”Tolong, Aku Ini Masih Hewan...!”
Anjing dan kucing atau bahkan binatang jenis lain tak lagi sekadar penjaga rumah, tetapi telah masuk ke ruang intim manusia, menjadi bagian dari keluarga. Saking intimnya, si pemilik seringkali galau ingin tahu perasaan dan kegundahan si binatang. Mereka lantas berusaha mencari tahu: apakah hewan saya bahagia?
Bicara dari hati ke hati dengan binatang peliharaan menjadi tujuan pecinta binatang ketika menyambangi Klinik Dokter Hewan Rajanti di Serpong, Tangerang Selatan. Seperti pada Kamis (15/11/2018), Cindy Kartika Sari datang membawa anjing jenis maltese shihtzu bernama Balto. Sekilas tak ada yang aneh dengan Balto yang begitu sehat, tapi Cindy merasa ada kebiasaan yang berbeda yang membuatnya khawatir.
Di ruangan klinik yang juga menyediakan fasilitas seperti laboratorium dan ruang rawat inap bagi binatang itu, Dokter Rajanti terdiam lalu memejamkan mata. Rupanya, dia berusaha menyamakan frekuensi di gelombang alfa lewat metode mind power untuk berkomunikasi dengan Balto. ”Ibu perhatiannya terbagi-bagi. Aku maunya berdua aja kalau bisa,” kata Rajanti mengungkapkan curahan hati si Balto.
Ketika curhatan Balto disampaikan, Cindy segera termenung. Ingatannya membawa ke 14 ekor anjing dan 15 ekor kucing adopsi yang kini menjadi anak-anaknya. ”Kalau saya pulang ke rumah, Balto memang selalu dapat giliran paling akhir untuk salim dan tos. Saya hafal kelakuan semua anjing. Kalau ada yang di luar kebiasaan, kita bingung,” tambah Cindy, seorang pengusaha katering.
Di rumahnya, kemana pun Cindy bergerak, makhluk-makhluk kaki empat itu memang akan selalu mengikutinya. Tak terkecuali ke kamar mandi, bahkan saat tidur. ”Anjing-anjing yang kecil ikut tidur di atas kasur bersama saya dan suami. Sebagian di lantai,” tutur Cindy.
Cindy menambahkan, semua anjing yang tidur di lantai, mempunyai alas tidur masing-masing. Tidur dengan AC yang disetel paling dingin dan masing-masing anjing mengenakan piyama.
Karena rumah miliknya digunakan untuk dapur usaha katering, ia kemudian mengontrak sebuah rumah di sebelahnya yang digunakan untuk rumah tinggal bersama seluruh hewan peliharaan. ”Rencananya, rumah sebelah ingin saya beli untuk rumah tinggal. Jadi nanti ada tiga rumah. Rumah yang ini (rumah kontrak yang kini ditinggali) jadi rumah anjing dan kucing saja. Bebas tanpa furnitur,” kata Cindy.
Tidak semua anjing dan kucing didapat sejak bayi. Cindy yang aktif di organisasi penyelamat hewan Garda Satwa, banyak mengadopsi anjing dan kucing yang terlantar, korban disiksa atau dibuang pemilik sebelumnya. ”Mereka (anjing-anjing) ini, saya pergi sebentar ke kantor (rumah sebelah) yang hanya lima menit, saat saya kembali, menyerbu saya (minta digendong dan dielus) seolah-olah saya pergi lima tahun,” kata Cindy.
Bukan manusia
Ingin mendengarkan curhatan binatang peliharaannya, Cindy sudah tiga kali memanfaatkan metode mind power dengan berkonsultasi ke Dokter Rajanti. Tak hanya Cindy, Aryani ZA Habibie yang punya 11 kucing dan tiga anjing juga penasaran dengan kelakuan anjing kesayangannya jenis znauzher bernama greatheart yang tak henti-henti menggonggong. Ketika ditanya alasannya menggonggong, greatheart ternyata menjawab lewat Dokter Rajanti: ”Aku sayang sebenarnya, tapi bunda bawel banget.”
