Horologi, Dari Hobi Arloji Menuju Investasi
Belakangan, gairah kalangan pencinta dan kolektor jam tangan di Indonesia semakin mekar. Dari sekadar hobi, kesukaan terhadap arloji menjadi semacam alternatif investasi yang kian menggiurkan.
Dua pekan terakhir, beredar luas, terutama di media sosial ataupun wadah komunitas dunia maya penggemar arloji, setidaknya tiga isu heboh.
Pertama, beredarnya pengumuman mengenai penyesalan para petinggi Seiko, industri jam terbesar asal Jepang. Ada foto beberapa petinggi industri arloji itu membungkukkan badan layaknya tradisi sikap orang Jepang yang minta maaf.
Tidak jelas apa yang membuat mereka minta maaf. Namun, berembus kabar sebagai kompensasi atas penyesalan itu, semua arloji Seiko dijual hanya seharga Rp 730.000. Tentu saja kabar ini termasuk hoaks. Nyatanya, harga Seiko di toko mana pun tidak ada diskon.
Kabar kedua bukan hoaks. Penggemar Seiko, terutama jam tangan diver (jam untuk kepentingan menyelam, selam permukaan, atau berenang), dilanda euforia setelah pabrikan jam tua Jepang itu melansir arloji Seiko Turtle Black Limited SRPC491. Ini arloji Seiko seri Turtle (kura-kura) yang termasuk varian paling banyak dikoleksi penggemar di belahan dunia mana pun.
Turtle Black Limited ditawarkan kepada publik melengkapi serangkaian seri Seiko Turtle sebelumnya yang menjadi ikonik, seperti Seiko Turtle Green, Turtle Pepsi, Turtle Prospex, dan Turtle Goldstone. Tidak heran, di kalangan komunitas Diver Indonesia, khususnya Seiko, harga Seiko Turtle hitam ini melonjak tajam, dari harga awal kisaran Rp 5,2 juta menjadi Rp 7,2 juta, sampai terakhir di situs jual beli online melesak hingga Rp 9,4 juta per unit.
Dan yang ketiga, setelah lama tidak terdengar, pertengahan Juli, dunia pencinta penanda waktu atau Horologi ini dikejutkan pula kemunculan arloji fashion papan atas asal Swiss, yakni Rolex GMT Pepsi seri 1675 produksi 1962-1967. Rolex kategori ini spesial diperuntukkan bagi para pilot. Konon pabrikan jam asal Swiss tersebut membuat arloji ini atas pesanan perusahaan maskapai Pan American World Airways (Panam) rute penerbangan Amerika-Eropa. Alhasil, seri-seri lama dari arloji ini mulai bermunculan dalam postingan di komunitas arloji vintage.
Kolektor jam kawakan asal Jakarta, Djoko Joewono, Senin (6/8/2018), mengatakan, Rolex GMT Pepsi masuk kategori heritage. Tidaklah heran harga di pasaran kolektor jam pun meningkat. Rolex seri ini pada 1985 masih sekitar Rp 800.000. Namun, kini di pasar penggemar jam Rolex bisa mencapai Rp 100 juta sampai Rp 130 juta apabila kondisi mulus dan orisinal. Bahkan, kalau Rolex seri ini ditawarkan kepada penggemar Rolex di luar negeri, mereka berani membeli seharga Rp 230 juta.
Tiga kabar heboh itu boleh jadi menandai kebangkitan tumbuhnya penggemar arloji lawas (vintage) atau komunitas pencinta arloji yang mewadahi para kolektor jam tangan. Terlebih, selama ini, para kolektor arloji seperti memilih berdiam diri, secara sembunyi-sembunyi berkomunikasi. Dinyatakan sembunyi-sembunyi mengingat kegiatan mereka, baik itu pertemuan maupun saling tukar informasi, tidak diketahui publik.
Dalam dunia kolektor jam, banyak di antara mereka yang juga merangkap perantara jual beli arloji berbagai merek. Dari arloji yang kelas rakyat sampai arloji fashion papan atas. Mereka yang kolektor sekaligus penggiat jual beli, atau bahasa umumnya menyebut diri mereka kolekdol, akronim dari kolektor tapi juga adol(menjual).
