Ukiran Kehidupan Suku Kamoro
Kayu menjadi andalan dalam kehidupan sehari-hari suku Kamoro yang tinggal di pesisir selatan Papua. Peralatan rumah tangga, tameng, patung leluhur, alat musik, hingga topeng dan perkakas lain, semua terbuat dari kayu. Biasanya kayu ini diukir sebagai ekspresi cita rasa seni suku Kamoro. Di Papua, hanya orang-orang pesisir yang mengenal tradisi mengukir.
Dalam Festival Indonesia Timur-Mengenal Budaya Kamoro yang berlangsung di Pendopo, Living World, Alam Sutera, Tangerang, dipamerkan berbagai jenis patung karya orang-orang dari suku Kamoro. Patung-patung ini dibawa dari kampung-kampung mereka yang tersebar di pesisir selatan tepian Laut Arafuru yang masuk wilayah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Pameran akan berlangsung hingga 31 Agustus mendatang.
”Tiang rumah, perisai, alat makan, semua barang dari kayu. Kalau mau tahan lama, kayu yang dipakai harus kayu potak atau kayu besi,” kata Herman Kiripi, Ketua Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe (MWK). Yayasan ini membantu pengembangan dan pelestarian seni budaya suku Kamoro.
Suku Kamoro hidup sebagai peramu dan nelayan. Sedikit yang mulai bercocok tanam untuk tanaman yang tidak perlu pemeliharaan, seperti kelapa, pisang, dan singkong. Sesekali mereka berburu binatang, antara lain buaya, babi hutan, kasuari, dan kuskus. Namun, untuk kebutuhan pangan harian, mereka lebih banyak menyantap ikan, kepiting bakau, atau hewan lunak lainnya dari sungai dan pesisir laut.
Pekerjaan mengukir sebagian besar dilakukan sebagai sambilan. Sebagian kecil mulai menjadikannya sebagai pekerjaan utama setelah merasakan imbal ekonominya sepadan. Mereka yang pandai mengukir disebut maramowe.
Motif ukiran mereka dibuat berdasarkan penglihatan seharihari dari lingkungan sekitar, seperti buaya, ikan gergaji, ular, kerang, siput, dan kepiting yang dilihat di sungai atau laut. Hewan-hewan tadi dituangkan dalam bentuk ukiran, baik secara utuh maupun bagian tertentu saja, seperti sisik atau giginya. ”Hidup kami ini 3S, sungai, sampan, dan sagu. Ada pula hutan bakau. Kalau air surut, semua muncul, seperti supermarket, tinggal ambil,” ungkap Herman.
Milik bersama
Motif ukiran Kamoro ada yang merupakan milik bersama, ada pula yang merupakan milik taparu atau klan tertentu, seperti diungkapkan Luluk Intarti, pendiri Yayasan MWK. Suku Kamoro tinggal berkelompok dan tersebar di 40-50 kampung. Di setiap kampung berdiam beberapa taparu. Setiap taparu terdiri atas beberapa keluarga atau marga. Orang setempat memercayai bahwa setiap taparu memiliki korelasi erat dengan alam, pohon, atau hewan tertentu.
Dicontohkan Herman Kiripi yang berasal dari marga Kiripi di bawah taparu Mameya. Ia dan keluarga-keluarga dari taparu Mameya percaya bahwa mereka berasal dari buaya. Dengan demikian, motif buaya dianggap sebagai ”milik” orang-orang dari taparu Mameya dan beberapa marga dan taparu lain yang dianggap berkorelasi dengan buaya. Begitu pula dengan motif-motif ukiran lainnya, seperti ikan dan burung kakatua.
”Suatu ukiran hanya boleh dibuat oleh keluarga yang bersangkutan dan keturunannya. Kalau keluarga lain mau buat, harus minta izin dulu kepada keluarga pemilik motif ukiran,” ungkap Herman.
Oktavianus Ethapoka, salah seorang pengukir binaan Yayasan MWK, menambahkan, jika ada yang nekat membuat ukiran dari marga lain, dipercaya akan menderita penyakit. Oktavianus sendiri berasal dari keluarga yang dipercaya sebagai pemilik motif ukiran bintang sore dan bintang siang.
