Melacak Jejak Sang Taipan dengan BMW 630i GranTurismo
Dunia pengusaha multinasional yang menguasai jaringan bisnis lintas negara tidak hanya ada di era Indonesia modern. Jauh sebelum negeri ini merdeka, seorang pebisnis di Semarang, Jawa Tengah, tercatat sejarah sebagai salah satu orang terkaya di Asia karena jaringan bisnisnya yang menggurita.
Oei Tiong Ham, nama pengusaha kelahiran Semarang, 19 November 1866, itu, mewarisi firma dagang Kian Gwan dari ayahnya dan kemudian membesarkannya menjadi konglomerat kelas dunia pada awal abad ke-20. Dia mendapat julukan Tuan 200 Juta karena kekayaannya pada sekitar tahun 1920 melewati angka 200 juta gulden atau setara 1,5 miliar euro (Rp 25 triliun) dengan nilai tukar mata uang saat ini.
Kerajaan bisnisnya di Indonesia dilanjutkan anak-anaknya setelah ia meninggal pada 1924, dan bertahan hingga 1961 setelah Pemerintah Indonesia kala itu menasionalisasi seluruh asetnya. Sejak saat itu, namanya perlahan-lahan dilupakan oleh waktu, walau di luar Indonesia, anak-anak Oei yang lain masih melanjutkan entitas bisnis ini di bawah bendera Kian Gwan.
Yang tersisa adalah berbagai peninggalan fisik seorang konglomerat, berupa rumah-rumah, istana-istana, gedung-gedung perkantoran dan sejumlah pabrik yang pernah menjadi miliknya. Kemegahan, keindahan arsitektur, dan nilai sejarah di baliknya membuat benda-benda itu menjadi sebuah objek wisata yang unik dan tidak “mainstream”.
Kompas melacak jejak-jejak kejayaan Oei Tiong Ham itu dalam sebuah perjalanan darat pada pertengahan Oktober 2018. Kami menggunakan BMW 630i GranTurismo (GT), yang kami anggap sebagai mitra perjalanan sempurna untuk menjelajahi peninggalan triliuner ini.
Pada pertengahan 2017, BMW untuk pertama kalinya meluncurkan versi GranTurismo pada mobil-mobil Seri 6-nya. Sebelumnya, varian GranTurismo ini ada pada Seri 5 (2009-2017) dan Seri 3 (2013-2018). Varian 630i dipilih untuk masuk Indonesia dan diluncurkan resmi di Jakarta, 24 Juli 2018.
Perjalanan jauh
Sesuai namanya, BMW Gran Turismo dirancang sebagai sebuah mobil untuk melakukan perjalanan jauh (grand tourer) dengan segala sentuhan premium khas pabrikan Bavaria, Jerman, itu. BMW bahkan menyebut mobil-mobil GT-nya sebagai paduan sari pati terbaik dari tiga dunia: kenyamanan dan kemewahan khas sedan, kepraktisan sebuah SUV (BMW menyebutnya SAV, sport activity vehicle), dan keseksian serta dinamika pengendaraan ala mobil sport.
Keseksian ini tak terbantahkan dengan bentuk atap belakang yang melandai menyambung ke kaca penutup bagasi belakang. Bentuk “fastback” ini mengingatkan pada sedan sport lain macam Porsche Panamera. Bentuk ini juga mengkamuflasekan dimensi 630i GT yang sejatinya gambot, dengan panjang lebih dari 5 meter dan lebar 2 meter lebih sedikit, menjadi seolah-olah kompak.
Dimensi besar ini jelas menjanjikan kelapangan ruangan di dalamnya, terutama dengan jarak antarporos roda (wheelbase) 3.070 mm. Duduk di kursi belakang, tempat para pemilik mobil ini kemungkinan akan menghabiskan waktunya, terasa ekstra lega dan lapang. Apalagi saat atap panoramik dibuka, menyajikan pemandangan luar yang menambah gembira. Saat bosan melihat pemandangan, dua layar LED 10 inci siap menyajikan hiburan pilihan.
Di belakang kursi penumpang, terdapat bagasi yang juga ekstra besar dengan kapasitas 610 liter. Sungguh lebih dari cukup untuk memasukkan berbagai barang keperluan perjalanan. Akses ke bagasi ini, selain melalui pintu yang bisa dibuka tutup elektronik dengan kick sensor, juga bisa dengan mengangkat kacanya saja.
