediakan pemerintah.
Inisiatif
Pada 2014, Sutopo berinisiatif membangun galeri pada puing rumahnya dengan tujuan agar orang lain bisa mengetahui dasyatnya dampak erupsi Gunung Merapi. Perlahan-lahan puing dan tumpukan abu yang telah mengeras dibersihkan. Sebagian besar benda yang ada di rumah dipertahankan tempatnya meskipun ada beberapa yang disusun kembali agar lebih rapi.
Memasuki Galeri Omahku Memoriku seperti berkunjung ke rumah keluarga. Ketika masuk ke rumah, pengunjung langsung melihat suasana ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Tentu saja kondisinya sangat berbeda. Meja dan kursi tamu yang terbuat dari bahan kayu terlihat reyot, lapuk, dan di beberapa bagian terlihat hangus terbakar. Pada dinding yang catnya telah terkelupas dipasang jam yang sebagian meleleh dengan jarum jam yang menunjukkan waktu erupsi menerjang rumah ini. Meski begitu, di ruang ini masih terbayang jejak kehangatan keluarga yang sebelumnya pernah tinggal di sini.
Di sebelah ruang keluarga ada bekas dapur yang penuh dengan peralatan rumah tangga. Semuanya dalam kondisi tidak sempurna. Ada gelas kaca yang bentuknya seperti kaleng minuman yang sudah diremas, juga lampu teplok dalam kondisi serupa.
Narasi Galeri Omahku Memoriku semakin lengkap dengan berbagai foto karya jurnalis dan kliping dari media cetak yang dipajang di dinding rumah. Foto-foto yang memperlihatkan proses erupsi Merapi, evakuasi warga, dan dampak erupsi memberi gambaran lebih lengkap tentang upaya korban erupsi untuk bangkit dari bencana alam.
Foto-foto tentang erupsi Gunung Merapi mendapat porsi lebih di situ. Satu ruangan bekas kamar tidur dikosongkan dan dindingnya dijadikan galeri foto. Saat ini, foto-foto yang dipajang adalah karya pewarta foto lepas, Boy T Harjanto.
Topo awalnya kebingungan saat menata Galeri Omahku Memoriku. Dia kemudian memutuskan untuk menyajikan ruang dan tempat seperti yang dia saksikan sejak kecil. Beberapa modifikasi dibuat agar alur pengunjung tidak terganggu ketika melintasi galeri.
Beberapa benda disusun ulang untuk menarik pandangan pengunjung. Saat memasuki halaman Galeri Omahku Memoriku, terdapat saung joglo yang di dalamnya ada dua kerangka sapi korban erupsi. Beternak sapi adalah salah satu mata pencarian utama warga di lereng Gunung Merapi.
Kemudian juga ada bangkai sepeda motor yang menjadi alat transportasi yang dimiliki keluarga. ”Saya tidak punya konsep khusus untuk galeri ini. Saya hanya ingin menyajikan cerita tentang rumah saya yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi. Jika kemudian rumah ini menjadi tempat edukasi terhadap bencana, ya saya ikut senang” tutur Topo.
Galeri Omahku Memoriku bebas diakses oleh warga tanpa membayar. Untuk merawat galeri, Topo menyediakan kotak sumbangan sukarela. Selain itu, Topo juga membangun warung di pelataran parkir dan berjualan camilan, minuman hangat, dan suvenir untuk wisatawan yang berminat membeli.
Bagi Topo, Galeri Omahku Memoriku adalah kesempatan dia membuka ruang pribadinya untuk umum. Bagi wisatawan yang berkunjung ke lereng Gunung Merapi, kehadiran galeri ini membuat perjalanan wisata mereka lebih sarat makna dan meningkatkan kesadaran tentang tanggap bencana.
Memelihara ingatan tentang dampak sebuah bencana bisa menjadi proses edukasi bagi publik. Hal itu bisa dimulai dari bilik-bilik pribadi....