Makanan Hutan Berbaju ”Chanel”
Terinspirasi dari makanan hutan, Restoran Papoea by Nature menghadirkan olahan ala Papua di Ibu Kota. Berbeda dari penampilan aslinya nan polos kala dinikmati di pedalaman Papua, makanan ini sudah berubah wujud menjadi lebih modern. Dengan sentuhan kekinian, masakan hutan pun berganti rupa serupa berbaju merek terkenal asal Perancis: ”Chanel”.
Begitu terhidang di meja, sepintas orang tak akan menduga bahwa beragam menu yang elok rupawan tersebut sejatinya adalah makanan hutan. Sagu yang sudah dikenal sebagai makanan pokok masyarakat Papua—sebelum bersentuhan dengan beras—tak serta-merta dihadirkan polos. Dengan taburan pemanis bunga edible, sagu tampil manis sebagai papeda kuah kuning.
Kuah kuningnya sengaja diolah dari ikan cakalang asap yang biasa dijual para mama Papua di pinggir jalan. Daging ikan cakalang disuir-suir sebelum kemudian dimasak. Rasa kuah ikannya yang kuat mampu menyamarkan rasa sagu Papua yang bakal terasa aneh bagi mereka yang pertama kali mencicipi. ”Kami mengusung signature papuan dish,” kata pemilik Papoea by Nature, Amelia.
Kehadiran papeda terutama menjadi obat rindu bagi perantau asal Papua di Jakarta. Dibanding harus balik ke Papua yang membutuhkan biaya tinggi, kerinduan untuk menyantap sagu segera terpuaskan di Restoran Papoea by Nature. Sagu yang sudah diolah kemudian disantap dengan cara dicolok-colok lalu dicelup ke sup kuah kuning.
Bahan baku sagunya pun asli Papua. Sagu diambil dari pohon di kawasan rawa yang sudah berusia di atas tujuh tahun. Setelah ditebang, sagu dikorek sebelum disaring. Sagu menjadi makanan pokok terutama bagi masyarakat yang tinggal di pantai. Sagu menjadi asing bagi mereka yang menetap di pegunungan yang lebih mengakrabi umbi-umbian.
Ketika sagu dibawa ke Ibu Kota, Amelia lantas berpikir keras agar olahan sagu ini bisa diterima lidah orang kebanyakan. Sagu lalu diolah menjadi papeda goreng dengan isian ikan tuna. Dipotong kecil-kecil, sagu goreng ini tidak membuat lidah shocked dan dengan mudah bisa ditelan. Bagi yang sudah mencicipi, papeda goreng bahkan bikin ketagihan karena rasanya yang gurih kenyal.
Tak hanya direbus atau digoreng, sagu pun dikukus lalu ditaburi krim putih dan karamel gula merah menjadi kudapan lezat yang dinamai candy leaf coconut lime dust. ”Saya membawa sagu dari Papua. Saat belanja di pasar, ibu-ibu di pasar tanya ke saya. Adik, kenapa beli sagu banyak? Enggak ada yang mau makan tho? Begitu tahu saya bikin restoran Papua di Jakarta, air mata mereka menetes. Enggak semua orang mau peduli,” ujar Amelia.
Timbangan kosong
Dipetik dari hutan tropis yang masih alami, hasil hutan Papua memang menghadirkan rasa yang berbeda. Meskipun sama- sama berwujud umbi, aneka umbi-umbian asal Papua ternyata lebih manis dan berukuran jumbo. ”Kalau terbang ada timbangan kosong, aku bawa umbi-umbian. Kadang titip timbangan bagasi teman yang masih kosong. Umbi-umbian itu manisnya berbeda karena dari hutan yang berbeda,” tambah Amelia.
Umbi-umbian berharga dari hutan Papua ini lantas dihidangkan di meja restoran. Karena biaya pengangkutan yang tak murah, umbi-umbian dengan jumlah terbatas tersebut kemudian dicampur dengan umbi-umbian yang bisa diperoleh di Jakarta. Dengan cara ini, konsistensi rasa pun terjaga.
Di tangan chef asal Australia, umbi-umbi itu diolah menjadi lezat dan super indah. Ubi ungu diremukkan lantas diisi dengan sayur lilin sebelum dibentuk menjadi bola-bola croquette sayur lilin.