Kompasmemutuskan berangkat dari Jakarta pada Selasa (16/10/2018) dinihari untuk menyiasati kemacetan parah di ruas Jalan Tol Cikampek yang tengah padat dengan kegiatan konstruksi berbagai proyek infrastruktur. Pukul 04.00, kami sudah melaju di tol JORR yang lengang.
Rasa mengemudi Seri 6 GT ini mengingatkan pada rasa mengemudi sedan-sedan papan atas BMW, seperti Seri 5 dan Seri 7. Hanya saja, posisi kursi pengemudi terasa lebih tinggi, biasa disebut dengan posisi commanding, yang memberikan pandangan lebih leluasa ke depan. Dan bahkan sebagian ujung bonet mobil pun terlihat dari dalam kabin.
Ini membuat mengemudi menjadi lebih percaya diri. Ditambah dengan tenaga yang sudah mumpuni dari mesin yang juga dipake di BMW 530i dan BMW 730i. Mesin bensin 4 silinder dengan Twin Power Turbo yang mengeluarkan tenaga maksimum 258 HP dan torsi puncak 400 Nm terasa begitu ringan diajak berakselerasi di jalan tol.
Pada kecepatan 120 km per jam, spoiler belakang otomatis membuka dan membuat pengendalian makin mantap dengan tekanan udara yang menjaga roda belakang tetap menempel ketat di aspal. Spoiler ini juga bisa diaktifkan secara manual dengan tombol di sebelah tuas transmisi sehingga bisa membuka di bawah kecepatan 120 km per jam. Selain membantu aerodinamika mobil, spoiler ini juga mendongkrak tampilan 630i GT makin sporty.
Kota kelahiran
Tujuan pertama kami adalah menuju Semarang, kota kelahiran dan pusat kerajaan bisnis Sang Taipan Oei Tiong Ham. Setelah beristirahat satu malam, pada Rabu (17/10/2018) kami pun membuat janji dengan sejumlah teman di Semarang yang memahami jejak-jejak sejarah Sang Taipan.
Tujuan pertama kami adalah kawasan Kota Lama Semarang, yang dalam beberapa tahun terakhir terus ditata dan direvitalisasi menjadi kawasan turis yang menawan. Hingga hari itu, pembangunan ulang saluran drainase dan perbaikan jalan utama di Kota Lama belum selesai. Di beberapa titik, jalanan berubah menjadi jalan tanah yang bergelombang karena aspalnya masih dibongkar.
Sempat khawatir bagian bawah mobil akan terkena gundukan-gundukan tanah di jalanan tidak rata ini. Namun kekhawatiran itu pupus setelah teringat mobil ini sudah dilengkapi suspensi udara aktif di roda belakang maupun depan.
Dengan sekali sentuh tombol di samping tuas transmisi, ketinggian mobil dari tanah (ground clearance) akan bertambah 20 milimeter (mm), membuat mobil aman digunakan di jalur-jalur non aspal ringan atau jalanan rusak yang sering ditemui di luar kota.
Memasuki Jalan Kepodang yang dulu bernama Hoogendorpstraat, kami menjumpai gedung yang dulu menjadi kantor pusat kongsi dagang Kian Gwan yang kemudian menjadi Oei Tiong Ham Concern.
Gedung itu sempat tak terurus selama puluhan tahun dan baru beberapa tahun lalu direnovasi ulang oleh Bank Mandiri dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Kini satu bagian gedung yang dikuasai RNI disewa oleh sebuah restoran, sementara bagian yang dimiliki Bank Mandiri menjadi pusat konservasi aset-aset bank milik pemerintah tersebut.
“Dulu jalanan ini menjadi Wall Street-nya Semarang. Banyak perusahaan dagang dan transaksi keuangan berkantor di jalan ini. Dan banyak gedung kantor di sini adalah milik Oei Tiong Ham,” papar Tjahjono Raharjo, pakar tata ruang kota dari Unika Soegijapranata Semarang dan salah satu anggota Badan Pengeloka Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang.