Jika mendapat jam vintage dan langka akan dikoleksi, disimpan sebagai koleksi berharga. Sekiranya, apabila ada peminat berani menawar harga tinggi, mulai dari 50 persen atau bahkan 100 persen lebih tinggi dari harga saat mendapatkannya atau bisa karena butuh uang, tentu saja dia rela melepas koleksi arlojinya.
Awal tumbuh
Lalu kapan sebenarnya komunitas penggemar arloji ini muncul? Ada yang bilang komunitas arloji mulai ramai muncul pada tahun 2009. Pendapat lain mengatakan, para kolektor itu sudah aktif sejak krisis ekonomi 1997-1998. Periode di mana saat itu seiring krisis ekonomi, banyak sekali pemilik-pemilik arloji melepas koleksi kesayangannya mereka. Mulai dari arloji merek-merek Jepang, seperti Seiko, Orient, Citizen, sampai merek arloji papan atas semacam Rolex, TAG Heuer, Omega, Hublot, juga Tissot sampai jam mewah Richard Mille.
Penggemar arloji asal Metro, Lampung, Ayong, mengatakan, ketika komunitas belum terbentuk, para kolektor arloji itu seperti membentuk pasar semu. Arloji di mata kolektor telah menyerupai barang investasi sehingga jam-jam tertentu bisa saling pindah pemilik secara door to door. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan tumbuhnya media online, pasar semu itu bergeser menjadi pasar terbuka.
”Penjualan arloji melalui online justru paling dominan dalam empat tahun terakhir. Penjualan pun bisa melalui lelang online, jual langsung tanpa lewat toko daring ataupun jual terbuka meski hanya diminati penggemar tertentu saja. Penjualan arloji secara online telah memberi nilai transaksi besar bagi kolektor arloji,” ujar Ayong, pemilik gerai arloji ”Monster Jam” di Metro.
Beberapa penggemar arloji di Salatiga, Semarang, Surabaya, juga Malang sepakat, kecenderungan orang menggemari arloji tidak hanya sekadar hobi. Hal ini karena, umumnya, arloji dipakai tidak hanya sekadar penunjuk waktu, tetapi juga bisa menaikkan status seseorang. Oleh karena itu, jangan heran jika di kantor mendapati rekan kerja membawa 2-3 arloji kesayangannya. Arloji-arloji itu bisa dipakai sesuai kebutuhan. Mulai dari rapat dengan rekanan hingga bertemu pacar. Bisa saja yang dipakai di tangannya arloji yang berbeda.
Komunitas pencinta arloji di Indonesia sudah merata dari Banda Aceh, Lampung, Denpasar, Makassar, sampai Kota Timika, Papua Barat. Melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, ataupun medsos lainnya, para pencinta arloji bisa berkomunikasi hingga 24 jam. Bahasannya, mulai dari sepele, seperti tukar-menukar informasi arloji kuno, tanya jawab soal fungsi chrono, membaca bezel, dan membicarakan tren arloji baru, termasuk pula berbagi informasi apabila ada peminat yang membutuhkan arloji jenis tertentu.
Di Kota Semarang, misalnya, komunitas penghobi jam tangan yang paling kerap bertemu adalah penyuka G-Shock, arloji tanpa petunjuk jarum dengan menggunakan teknologi digital pabrikan Casio. Apabila kopi darat (bertemu) komunitas ini bisa terkumpul 20-30 penggemar G-Shock.
Salah satu ikon G-Shock adalah varian model tokoh-tokoh hero khas Marvell, seperti G-Shock Iron Man dengan warna bezel merah. Menurut salah satu penggiatnya, Adi ”G-Shock”, pada pertemuan terakhir di destinasi Lawang Sewu beberapa waktu lalu, hadir pula pencinta G-Shock dari Jepara dan Bandung.
Fanatisme produk
Pencinta arloji terwadahi sesuai koleksi arloji mereka. Mulai dari pencinta G-Shock Indonesia, Seiko Diver Indonesia, Pecinta Arloji Kuno Indonesia, Indonesian Watches Forum, TAG Heuer Indonesia, Seiko Monster Indonesia, Arloji Jogja (Arjo), Indonesia Vintage Watch Owner, Horologi Indonesia, Orient Watcht Indonesia, Outlet Vintage Indonesia, dan Komunitas Tukang Jam Kuno Indonesia. Ada pula Matic Medan Antique Community, Just About Watches, Indonesia Classic Watch Community, JB Swiss Made Original, hingga Seiko Diver Indonesia FJB. Di samping itu, ada pula komunitas pencinta arloji sesuai nama kota, seperti komunitas jam Malang, Ngawi, Bandung, Medan, dan Denpasar.
