Menjajal Dua Kendaraan Tempur Andalan TNI
Jika uji kendara alias test drive terhadap kendaraan mewah berharga miliaran rupiah sudah menjadi hal biasa bagi rubrik Kendara di Kompas, kini Kompas menjajal kendaraan perang, kuda beban andalan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kendaraan itu juga digunakan di Lebanon di Timur Tengah hingga Sudan, Afrika.
Selama dua hari, Senin (21/5/2018) dan Selasa (22/5/2018), harian Kompas ”dipinjami” kendaraan taktis (rantis) Komodo 4x4 dan kendaraan tempur (ranpur) Anoa 6x6. Dua kendaraan itu bahkan menginap semalam di areal parkir mobil khusus wartawan Kompas di kompleks perkantoran Kompas Gramedia.
Rantis Komodo sepintas wujudnya mirip Hummer atau Humvee yang digunakan militer Amerika Serikat. Namun, kendaraan ini lebih jangkung dengan tinggi 2,4 meter, sedangkan tinggi Hummer hanya 2 meter. Adapun ranpur Anoa berbentuk nyaris kotak dengan tinggi 2,7 meter.
Komodo yang digunakan untuk uji kendara ini berwarna putih dengan kode huruf-huruf UN–United Nations–di pintu depan kanan, kiri, dan belakang. Kendaraan Komodo tersebut memang akan dikirim ke Kongo untuk Misi Pasukan TNI di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sementara panser Anoa 6x6 yang dikirim dari pabrik PT Pindad (Persero) di Bandung merupakan armoured personel carrier (APC) atau kendaraan lapis baja pengangkut pasukan.
Menurut Direktur Bisnis Pindad Heru Puryanto, panser Anoa itu dikembangkan dari basis VAB, vehicule de l’avant blinde buatan Perancis versi 4x4 yang dibuat oleh pabrikan otomotif Renault serta dirilis tahun 1976.
Tujuannya, ketika ban itu ditembak oleh musuh, kendaraan Anoa itu tetap dapat melaju sejauh 30 kilometer dari lokasi insiden untuk dapat menyelamatkan diri.
Mesin Renault, dengan transmisi otomatis, juga digunakan di VAB versi Indonesia. Hanya saja, Anoa dikembangkan dengan sistem gerak enam roda.
Karena kurang asyik jika hanya mengetes Komodo 4x4 dan Anoa 6x6 di areal parkir kantor Kompas Gramedia, kami pun memboyong dua kendaraan ini menuju tempat latihan off-road di Desa Pelangi, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari Palmerah, kami melintasi jaringan tol dalam kota, kemudian melewati ruas Tol Jagorawi.
Dua kendaraan tempur itu kebetulan belum dipasangi nomor polisi atau nomor militer sehingga kami dikawal oleh polisi militer menuju Sentul.
Menguji di Sentul
Ketika melaju naik Anoa di jalan tol dengan kecepatan di atas 60 kilometer per jam, terasa guncangan yang berbeda dengan kendaraan pribadi. Ternyata, ban Anoa dilengkapi dengan runflat insert alias ban mati.
Tujuannya, ketika ban itu ditembak oleh musuh, kendaraan Anoa itu tetap dapat melaju sejauh 30 kilometer dari lokasi insiden untuk dapat menyelamatkan diri. Sekadar memberikan gambaran, dalam kondisi bahan bakar penuh, Anoa dapat menjelajah hingga 600 kilometer.
Yang mengasyikkan dari menumpang sebuah rantis dan ranpur adalah kubah di bagian atas kendaraan yang dapat dibuka. Dalam perjalanan menuju Sentul, Kompas membuka kubah tersebut dan menikmati terpaan angin.
Pada lubang kubah (turret) terdapat dudukan untuk memasang senjata. Biasanya, senapan mesin ukuran kaliber 7,62 mm dan 12,7 mm atau senapan pelontar granat. Adapun kelengkapan tambahan adalah pelontar asap, smoke launcher, untuk membuat tirai asap guna melindungi Anoa dan Komodo di medan operasi.
Selain itu, disediakan pula pintu darurat di bagian bawah belakang kabin Anoa dan Komodo yang digunakan untuk meloloskan diri awak kendaraan dan pasukan dalam kondisi darurat. Ledakan bom, misalnya, memang dapat merusak pintu dan kubah (turret) kendaraan tempur apa pun.
Ketika tiba di Sentul, instruktur dan pengemudi tes Anoa, Tutun Kurniadi, mengakui bahwa medan tes di Sentul lebih ekstrem daripada medan latihan milik TNI di sekitar Bandung ataupun di pabrik Pindad di Kiara Condong, Bandung. Namun, hal itu bukan halangan bagi Komodo dan Anoa yang memang tangguh.
Semua lintasan berbatu dan tanah liat juga dapat dilalui dengan mulus oleh Komodo dan Anoa.
Tanjakan dan turunan ekstrem di medan off-road Desa Pelangi, Sentul, dapat dilibas. Semua lintasan berbatu dan tanah liat juga dapat dilalui dengan mulus oleh Komodo dan Anoa.
Guncangan memang terasa keras saat Kompas mencoba naik Komodo dan Anoa di medan off-road itu. Namun, kami maklum dengan kondisi itu karena kendaraan ini bukan untuk ”jalan-jalan sore”, tetapi untuk menjaga negeri.
Menurut Tutun, biasanya dibutuhkan waktu 2-4 minggu bagi personel TNI untuk mahir menyetir Anoa. ”Saya sendiri yang melatih sampai mereka bisa mengoperasikannya sendiri,” ujar Tutun.
Bagi operator Komodo, diperlukan keahlian khusus karena kendaraan tempur yang menggunakan mesin truk Hino buatan Jepang itu memakai rem angin.
Saat ini, berbagai satuan TNI dan Polri sudah menggunakan Anoa dan Komodo. Ketika digelar operasi penanggulangan teroris di Mako Brimob belum lama ini, sejumlah rantis Komodo juga dihadirkan di dalam Rutan Mako Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Bicara soal produksi, Direktur Utama PT Pindad Abraham Mose mengatakan, Pindad terus akan memproduksi berbagai produk rantis dan ranpur seperti Anoa, Komodo, hingga panser Badak. Armada tank yang digunakan TNI sejak tahun 1960-an juga memang harus diremajakan.
Pindad, kata Abraham Mose, juga terus coba menembus pasar ekspor. Sejauh ini, misalnya, PT Pindad sudah mengekspor amunisi ke Amerika Serikat. Pada Mei 2018, seiring dengan kunjungan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, ada rencana pembelian 45 kendaraan tempur Anoa 6x6.
Apakah mungkin kendaraan taktis dan tempur buatan Pindad dijual bagi sipil atau lembaga kontraktor keamanan? Bukankah, kendaraan taktis Hummer buatan Amerika Serikat juga dijual di Indonesia?
Abraham Mose pun mengatakan, sejauh ini belum ada permintaan. Bilamana ada permintaan, tentu saja akan ada perbedaan spesifikasi untuk pengguna sipil.
Catatan: Ini adalah versi teks standar yang lebih pendek dari artikel multimedia versi lengkap dalam bentuk Tutur Visual yang bisa dibaca di sini.