Salah satu gedung yang pernah menjadi kantor pusat Oei Tiong Ham Concern masih difungsikan sebagai kantor salah satu unit usaha PT RNI saat ini. Gedung bergaya arsitektur Art Deco ini dirancang oleh arsitek kenamaan Liem Bwan Tjie dan menjadi satu-satunya bangunan bergaya modern di Jalan Kepodang. “Sebagian besar gedung ini masih seperti aslinya dulu,” ungkap Tjahjono.
Di Semarang itu kami mendapat informasi bahwa salah satu pabrik gula peninggalan OTH adalah Pabrik Gula (PG) Rejo Agung yang masih beroperasi hingga saat ini di Madiun, Jawa Timur. Maka hari itu juga, usai makan malam, kami memutuskan langsung bergerak menembus malam ke Madiun.
Menjajal tol
BMW 630i GT ini pun kami arahkan masuk ke Gerbang Tol Pedurungan di Semarang Timur, untuk menempuh perjalanan hingga ke Salatiga. Ini menjadi bagian dari Jalan Tol Trans Jawa yang tengah dikebut penyelesaiannya.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 19.30 saat kami memasuki tol yang pada hari kerja seperti itu sangat sepi di beberapa bagiannya. Kontur yang naik turun kembali menjadi ajang untuk menguji kinerja mesin 4 silinder BMW ini. Sama sekali tak terasa susah payah, karena injakan gas sedikit saja sudah membuat mobil melesat di ruas tanjakan panjang.
Namun yang paling mengasyikkan dalam perjalanan malam di tempat sepi seperti ini adalah mempraktikkan fitur Adaptive LED di lampu utamanya. Cukup tekan tombol di tuas wiper di sebelah kiri stir, dan muncul indikator lampu dengan huruf A di dalamnya. Artinya fitur adaptive headlights sudah aktif.
Dengan fitur ini, saat jalan sepi dan gelap, lampu jauh otomatis menyala, memberikan pandangan jelas ke jalanan di depan. Namun, begitu ada setitik cahaya lampu mobil dari arah berlawanan, sebagian segmen lampu ini, terutama di sebelah kanan, akan mati untuk menghindari pengemudi dari arah depan itu silau.
Pada saat bersamaan, di lampu sebelah kiri akan tetap menyalakan lampu jauh, sehingga sisi kiri jalan tetap terterangi dengan baik hingga beberapa ratus meter ke depan.
Kembali atap panoramik dibuka, dan pemandangan langit bertabur bintang menemani kenikmatan alunan sistem audio 3D Surround besutan Harman/Kardon.
Di tengah kenikmatan berkendara ini, pikiran melayang, apa kira-kira mobil atau kendaraan favorit Oei Tiong Ham dulu di saat puncak kejayaannya? Awal abad ke-20 itu adalah fajar bagi industri otomotif dunia.
BMW sendiri baru mulai memproduksi mobil pada 1928. Mobil masih menjadi teknologi baru yang berharga sangat mahal, hanya para bangsawan dan pengusaha super kaya macam OTH yang mampu membelinya saat itu.
Belum ditemukan sumber sejarah yang menyebutkan kendaraan favorit OTH kala itu. Namun, satu kisah pernah menyitir majalah The Times di Inggris yang menyebut anak perempuan OTH, Oei Hui Lan, sering terlihat lalu lalang di jalanan Kota London, Inggris, dengan mengemudikan sendiri sebuah Rolls Royce dua pintu berwarna abu-abu pada sekitar tahun 1919.
Hui Lan, yang bersama kakak dan ibunya pindah ke London sejak 1918, memang menjadi sosialita di kota tersebut, dan kelak menjadi istri diplomat Republik China, Wellington Koo.
Jika keluarga Oei ini hidup di era sekarang, tentu bukan perkara susah untuk meminang BMW 630i GT Luxury Line yang dipasarkan dengan harga Rp 1,569 miliar (off the road) ini. Bahkan, dengan kenyamanan dan daya jelajah jarak jauh seperti ini, bukan tidak mungkin Oei Tiong Ham sendiri akan memilihnya untuk pergi pulang dari Semarang ke Madiun guna memeriksa operasional salah satu pabrik gulanya, seperti yang kami lakukan saat ini.
