Goresan Indah Pisau
Lebih lekat citranya sebagai senjata tajam, pisau kerap mengundang kesan negatif. Padahal, di dapur, alat ini sangat berguna untuk mengolah bahan masakan. Di lapangan, benda ini menjadi alat bantu paling dicari.
Bekerja keluar masuk hutan sejak akhir tahun 1970-an membuat Teddy Sutadi Kardin akrab dengan pisau. Sebagai surveyor geolog, ia membutuhkan pisau untuk membuat pondok, memasak, alat pertahanan diri, membuat alat pembuat api, memotong tali, dan banyak lagi. Sejak itu, pisau buffalo skinner buatan Jerman dan pisau bowie tidak pernah lepas dari pinggangnya.
Pada 1992, Teddy bertugas di Jambi. Saat itu, ia membutuhkan golok untuk keperluan kerja anak buahnya. Ia kemudian memesan kepada pandai besi yang ada di kampung terdekat untuk membuatkan golok tersebut. Ternyata, hasilnya tidak mengecewakan. Suatu kali, karena pisaunya selalu dipakai, gagangnya rusak. Teddy teringat pada pandai besi yang pernah membuatkan golok. Ia pun memesan gagang pisau kepada sang pandai besi dan lagi-lagi hasilnya tidak mengecewakan.
Teddy kemudian terpikir untuk mulai membuat pisau buatan tangan, mengingat pisau-pisau bagus yang ada di pasaran hampir seluruhnya hasil impor. Untuk ornamen pada pisau, ia meminta tolong teman-temannya dari jurusan seni rupa untuk membuatkan desain. Beberapa desain ia adopsi dari motif etnik Nusantara, seperti motif ukiran Dayak. Teddy pernah lama bekerja di pedalaman Kalimantan.
Motif yang diterakan di gagang atau pinggiran pisau ini dibuat dengan teknik etsa (etching). Pisau dicat hitam lantas digambari motif di atasnya. Setelah itu, dimasukkan ke dalam larutan kimia feri klorida dan hasilnya meninggalkan semacam ukiran timbul.
”Pisau-pisau yang bagus-bagus itu dulu semuanya bikinan impor. Saya berpikir, kenapa, sih, kita tidak bisa bikin sendiri,” kata Teddy yang kemudian secara otodidak mempelajari seluk-beluk pisau dari berbagai majalah asing dan bertanya kepada teman-temannya.
Bengkel pisau ia rintis di Bandung dan hingga kini bisa ditemui di Jalan Hegarmanah Nomor 46. Pisau-pisau yang ia produksi awalnya hanya dijadikan hadiah kepada teman-temannya. Produknya yang berkualitas dan bersaing dengan buatan impor lama-kelamaan dikenal orang dari mulut ke mulut. Teddy mulai serius menerima pesanan di tengah kesibukannya sebagai geolog.
Hingga kini, pisau-pisaunya sudah dikirim hingga ke Jepang, Austria, dan Amerika Serikat. Beberapa toko dari Italia, Malaysia, dan Singapura masih rutin memesan pisau buatan Teddy. Pisau komando buatannya juga pernah digunakan pasukan khusus Jordania.
Teddy cukup dekat dengan Prabowo Subianto yang pernah menjabat Komandan Jenderal Kopassus. Kemampuannya dalam navigasi pernah dimanfaatkan untuk melatih pasukan Kopassus semasa kepemimpinan Prabowo. Teddy juga pernah membantu proses operasi militer di Timor-Timur dan pembebasan sandera dari kelompok OPM di Papua pada 1995. Sepulangnya dari sana, Teddy melatih pasukan komando untuk belajar tracking di hutan. Saat itu, melibatkan juga pasukan elite Amerika Serikat yang ikut mempelajari teknik survival dan navigasi. Dari pengalaman-pengalaman ini, pisau buatannya dikenal tentara dari berbagai negara.
