BANYUWANGI, KOMPAS - Tahun ini Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) mendapat target dari pemerintah untuk turut membangun 250.000 rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau MBR. Namun, hingga saat ini realisasinya baru 51 persen atau sekitar 127.500 unit.
Lambannya pencapaian target pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dikarenakan perubahan regulasi. Oleh karena itu, REI berharap ada inovasi dari pemerintah daerah yang mempermudah pengembang kecil untuk membangun rumah MBR di daerah.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat REI, Soelaiman Sumawinata, menyampaikan hal itu di sela Rapat Kerja Daerah REI Jawa Timur yang digelar di Banyuwangi, Jumat (21/9/2018). "Dari target 230.000 rumah MBR hingga saat ini baru tercapai 51 persen. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan terutama oleh pengembang-pengembang kecil yang menyebabkan pembangunan rumah MBR sedikit lamban," ujarnya.
Hal senda disampaikan Sekretaris Jenderal DPP REI Totok Lusida. Menurut dia, adanya perubahan mendadak regulasi tentang spesifikasi membuat pembangunan rumah MBR tidak bisa dimulai sejak awal tahun 2018.
Regulasi tentang spesifikasi yang diubah, misalnya, terkait penggunaan besi dan ukuran kolom. Perubahan standar spesifikasi untuk rumah MBR tersebut dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan menanggapi keluhan sejumlah pengguna terkait kualitas rumah MBR.
"Pembangunan rumah MBR memang lambat karena regulasi tersebut baru keluar sekitar bulan Maret hingga April. Sehingga pembangunan rumah MBR baru dimulai bulan Mei," ujar Totok.
Regulasi
Totok mengatakan, pembangunan rumah MBR sebenarnya tidak tergantung pada kondisi ekonomi makro. Justru regulasi yang memberi pengaruh penting bagi proses pembangunan rumah MBR tersebut.
Tahun 2017 lalu, REI membangun 206.000 unit rumah MBR. Jumlah tersebut lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemeritah untuk REI sebesar 200.000 unit rumah MBR.
"Kondisi saat ini memang baru 51 persen yang terbangun. Kami belum bisa memastikan berapa jumlah yang terbangun hingga akhir tahun, karena hingga saat ini proses pembangunan terus dikejar," ujar Totok.
Oleh karena itu, Soelaiman dan Totok berharap ada inovasi dari pemerintah daerah untuk mempermudah perizinan pendirian bangunan terutama perumahan. Soelaiman mencontohkan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang mengeluarkan Peraturan Bupati nomor 59 tahun 2017 yang mengubah ukuran minimal kapling dari 90 meter persegi menjadi 72 meter persegi.
"Aturan ini memudahkan pengembang untuk membuka usaha. Selain itu, regulasi tersebut juga mendukung percepatan program 1 juta rumah rakyat," ujar Soelaiman.
Di Banyuwangi, Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas sedang menyusun regulasi yang mengatur izin pendirian bangunan berukuran 36 meter persegi yang tidak perlu dilakukan di kecamatan, melainkan di tingkat kecamatan. Hal ini diharapkan mempermudah pengembang dan masyrakat dalam mendirikan rumah tinggal sederhana.
"Mereka yang ingin mendirkan bangunan-bangunan kecil bisa langsung minta izin ke kecamatan. Namun, tetap harus sesuai dengan zonasi yang telah diatur sebelumnya. Ada daerah-daerah tertentu yang tidak boleh didirikan bangunan misalnya, di lahan-lahan pertanian yang sudah dilindungi," ujarnya.