Seusai keluar dari Jalan Tol Salatiga kami meneruskan perjalanan menuju arah Kota Solo melalui jalur jalan raya biasa, mengingat ruas tol Salatiga-Solo belum selesai dibangun. Namun, belum sampai kami menginjak batas kota Solo, sudah ada petunjuk masuk ke gerbang tol Colomadu. Ini dia ruas tol Solo-Ngawi yang sudah diresmikan Presiden Joko Widodo.
Perjalanan pun kembali ditembus dalam kemulusan dan kelengangan dengan mobil yang terasa melayang dalam kecepatan konstan. Sungguh di medan seperti ini, perjalanan jauh dengan sebuah mobil mewah seperti 630i GT ini dilakukan tanpa kekhawatiran apa pun.
Perjalanan juga berlangsung lebih singkat. Pukul 23.00 kami telah memasuki Kota Madiun. Berarti perjalanan dari Semarang hanya ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam! Itu dalam kondisi belum seluruh ruas tol dioperasikan. Nantinya, mungkin Semarang-Madiun cukup ditempuh 2 jam dengan mobil.
Walau demikian, jalur-jalur tol baru ini belum ada di database fitur navigasi GPS bawaan mobil. Perlu sering-sering update database ini agar seluruh jalur tol Trans Jawa yang baru bisa terdeteksi.
Hingga sejauh ini, layar indikator di dasbor mobil menunjukkan konsumsi BBM rata-rata 8,3-10,1 kilometer per liter. Sepanjang perjalanan, tidak ada masalah menemukan bensin Pertamax Turbo beroktan 98 untuk mengisi mobil ini.
Masih produktif
Keesokan harinya kami tiba di Pabrik Gula Rejo Agung di Jalan Yos Sudarso, Madiun. Pabrik gula ini mudah dikenali dengan tiga cerobong asapnya berwarna merah putih dan fasad bangunan utama yang megah berwarna putih.
Walau sudah berumur lebih dari satu abad, pabrik gula ini masih aktif berproduksi. Bahkan, pada awal-awal berada di bawah pengelolaan PT RNI, keuntungan dari pabrik gula ini menjadi salah satu tulang punggung perusahaan milik negara tersebut. “Keuntungan dari pabrik ini cukup untuk membangun satu pabrik gula lagi di Krebet (Malang), dan membangun kantor pusat RNI di Jakarta,” tutur General Manager PG Rejo Agung Baru Zainal Arifin.
Hingga saat ini PG tersebut masih mengolah 60.000-70.000 ton tebu per tahun dengan tingkat rendemen 7,8 persen per tahun. “Pada tahun 1894, saat pabrik ini masih dimiliki Oei Tiong Ham Concern, kapasitas olahnya 2.000 TCD (ton tebu per hari). Tahun 1927, ditambah satu seri gilingan hingga kapasitasnya menjadi 3.000 TCD. Tahun lalu kami merevitalisasi pabrik ini dengan memasang gilingan baru dan kapasitasnya menjadi 6.000 TCD,” ujar Zainal.
Walau sebagian bangunan pabrik dan mesin di dalamnya masih terlihat asli peninggalan era kolonial, banyak bagian PG Rejo Agung Baru yang sudah dimodernisasi. Loko penarik kereta pengangkut tebu, misalnya, sudah diganti loko-loko diesel, bukan loko uap seperti di awal abad ke-20. Meski demikian loko-loko itu masih disimpan di tempat penyimpanan loko asli yang berbentuk lingkaran dengan rel yang bisa diputar di depannya.
Puas melihat peninggalan OTH yang masih beroperasi dengan baik ini, kami pun kembali ke Semarang. Esoknya ada janji lagi dengan Pak Tjahjono untuk mengeksplorasi bekas rumah OTH yang sering disebut Istana Gergaji. Rumah besar yang mirip dengan istana-istana era kolonial itu kini digunakan sebagai kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Unit Regional 3 Jateng dan DIY.
BMW 630i GT warna putih yang telah menemani kami menjelajah jejak-jejak peninggalan OTH ini tampak begitu serasi terparkir di depan teras utama rumah besar berarsitektur Indische tersebut. (IWAN SANTOSA)
Laporan hasil penjelajahan jejak-jejak Oei Tiong Ham ini bisa dinikmati dalam sajian reportase multimedia Tutur Visual: Jejak-jejak Oei Tiong Ham.