Berbeda dengan dokter hewan lain Dokter Rajanti memang punya kemampuan spesial mendengarkan curhatan binatang lewat metode mind power dengan cara menyamakan frekuensi di gelombang alfa. Teknik berkomunikasi dengan alam bawah sadar binatang peliharaan ini, menurut Rajanti, bisa dipelajari dan bukan klenik. Kliennya seperti Cindy dan Aryani pun lantas juga tertarik mempelajari metode ini lewat lokakarya yang memang rutin digelar.
Dari hasil berkomunikasi dengan binatang, Rajanti menemukan banyak fakta unik. Pemilik binatang cenderung makin peduli pada binatang peliharaannya. Dengan semakin tingginya kepedulian maka semakin sedikit binatang yang akan disiksa.
”Akan lebih banyak orang yang mikir ulang kalau hendak memperlakukan hewan dengan buruk. Karena dia juga bisa berkeluh kesah. Mereka kayak manusia. Kita saja yang enggak memperhitungkan mereka,” kata Rajanti.
Perilaku buruk pada anjing biasanya dipicu oleh perlakuan serupa dari si pemilik. Masalah dalam keluarga seringkali juga tercermin dari perilaku binatangnya. Mayoritas bereaksi karena ada aksi dari manusia. Memanjakan boleh saja, tapi pemilik tetap harus menyadari bahwa kodrat mereka adalah hewan.
”Ada anjing yang protes. Saya ini bukan manusia. Saya mau jalan ama teman-teman. Nggak boleh ke kebun. Pemiliknya ternyata takut kena kutu. Perlakukan saya sebagai anjing. Saya masih anjing,” demikian isi salah satu curhatan anjing kepada Dokter Rajanti.
”Pet economy”
Kecenderungan global saat ini, hewan peliharaan, khususnya anjing dan kucing telah dianggap sebagai anggota keluarga. Di China misalnya, seperti dilaporkan China Daily Oktober lalu, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, gaya hidup memelihara hewan juga menjamur pesat hingga menumbuhkan industri yang disebut sebagai ”pet economy, yang meliputi berbagai bisnis turunan mulai dari makanan, mode, perawatan medis, hingga bisnis pemakaman hewan. Bayangkan saja potensi bisnis dari jumlah populasi hewan peliharaan tersebut.
Di Australia, berdasarkan laporan Pet Cencus 2016, sebanyak 99,3 persen dari 10.000 responden menganggap hewan peliharaan mereka adalah bagian integral dari anggota keluarga. Ketika hewan peliharaan tersebut meninggal misalnya, mereka juga bisa mendapat cuti kerja untuk berduka.
Di sisi lain, ada pemilik binatang yang hanya sekejap mencintai lantas binatang ini berakhir di shelter penampungan hewan. Mas Gerry, misalnya, seekor anjing Alaskan Malamute berjalan dengan kaki belakangnya yang terlipat, raut wajahnya begitu riang dan bahagia diciumi bertubi-tubi oleh Kristian Adi Wibowo atau yang akrab dipanggil Pale, pendiri Animals Hope Shelter. Gerry, anjing berukuran besar ini ditinggal pemiliknya dalam sebuah kandang yang ukurannya sempit yang membuat dia terus menerus meringkuk.
Ada sekitar 100 anjing yang ditampung di Animals Hope Shelter. Sekitar 90 persen adalah anjing yang mendapat perlakuan tidak baik dari pemiliknya. Mulai dari yang diterlantarkan hingga disiksa. Yang matanya ditetesi jeruk nipis hingga rusak. Yang lehernya luka karena diikat tali yang sejak anakan tidak diganti. Yang hendak ditenggelamkan di danau, atau dibuang di jalan raya. Dan masih banyak lagi kasus yang terus didapatkan Pale yang telah menjadi rescuer (penyelamat hewan) sejak 2015.