Pada kenyataannya, nama komunitas itu menunjukkan arloji yang mereka koleksi atau kegemaran merek terhadap arloji tertentu. Adapun mengenai keanggotaannya, justru bisa lebih egaliter. Satu kolektor bisa memiliki lebih dari 5 sampai tak terhingga dengan bermacam-macam merek. Ada kalanya penggemar Seiko Turtle (kura-kura) bisa mengoleksi sampai 9 arloji sejenis, atau pencinta TAG Heuer bisa lebih dari 8 koleksi arloji. Hal yang tak bisa diabaikan, selain kesukaan, pemilihan atas merek arloji biasanya juga didasari atas kondisi finansial. Kalau finansial terbatas, penggemar akan bermain di arloji menengah, seperti Tissor, Seiko, Citizen, Titus, atau Orient.
Partisipan penggemar jam tangan yang bergabung pun juga meluas. Tak lagi hanya dari berbagai kota di Indonesia, penggemar dan penjual arloji dari Rusia, Jerman, Amerika, sampai Australia pun kerap nimbrung. Obrolan mereka mulai dari hanya memamerkan koleksi sampai menawarkan arloji khas negaranya. Misalnya, seorang kolektor jam asal Rusia menawarkan arloji Vostoc Dial berlogo kapal selam.
Salah satu komunitas pencinta jam yang eksis sepanjang 2018 adalah Arjo, Pecinta Arloji Jogja. Pada 12-13 Mei 2018, penggiat Komunitas Arjo berhasil menyelenggarakan pameran arloji kuno bertajuk Arloji Kasepuhan di Yogya City Mall. Pameran yang menyediakan lebih dari 20 stan tersebut dipenuhi acara lelang jam, konsultasi arloji, jual beli arloji, jual beli suku cadang, dan sarana pertemuan pencinta jam seluruh Indonesia.
Salah satu anggota panitia Arloji Kasepuhan Indonesia 2018, Husein W, mengakui menggelar pameran arloji itu kerja nekat. Pada pameran itu, pencinta arloji menyadari bahwa 70 persen jam tangan vintage di level menengah justru ada di Indonesia. Ini kemungkinan bagian dari sejarah perkembangan perkebunan dan perdagangan rempah-rempah di masa kolonial hingga kemerdekaan, begitu banyak hadiah-hadiah juga penjualan barang berharga, termasuk arloji, mulai dari arloji saku, jam dinding, hingga jam tangan.
Di pameran itulah, kegemaran akan jam tangan juga menumbuhkan industri rumahan untuk pembuatan rangka mesin jam, terutama seri diver. Perajinnya adalah Ridwan asal Cimahi, Jawa Barat. Ridwan mengatakan, rangka mesin Diver varian Sumo sangat digemari penggemar jam luar negeri. Rangka mesin bisa dibuat dari baja coklat atau besi perak yang terkesan kuno. ”Sebulan bisa bikin sampai 20 biji, tergantung pesanan. Kalau jual ke regional antara Rp 5 juta dan Rp 8 juta per unit, jika kirim ke Filipina harganya bisa Rp 20 juta per unit,” ujarnya di sela-sela pameran.
Arloji legendaris
Berkembangnya pencinta arloji vintage juga tidak lepas dari rasa nasionalisme. Kini timbul kesadaran di kalangan penggemar arloji untuk tetap mempertahankan keberadaan arloji kuno, vintage, dan unik tetap berada di tangan-tangan kolektor dari Indonesia. Hal itu tentu saja akan mengesampingkan tawaran yang timbul oleh penggemar dari luar negeri ketika kolektor mem-posting arloji vintage ke media sosial.