Sayur lilin merupakan penyebutan masyarakat Papua untuk sayur trubuk yang biasa digunakan untuk bahan baku sayur besan di Betawi.
Sama seperti trubuk di Betawi yang makin langka, bukan perkara mudah untuk berburu bahan baku sayur lilin di Papua. Dengan kemasan modern, sayur lilin ternyata sangat mudah diterima oleh konsumen yang baru pertama kali mencicipinya. Di Papua, sayur lilin ini hanya disantap dengan cara dipotong- potong lalu dimasukkan ke kuah sup.
Jenis umbi-umbian lainnya, yaitu talas, juga diolah serupa mashed potato atau kentang tumbuk. Kepalan talas yang sudah ditumbuk ini lantas menjadi pendamping pas untuk menyantap jungle roast chicken. Menu ini berupa ayam yang dipotong seperempat dengan bumbu ketumbar lalu disajikan dengan talas, salad, serta guyuran saus jeruk pedas manis.
Konsisten dengan umbi-umbian, Papoea by Nature memilih tak menghadirkan nasi putih. Ini menjadi sebentuk perlawanan terhadap degradasi pandangan terhadap makanan di antara orang Papua yang merasa makan umbi tidak lagi keren.
”Punya self responsibility, umbi-umbian ini sebenarnya makanan basic Indonesia. Makanan hutan yang lama-lama tergusur dikembalikan dengan penampilan yang lebih ke gaya hidup modern. Masyarakat mau belajar mengenal kembali asalkan makanannya enak, kekinian, dan instagramable,” tambah Amelia.
Menu internasional
Belum mencicipi rasa Papua jika tak bersentuhan dengan buah merah yang hanya dijumpai di Papua. Semakin berwarna merah, buah merah diyakini semakin memiliki antioksidan yang tinggi. Buah merah dengan beragam khasiat penyembuhan penyakit ini dikukus lalu dibuat menjadi saus pasta.
Karena pasokan buah merah yang sangat sedikit, Restoran Papoea by Nature menghadirkan buah merah sespesial mungkin. Buah merah antara lain menjadi semacam selai untuk kue donat. Tak menghadirkan rasa yang spesifik, buah merah menjadi semacam pemanis yang kaya khasiat penyembuhan, seperti antikanker.
Selain buah merah, buah-buahan hutan yang juga spesial pun didatangkan, seperti avokad mentega yang super lembut saat meleleh di lidah. Avokad ini antara lain diris-iris untuk memperkaya rasa pada menu rainforest lumpia yang lebih menonjolkan rasa internasional. Selain avokad, menu vegetarian ini terdiri dari campuran labu, paprika, dan sedikit saus pedas manis.
Agar bisa lebih memberdayakan masyarakat, seluruh ikan tuna didatangkan lewat kerja sama dengan nelayan lokal Papua. Ikan tuna juga diolah menjadi lebih internasional, seperti dijumpai pada smoked tuna spaghetti. Pelan-pelan memperkenalkan masakan Papua, menu internasional seperti pasta memang tak dapat dihindari.
Apalagi, pelanggan restoran berdatangan dari kaum ekspatriat ataupun turis dari Singapura, Malaysia, Korea, Jepang, dan Eropa. Para tamu yang umumnya belum pernah ke Papua biasanya telah punya impresi bahwa Papua itu kaya, indah, dan eksotik. Tak hanya menikmati makanan, mereka sekaligus disuguhi keindahan Papua lewat kehadiran patung-patung papua, lukisan, hingga hiasan dari artefak keseharian, seperti tas atau gendongan ala Papua.
Jika bersantap di sini, jangan lupa menyeruput beragam kopi khas Papua. Kopi yang sulit didapat karena lebih untuk ekspor, seperti kopi amungme dari Timika, bisa diteguk di sini sembari ngobrol panjang tentang Papua. Ada pula kopi wamena dari Yagara, kopi sabin dari Pegunungan Bintang, kopi dogiyai dari Nabire, dan kopi moenamani dari Nabire.
Lahir dan besar di Jayapura, Amelia rindu menghadirkan tempat makan dengan suasana Papua. Lewat Papoea by Nature, kuliner Papua lantas dibawa naik kelas menjadi lebih kekinian, milenial, dan elegan. ”Dari mama di Papua, makanan hutan dari Papua diolah jadi makanan modern. Makanan hutan pakai baju Chanel. Harus tampil cantik,” kata Amelia.