Samar-samar seekor ikan bersembunyi di balik lumpur dan dedaunan. Tubuhnya yang melintang tak melebihi telapak tangan orang dewasa. Tetapi ekornya menyembul seperti berusaha membuat daya dorong untuk berenang. Lampu-lampu yang mulai dinyalakan membuat pondok-pondok memantul di permukaan air.
Sebagai penghuni perairan darat, tak mudah menyajikan gurami di atas piring. Ia selalu distigma menjadi ikan yang kalah saing dengan para penghuni lautan, seperti kakap atau kerapu. Gurami dan ikan-ikan perairan darat lainnya, seperti nila, mujair, bawal, dan lele, senantiasa dicap sebagai pembawa rasa lumpur atau bahkan pelet, pakan buatan yang menyembulkan aroma amis. Itulah tantangan I Putu Sudiarsana, dua tahun lalu sebelum memutuskan membuka Warung Taman. Di luar itu, ia membuka warung nun jauh dari pusat keramaian, di Banjar Taman, Desa Tuwed, Jembrana, Bali. Warungnya berjarak 10 kilometer dari pusat ibu kota Jembrana, Kota Negara, di jalur lintas Denpasar-Gilimanuk.
Dua tantangan itu ia terabas dengan modal nekat dan sedikit kecintaan. Arsana memang lahir di Desa Tuwed, desa perkebunan yang jauh dari riuh rendah kota. Setelah lulus berkuliah di fakultas ekonomi sebuah universitas di Denpasar, niatnya bulat untuk turut menggerakkan ekonomi desanya lewat warung.
Di garis pantai tak jauh dari desanya terdapat pusat kuliner laut bernama Desa Buahan. Desa ini sejak 10 tahun terakhir setidaknya sudah dikenal sebagai penyaji menu olahan laut dengan warung-warung yang berjejer sepanjang garis pantai. ”Kalau saya ikut arus, pasti warung ini biasa saja. Saya coba ambil risiko dengan menu ikan darat,” kata Arsana awal Juni 2018 di warungnya.
Risiko yang ia maksudkan sudah pasti stigma yang seolah dilekatkan sampai mati kepada jenis-jenis ikan darat. Maka langkah pertamanya, mengadvokasi para petani ikan setempat untuk menghasilkan produk ikan darat tanpa aroma lumpur, apalagi pelet. Secara perlahan, dalam dua tahun berjalan gurami di Warung Taman adalah gurami hasil budidaya organik. Dibesarkan di kolam tanpa lumpur dengan jenis pakan organik.
Dengan cara itu, gurami benar-benar terbebas dari stigma lumpur tadi. Langkah berikutnya, tinggal memberi sentuhan seni memasak agar gurami melenggang seperti barisan puisi di atas piring, lalu mendedahkan keindahan tiada tara dari dalam dirinya.
Sentuhan bumbu
Arsana punya cara unik dan menarik dalam menyajikan gurami. Satu sisi ia berusaha keras menghilangkan rasa lumpur dan pelet, sisi lain ketika meramu dan kemudian menyajikan gurami di atas piring, ia justru memilih gurami yang seperti berlumuran lumpur. Dua menu andalannya gurami nyatnyat dan gurami sambal bongkot. Keduanya sebenarnya jenis kuliner yang selama berabad-abad disimpan dalam dapur domestik keluarga-keluarga Bali. Industri pariwisata kemudian memunculkannya ke atas permukaan lewat olahan mujair nyatnyat di kawasan wisata Danau Batur, Kintamani. Fenomena ini pulalah yang menginspirasi Arsana untuk menerapkannya pada gurami.
Nyatnyat termasuk slowfood, yang secara harfiah menggunakan teknik memasak secara perlahan-lahan. Gurami yang telah digoreng setengah matang dimasukkan ke dalam racikan bumbu khas Bali plus santan kelapa, lalu dipanaskan dengan api kecil. Pelan-pelan bumbu dan santan menembus pori-pori ikan untuk kemudian secara bersama-sama menciptakan paduan rasa yang gurih, lembut, dan penuh kejutan. Masakan baru siap dihidangkan saat santan mengental dan membaluri seluruh tubuh ikan. ”Ini tidak seperti makan gurami, tetapi jenis ikan yang berbeda,” ujar Tan Hana, seorang pengunjung yang datang dari Jakarta.
Menu kedua yang tak kalah istimewa adalah gurami sambal bongkot. Menu ini berintikan dua olahan kuliner yang disajikan dalam satu piring. Menu pertama gurami goreng kering dan kedua sambal bongkot. Arsana menggunakan gurami yang tidak terlampau besar sehingga menghasilkan gorengan yang renyah. Kemudian racikan bongkot (kucicang), serai, bawang merah, dan cabai rawit disiramkan dengan minyak panas di atas gurami. Saat dicecap irisan bongkot menjadi hal pertama yang menyerang indera perasa. Kemudian perlahan-lahan lidah mulai mengecap rasa pedas yang diperkuat kecupan bawang. Serai bertugas memperkuat sentuhan pada pencecapan terakhir. Ada jejak-jejak yang tak mudah terhapus di sekujur ingatan lidah.
Begitulah bumbu-bumbu ini bersatu untuk saling memberi kontribusi pada keindahan rasa. Gurami yang lewat Warung Taman berusaha melawan stigma, kemudian bertemu sekawanan pemberi cita rasa bernama bumbu. Mereka bersama-sama menghadirkan sajian otentik yang berangkat dari dapur-dapur domestik di masa lalu. Selain pemandangan taman dengan kolam ikan dan pondok-pondok yang natural, di warung ini puisi dituliskan pada setiap piring yang disajikan kepada para tamu.