Pegiat arloji vintage di Salatiga, Bernadi, setuju bahwa arloji kuno sebisanya tetap dimiliki orang Indonesia. Beberapa arloji yang menjadi incaran itu karena jam tangan itu sudah tidak lagi diproduksi. Jumlahnya pun terbatas serta punya sejarah. Seperti jam tangan Omega Flight Master yang legendaris itu banyak diburu kolektor. Harga Omega vintage itu kini di atas Rp 60 juta, sesuai kondisi dan bukan batangan (ada boks dan sertifikat).
Kelak, para kolektor jam yakin, arloji akan menjadi cabang investasi tersendiri. Hal ini karena arloji vintage atau varian tertentu merupakan arloji edisi terbatas (limited edition), padahal penggemarnya sangat banyak. Ketidakseimbangan ini pasti memunculkan disparitas harga jual beli yang tinggi. Arloji bisa menjadi barang investasi kelima setelah emas mulia, properti, surat deposito, dan saham.
Beberapa jam sudah terbukti harganya melangit karena edisinya terbatas. Di antaranya arloji Seiko Kebo atau dikenal Seiko Bullhead yang bentuknya menyerupai kepala kerbau dua tanduk, baik yang tipe Chronometer maupun Speed Timer buatan 1970-1980, kini tembus Rp 10 juta. Padahal, 6 tahun lalu harganya masih di bawah Rp 2 juta. Ada pula Seiko Turtle vintage 6105 6309 tahun 1970 kini Rp 8 juta. Jam-jam ikonik, seperti Seiko Helmt, Seiko Poque, dan Seiko Panda, juga selamanya akan menjadi incaran.
Pemburu arloji, seperti Eko Pras asal Kendal, menyatakan memiliki jam tangan yang punya nilai sejarah lebih bernilai dibandingkan membeli jam baru dan mahal. Seorang penggila jam tangan pasti lebih bangga memiliki jam kuno Enicar edisi 1956. Arloji buatan Swiss ini pada Mei 1956 dikenakan oleh anggota tim ekspedisi Swiss untuk mencapai puncak Pegunungan Himalaya. Tim pendaki berhasil mencapai puncak gunung bersama para pemandu atau disebut sherpa. Keberhasilan itulah yang membuat pabrik jam Enicar mematenkan varian Enicar Sherpa dengan harga saat ini bisa di atas Rp 8,5 juta.
Contoh lain, arloji Omega Speedmaster 1950, meroket setelah dipakai astronot Apollo 11 ke Bulan, yakni Buzz Aldrin. Norman Schwarzkopf, jenderal Amerika pada perang Irak, menggunakan Seiko 7548 pepsi, yang kini terkenal sebagai Seiko Dessert strom. Belum lagi Seiko 6309 melegenda setelah dipakai Mick Jagger, atau Brian May yang sepanjang hidupnya mengenakan arloji Seiko 7548. Ada juga Seiko Poque yang dikenakan Kolonel Willian Poqua 1973 ketika terbang ke angkasa bersama Skylab 4. Jam-jam tersebut beredar pula dan dimiliki sebagian kolektor Tanah Air.
Teknologi jam
Bagaimana, Anda juga termasuk penyuka jam tangan? Hal pertama yang mesti Anda pahami pertama kali adalah mengenali teknologinya. Umumnya, arloji produksi Jepang, Swiss, Rusia, dan juga Amerika Serikat menggunakan mesin penggerak terbagi 5 jenis. Yang pertama movement manual winding, jam manual yang putarannya (crown) menjadi sumber tenaga.
Ada pula jenis penggerak solar, kemudian ada arloji berpenggerak manual kinetik yang memadukan daya baterai dengan matik yang kekuatannya tahan sampai 6 bulan. Selain itu, ada juga jam bermesin otomatis yang pada zaman modern ini paling digemari karena praktis dan awet. Terakhir, arloji berpenggerak baterai yang kelebihannya lebih tepat waktu dan baterainya bisa diganti jika habis dayanya.
Nah, bagi yang suka membeli arloji mahal lewat e-Bay ataupun membeli langsung dari luar negeri, sebaiknya meluangkan waktu ikut bergabung dalam komunitas pencinta arloji. Siapa tahu kelak dapat memperoleh arloji Omega seperti yang dikenakan tokoh terkenal dalam film James Bond dengan harga lebih murah dibandingkan arloji Ricard Mille.