Batik Tulis, Keterampilan Seni yang Meredup di Era Serba Instan
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
Keterampilan batik tulis yang memerlukan banyak kesabaran dan ketekunan menjadi kerajinan seni yang kurang diminati dalam era yang serba instan seperti sekarang. Proses tradisional membuat batik tulis memerlukan waktu yang cukup lama hingga empat sampai delapan bulan.
Dengan adanya teknologi yang mempermudah dan mempersingkat proses pembuatan batik, perajin batik tulis atau tradisional makin sulit ditemukan. Sebagian dari mereka lebih memilih bekerja di pabrik, menggunakan teknik cap atau mesin print. Padahal, minat masyarakat memakai baju batik cukup tinggi.
Batik juga diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi.
Batik Tiga Negeri, salah satu gaya batik Indonesia yang populer sejak lama, berhenti diproduksi pada akhir 2014, setelah tiga generasi, karena kurangnya tenaga kerja yang keterampilan batik tulisnya sesuai dengan standar Tiga Negeri. Usaha pembuatan batik Tiga Negeri itu didirikan oleh Tjoa Giok Tjiam, pengusaha batik Peranakan, pada 1910, di Solo.
Tjoa Siang Swie merupakan generasi ketiga dan terakhir yang memproduksi batik Tiga Negeri. Ia mulai membuat batik pada 1970-an bersama istrinya, Sie Hing Kwan. Pada 2014, mereka memutuskan berhenti memproduksi batik Tiga Negeri dan menutup usaha batik keluarga Tjoa.
”(Pada 2014), usia kami sudah 70-an lebih dan cari orangnya terlalu susah. Orang-orang itu, kan, sukanya kerja di pabrik sekarang karena mungkin lebih bersih dan tidak kena lilin,” ucap Sie Hing Kwan saat pameran koleksi batik Tiga Negeri Solo di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Sabtu (27/10/2018).
Suaminya, Tjoa Siang Swie, menambahkan, menemukan orang yang mampu membatik secara ”halus” sesuai dengan standarnya juga tidak mudah. Sering kali batik yang dihasilkan itu ”kasar” dan tidak sesuai dengan seleranya. ”Hanya orang tua yang bisa,” ucapnya.
Akibatnya, jumlah produksi menurun dan omzet yang dihasilkan tidak setinggi sebelumnya. Terakhir kali jumlah produksi mereka sekitar 40 kain sebulan. ”Cost (produksi) jadi mahal sehingga kami memutuskan untuk berhenti memproduksi,” ucap Sie Hing Kwan.
Batik Tiga Negeri pertama kali dijual sekitar Rp 200.000 pada 1970-an. Pada 2014, harga itu mencapai Rp 750.000 atau lebih. Sekarang, harga batik Tiga Negeri yang dijual kolektor lebih tinggi lagi.
Bagi Yohanna, pengunjung pameran serta pencinta seni batik, keindahan karya batik tulis merupakan hasil dari kesabaran dan ketekunan para seniman selama berbulan-bulan. ”Tidak ada gambar yang sama dan simetris. Di situlah keindahannya. Saya mengagumi orang zaman dulu yang sangat sabar dan tekun. Sekarang, orang maunya serba instan,” tuturnya.
Batik Tiga Negeri sebelumnya paling digemari masyarakat Sunda di Jawa Barat, khususnya di Bandung, Garut, dan Tasikmalaya. Masyarakat mengenal batik Tiga Negeri sebagai batik yang dibuat di tiga tempat. Warna merah dibuat di Lasem, warna biru di Pekalongan, dan warna soga di Solo. Padahal, batik Tiga Negeri hanya dibuat di Lasem dan Solo.
Secara umum, batik Tiga Negeri memiliki tata warna merah, biru, dan soga. Dalam perkembangannya, terdapat penambahan warna lain seperti hijau dan ungu. Motif utamanya berupa buketan. Daun dan bunganya sering dicelup warna merah dan biru, sedangkan latar belakangnya berwarna soga.
Batik Tiga Negeri yang diproduksi masing-masing generasi memiliki ciri khasnya sendiri. Generasi pertama dan kedua mempertahankan ciri klasik dengan tata warna merah, biru, dan soga dengan latar ukelan. Motif binatang, tanaman, dan bunga-bunga berukuran kecil masih dijumpai pada latar kain dan tersebar di antara motif utama yang berupa buketan.
Generasi ketiga paling banyak melakukan inovasi agar tidak membosankan pelanggannya. Latar kain yang awalnya berwarna soga berganti menjadi hijau, biru, biru muda, hijau muda, merah marun, dan ungu. Isen-isen yang digunakan pada latar kain juga lebih bervariasi. Di antaranya adalah galaran, kembang pacar, pasir, dan mutiara.
”Inspirasi utama dari kakek saya. Namun, karena sudah banyak yang punya batik itu, kami (generasi ketiga) ciptakan motif baru. Ada macam-macam yang kami kembangkan. Dari buketan, kami kembangkan dalemnya. Ada mutiara, galaran, dan pasir,” tutur Tjoa Siang Swie.
Selain keluarga Tjoa, ada juga pengusaha batik Peranakan lain yang memproduksi batik Tiga Negeri. Batik Ling merupakan salah satunya. Usaha batik yang dikelola Sie Anna Nio dan suaminya, Khoe Tjee lk, memproduksi batik Tiga Negeri pada 1970-an hingga 1980-an.
Motif utama Batik Ling berupa buketan bunga. Motif kupu-kupu dan burung hong sering dijumpai sebagai bagian dari motif utama. Tata warnanya juga lebih bervariasi. Sumartono Hadinoto, anak dari pasangan Sie Anna Nio dan Khoe Tjee lk, membuat banyak batik Tiga Negeri berwarna-warni, dengan latar klasik Tiga Negeri berwarna soga.