Masih impor
Awalnya, pisau buatan Teddy diberi nama Cordato yang ia ambil dari nama seorang temannya. Seorang wartawan Amerika kemudian menyarankan Teddy menggunakan namanya sendiri sebagai merek pisau. Sejak itu, pisaunya diberi nama T Kardin Pisau Indonesia. Hingga kini, Teddy sudah membuat berbagai jenis pisau dan variannya, seperti survival knife, skinner, kukri, commando, special force, hunting knife, golok, katana, dan pisau dapur. Ia juga memproduksi pisau/senjata tradisional, seperti kujang, badik, rencong, dan mandau. Pisau-pisau ini dilengkapi dengan sarung dari kulit asli. Harganya dibandrol mulai Rp 250.000-Rp 4 juta per buah. Sayangnya, bahan bakunya berupa baja masih harus impor, seperti baja damascus, O1, D2, 440C, dan ATS-34 standar American Iron and Steel Institute.
”O1 itu paling keras dan kuat logamnya, tetapi mudah berkarat sehingga harus di-coating. Paling cocok untuk pisau militer. Kalau ATS-34 paling bagus untuk bahan pisau, sedangkan pisau tradisional paling cocok pakai baja damascus. Jadi, ada karakternya sendiri-sendiri,” ungkap Teddy yang lulusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung ini.
Anaknya, Rangga Kardin, kini mulai meneruskan usaha ini. Ia lebih suka membuat pisau-pisau militer dan taktikal yang digemari anak muda seusianya.
”Sayangnya di sini culture pisau belum begitu kental. Kalau di Amerika Serikat sudah jadi gaya hidup, everyday carry knife. Mungkin karena dulu mereka punya budaya berburu dan untuk pertahanan diri, seperti di zaman wild west,” kata Rangga.
Dikutip dari Thetruthaboutknives.com berdasarkan data dari American Knife and Tool Industry, pada 2010 industri pisau di AS menyumbang 4,5 juta dollar AS kepada perekonomian negara itu. Lebih dari 35 juta rumah tangga di sana memiliki pisau saku dan 24 juta di antaranya mempunyai pisau berburu. Warga AS memiliki kebiasaan berburu atau memancing dan 90 persen di antaranya membawa pisau saat melakukan kedua aktivitas tersebut.
Koleksi
Jika saat awal dirintis Teddy dibantu empat pegawai, kini pegawainya mencapai 40 orang. Banyak pula mantan pegawainya yang membuka usaha sejenis. Tidak heran apabila di wilayah Bandung dan sekitarnya ditemukan beberapa tempat produksi pisau.
Melihat adanya peluang pasar dan ketertarikan pada seni pisau, mendorong Andrizal terjun ke industri pisau sejak lima tahun lalu. Awalnya, ia bekerja di sebuah perusahaan konsultan yang salah satu divisi usahanya membuat pisau.
”Dari kecil saya senang bikin prakarya. Agar menarik, saya membuat bilah yang bergaya modern,” ungkap Andrizal yang memberi nama usahanya Pisau Krakatau.
Andrizal sebenarnya berminat mengekspor produksinya, tetapi terkendala pengiriman. ”Peminatnya dari luar negeri banyak. Biasanya mereka datang sendiri ke sini dan membawa pulang ke negara asalnya. Kalau saya yang diminta kirim, susah, lebih sering dikembalikan lagi ke saya. Mungkin karena dianggap senjata tajam,” tuturnya.
Andrizal juga menghiasi pisau-pisaunya dengan ornamen dekoratif. Kebanyakan berupa motif flora atau daun-daunan. Pisau buatannya kebanyakan berupa pesanan dan sudah dikirim ke berbagai kota dari Sabang sampai Merauke. Andrizal memanfaatkan media sosial untuk memasarkan pisaunya. ”Kebanyakan pisau saya dijadikan koleksi,” ujarnya.