Pengelolaan Kawasan Wisata Berkelanjutan Perlu Dioptimalkan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
LOMBOK BARAT, KOMPAS — Masyarakat pengelola kawasan wisata berkelanjutan di Desa Sesaot, Lombok Barat, masih belum mampu mengelola sistem keuangan dari hasil wisata itu. Padahal, sebagian program sudah berjalan dan masyarakat mulai merasakan manfaat kawasan wisata ini. Sistem manajemen dengan cara pencatatan laporan keuangan juga bisa menjadi bahan untuk evaluasi bagi pengembangan kawasan wisata berkelanjutan.
Azuddin Nur, warga Desa Sesaot, Lombok Barat, menuturkan, saat ini, masyarakat serta badan pengelola kawasan wisata Sesaot masih belum bisa melakukan pencatatan hasil kinerja mereka. Masyarakat juga masih bingung dalam menentukan tarif paket wisata yang ada, khususnya bagi wisatawan mancanegara (wisman).
”Kami belum melakukan pencatatan. Padahal, kami sudah merasakan manfaat kawasan wisata ini. Jadi, kami hanya mengira-ngira saja berapa jumlah pengunjung yang hadir dari penjualan tiket,” ujar Azuddin yang menjadi Koordinator Kawasan Wisata Desa Sesaot, Lombok Barat, Selasa (16/10/2018).
Menurut Azuddin, semenjak Desa Sesaot dikelola oleh masyarakat secara swadaya, mereka jadi memiliki tambahan penghasilan dan lapangan pekerjaan. Ada sekitar 72 pengelola dan 200 warga.
”Awalnya, kawasan ini hanya menghasilkan Rp 400.000 setiap minggunya. Semenjak dikelola, kami bisa mendapatkan sekitar Rp 6 juta hanya dari penjualan tiket masuk Rp 5.000, belum ditambah dengan biaya parkir dan usaha makanan dan minuman,” ujarnya.
Sayangnya, jumlah itu masih perkiraan dasar karena belum ada sistem pencatatan dan pengelolaan uang yang baik. Azuddin juga berharap masyarakat bisa mendapat pelatihan tentang proses pencatatan dan pengelolaan uang yang baik.
”Kami juga ingin ada pelatihan seperti event organizer agar bisa melayani rombongan wisman dengan baik. Selama ini, kami sudah menetapkan tarif untuk beberapa paket wisata, tetapi belum seluruhnya kami pasang tarif,” ujarnya.
Sesaot menjadi salah satu desa yang masuk dalam kawasan pariwisata berkelanjutan bersama dengan Desa Pakuan dan Buwun Sejati. Kawasan ini masuk dalam Kawasan Geopark Rinjani dan memiliki sejumlah potensi wisata alam seperti Taman Hutan Nuraksa Sesaot, air terjun Batu Santek, Tibu Bunter, dan Jaran Kurus, serta lahan kemping dan wisata rumah pohon di Bukit Vetong.
”Awalnya, sejumlah potensi wisata ini tidak terurus, hingga akhirnya ada program STO (Sustainable Tourism Observatories) dan mendapat bimbingan dari para akademisi di Universitas Mataram,” katanya.
Program STO ini merupakan program dari Kementerian Pariwisata sejak 2016 dengan melibatkan lima daerah, yaitu Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; Sanur, Bali; Pangandaran, Jawa Barat; Samosir, Sumatera Utara; dan Sesaot. Kelima daerah itu diharapkan berkembang menjadi kawasan wisata yang berkelanjutan dengan bimbingan akademisi dari perguruan tinggi negeri, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Mataram, dan Universitas Udayana.
Valerina Daniel dari Tenaga Ahli Menteri di Bidang Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan mengemukakan, kendala pencatatan kinerja ini membuat masyarakat tidak tahu hasil capaian kinerjanya secara rinci.
”Padahal, dengan pencatatan ini, mereka bisa membuat rincian capaian selama ini dan target apa selanjutnya yang akan dilakukan kemudian,” katanya.
Valerina menambahkan, Kementerian Pariwisata memiliki tujuan, di kawasan pariwisata berkelanjutan, masyarakat daerah tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga jadi pemain dalam perkembangan pariwisata Indonesia.
Masyarakat juga dilatih untuk bisa membentuk kawasan wisata yang ramah lingkungan serta kemandirian masyarakatnya dalam mengelola ekonomi dari hasil wisata.
Oleh karena itu, Valerina mengatakan, Kementerian Pariwisata masih terus menggali kira-kira kekurangan apa saja yang harus dibenahi.
”Kami masih terus menggali, kira-kira masyarakat masih membutuhkan pembekalan terkait hal apa lagi untuk perkembangan wisata ini,” ucapnya.
Lokomotif wisata
Secara terpisah, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata David Makes mengatakan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Nusa Tenggara Barat, harus menjadi lokomotif bagi perkembangan wisata berkelanjutan di daerah Lombok.
Kawasan yang memiliki pesona keindahan pantai ini diproyeksikan memberikan sumbangan produk domestik bruto Rp 130 triliun dan menciptakan 50.601 lapangan pekerjaan hingga 2045. Kawasan khusus yang juga menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, itu diproyeksikan menyerap investasi Rp 726 triliun pada 2020.
”KEK Mandalika ini sangat luas dan tentunya bisa menjadi lokomotif bagi daerah lainnya agar daerah lain di sekitar Lombok bisa mengikuti cara pengelolaan yang berlaku di KEK ini,” ucapnya, Senin (15/10/2018).
Direktur Pengembangan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Edwin Darmasetiawan menuturkan, dirinya telah menyiapkan lokasi untuk para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di KEK Mandalika. Para pelaku UMKM ini merupakan masyarakat Mandalika yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat kerajinan tangan seperti kain tenun Lombok.
”Selain itu, untuk kelestarian lingkungan hidup, kami menggunakan energi terbarukan dengan memanfaatkan solar panel, kemudian ada teknologi penyulingan air laut sehingga hotel-hotel akan menggunakan teknologi ini,” ujarnya.