Kategori
Semula patung dan ukiran Kamoro dibuat sebagai perangkat upacara dan keperluan fungsional, seperti tongkat, piring, dan pangkur sagu. Pada perkembangannya, patung dan ukiran ini menarik minat orang luar yang datang untuk membelinya. Belum jelas kapan ukiran Kamoro mulai diperdagangkan. Namun, menurut Luluk, diperkirakan sejak dimulainya ekspedisi Carstenz, ukiran-ukiran Kamoro sudah mulai dikumpulkan. Sebagian di antaranya kini bisa dijumpai di Rijksmuseum of Volkenkunde di Leiden, Belanda.
Antropolog Belanda, Simon Koijman, dalam bukunya Art, Art Objects, and Ritual in The Mimika Culture membagi ukiran Kamoro dalam dua kategori seni bersama bentuk seni lainnya, yakni kategori seni dalam konteks seremonial dan seni dalam kehidupan sehari-hari. Mbitoro, patung manusia, patung hewan, yamate, topeng, mangkuk sagu, dan kendang termasuk ukiran kategori seni dalam konteks seremoni. Sementara perahu, dayung, senjata, dan perkakas semacam alat pahat, pangkur sagu, dan tongkat termasuk ukiran dalam kategori seni sehari-hari.
Mbitoro dipercaya sebagai cikal bakal ukiran Kamoro karena hanya dibuat untuk penyelenggaraan ritual karapao atau inisiasi anak laki-laki. Ritual digelar di depan mbitoro yang dipasang di depan rumah. Tinggi mbitoro sering kali mengikuti ketinggian rumah bahkan bisa mencapai 12 meter. Mbitoro dibuat dari batang pohon utuh lengkap bersama bagian akar yang kemudian di balik hingga menempati bagian atas mbitoro. Ukiran ini terdiri dari sayap (tokai), figur leluhur (wemawe), dan penghubung antara keduanya yang berfungsi menopang bangunan karapao. Ukiran ini hanya boleh dibuat dari kayu kiiko dan peyaro karena bagian akarnya lebar sehingga tidak mudah terbelah ketika diukir menjadi sayap.
Wemawe sering kali dibuat terpisah. Menurut Herman, patung leluhur ini dibuat untuk mengenang orangtua atau leluhur yang telah meninggal. Secara tradisional, wemawe dibuat seperti orang dalam posisi duduk dengan siku bertumpu pada lutut dan jari-jari tangan memegang sesuatu, seperti perisai, tombak, atau gendang tradisional. Bagian kepala dibuat rata. Pada wemawe kontemporer, di atas kepala ditambahkan bentuk baru seperti burung.
Ukiran lainnya adalah yamate yang berbentuk perisai, pekoro berupa perkakas dapur, eme atau alat musik berupa kendang, mbikao atau topeng, otekapa atau tongkat, serta ku (perahu) dan po (dayung). Ukiran-ukiran ini kadang diwarnai dengan bahan-bahan alam, seperti kunyit, daun-daunan, bunga-bungaan, lumpur, kulit kerang, dan arang.
Seni ukir di Papua hanya dikenal oleh orang-orang pesisir, seperti suku Kamoro, Asmat, dan Sempan yang berdiam di selatan. Itu pun semakin ditinggalkan oleh suku Sempan. Tradisi ukir di pesisir utara tidak seaktif di selatan.
Suku Asmat dikenal dengan ragam hiasnya yang lebih vulgar, sedangkan motif hias ukiran suku Kamoro lebih bersifat representatif. Jika dulu, kegiatan mengukir dilakukan dengan pahat batu, kini mereka mulai mengenal pahat besi. ”Kami mendorong mereka memahat lebih halus agar lebih disukai pembeli. Untuk motif, kami bebaskan. Jika ukiran mereka disukai konsumen, kami berharap tradisi ukiran kamoro mampu bertahan,” kata Luluk.