Kesempatan kedua
Bersama Pale di Animals Hope Shelter, kini anjing-anjing itu mendapat kesempatan kedua untuk hidup dalam kasih sayang. Pale memanggil mereka semua dengan sebutan Mas dan Mbak. Ia membangun ruang bermain dan berlari bebas di lahan sekitar 2.500 meter persegi. Sebuah saung dengan perosotan, terowongan buatan, hingga sebuah kolam renang mini berbentuk tulang tersedia bagi anjing yang gemar bermain air. Makan dan minum secara rutin, dan juga perawatan medis dan kesehatan. Biaya operasional shelter mencapai 100 juta per bulan, dan porsi terbesarnya adalah untuk perawatan medis.
Kesempatan kedua juga diberikan oleh Tim Animals Warrior dari Centre for Orangutan Protection kepada binatang-binatang yang terabaikan di daerah bencana. Sejak bencana letusan Gunung Merapi pada 2010, mereka rutin memberi makan binatang-binatang yang ditinggal tuannya di kondisi bencana alam. Ketika gempa melanda Palu, Sulawesi Tengah, tim ini memberi makan lebih seribu anjing dan kucing selama sebulan. ”Kita enggak bisa tutup mata. Kondisi satwa enggak ada yang memperhatikan,” ujar Ko Direktur Centre for Orangutan Protection Wahyuni Mangoensoekardjo.
Organisasi Seperti Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Garda Satwa Indonesia (GSI) juga sangat peduli pada kesejahteraan binatang. Salah satu pendiri JAAN Karin Franken menyebut setiap pemilik selalu memiliki alasan untuk menelantarkan binatang peliharaan mereka, namun pada dasarnya mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak punya empati.
Dari awal sebelum pelihara anjing atau kucing harus di pikirkan baik-baik apakah siap bertanggung jawab. JAAN aktif mengedukasi masyarakat sejak 2008. Calon pemilik antara lain harus menjawab pertanyaan: ”Hewan apa yang cocok dengan lifestyle saya, apakah saya punya waktu untuk ajak jalan tiap hari, apakah saya rela untuk keluarkan uang karena tidak murah, apakah tempat saya cocok, apakah keluarga saya semua setuju, dan apakah saya bisa menjadikan hewan peliharaan sebagai bagian dari keluarga?”
Pendiri GSI, Davina Veronica Hariadi menyebut dari sekian banyak hewan piaraan yang ditelantarkan, ada sekitar 80 persen yang sebelumnya memiliki majikan. Pecinta binatang juga masih cenderung memilih membeli binatang, bukan mengadopsi binatang yang terlantar. ”Ini menandakan masih banyaknya majikan hewan piaraan yang tidak memiliki pengetahuan cukup,”ujar Davina.
Hewan piaraan yang ditelantarkan, akhirnya hidup liar dan terus berkembang jumlah populasinya. ”GSI pernah menjalankan program pemberian vaksin dan membuat steril kucing, supaya pertumbuhan jumlahnya tidak terlampau cepat. Semestinya, program seperti ini dijalankan pemerintah secara terus-menerus,” kata Direktur Operasional GSI Anisa R Kurnia.
Menurut Dokter hewan Rini Kumala, banyaknya binatang yang terabaikan belum tentu karena manusianya tidak sepenuhnya manusiawi. Tapi bisa saja karena mereka memiliki keterbatasan secara ekonomi dan sosial. ”Menjadi manusia yang manusiawi dan beradab bisa diukur dari perlakuan terhadap manusia lain, binatang, tumbuhan, dan lingkungan sekitar. Kalau perlakuan kita buruk (contohnya: menyiksa), kita tentunya belum dapat sepenuhnya mengakui kalau diri kita beradab dan manusiawi,” kata Rini.
Manusia dan hewan telah berabad-abad hidup berdampingan bersama. Jejak kedekatan mereka pun sudah terukir dari zaman purba. Relasi itu hendaknya tetap pada hubungan saling menguntungkan, jangan sampai si hewan berteriak karena terlantar atau sebaliknya terlalu dimanusiakan hingga mereka berontak :”Tolooong, Aku ini masih hewan...!” (NAWA TUNGGAL)