Para Koki di Dapur Alam
Dari hulu hingga hilir, lereng gunung hingga rawa, tanah Papua adalah surga pangan. Di tengah hutan sekalipun, dapur masak siap digelar. Beragam jenis bahan pangan dihadiahkan oleh alam untuk diolah sebagai pelepas lapar dan dahaga.
Kekayaan alam yang menjadi sumber pangan itu menginspirasi para pencinta kuliner di Papua. Mereka bergabung dalam komunitas Papua Jungle Chef (PJC) sejak 2008. Para koki itu bergerilya menularkan virus ”cintai pangan lokalmu” kepada dunia. Di Papua, virus terus menyebar, dari kota hingga pedalaman yang sagunya kian terancam punah.
Alhasil, hutan dan rawa kini bagaikan sebuah mal. Tak perlu keluar uang, alam telah menyediakan. Syarat untuk dapat mencicipi kenikmatan kuliner berbahan alami ini pun tidak berat. Cukup belajar meramu.
Geliat berburu dan meramu hasil pangan lokal itu akhirnya melegakan Andre Liem, Ketua Papua Tour Guide Community. Ia pernah merasa resah ketika Bandara Internasional Biak dibuka tahun 1990-an. Kehadiran bandara mendatangkan banyak wisatawan berkunjung. Di satu sisi para pemandu wisata gembira. Mereka menyambut banyak tamu untuk diantar melancong. Namun, persoalan baru muncul.
Selama mengantar tamu bertualang dari satu tempat ke tempat lain, Andre kerap dihadapkan pada satu pertanyaan. ”Di mana tamu-tamu saya dapat menemukan tempat makan yang menyediakan masakan lokal,” ujarnya mengenang.
Saat itu, sagu melimpah di alam Papua. Akan tetapi, di rumah-rumah makan, hampir mustahil mendapatkan menu lokal dan tradisional. Ambil contoh, papeda, makanan khas dari bahan sagu, telah semakin langka. Sulit menemukan warga mengolah sagu jadi papeda. Bahan bakunya ada, tetapi tak banyak lagi generasi muda yang bisa dan mau mengolahnya.
Karena itu, kerap kali ia dapati wisatawan kembali ke negaranya dengan rasa penasaran. Keunikan kuliner Papua menjadi cerita belaka.
Gelisah akan keadaan itu, Andre dan sejumlah pencinta kuliner memutuskan berhenti sekadar melancong dan memandu turis. Keindahan alam Papua perlu disempurnakan dengan keistimewaan kulinernya. Di hutan, bahan sagu masih melimpah. Di sungai, ikan-ikan berseliweran. ”Inilah saatnya kami belajar memanfaatkan yang ada di alam,” katanya.
Tahun 2008, dimulailah gerakan kuliner lokal. Anak-anak muda, baik mahasiswa, penggerak pariwisata, maupun pemuda desa, menginventarisasi kekayaan kuliner dari pedalaman. Hasilnya, mereka dapati betapa banyaknya bahan makanan. Sagu misalnya, ditemukan 11 macam di Distrik Sentani saja. Ubi-ubian ada 20 jenis, keladi ditemukan 10 jenis.
Para orangtua ikut bergabung. Mereka kini getol menularkan warisan pengetahuan kuliner lokal yang masih tersisa. Pelestari kuliner dari Distrik Sentani, Mama Wehelmina Monim (76), rajin mengajarkan cara meracik berbagai jenis umbi-umbian menjadi makanan lezat. Favoritnya adalah brha, kue basah yang dibuat dari kukusan singkong, ubi manis, dan keladi.
Dapur dadakan
Akhirnya, gerakan menghidupkan pangan lokal menggeliat di Papua. Di mana saja ada bahan makanan, di situlah dapur dadakan digelar. Dapurnya bukan di rumah ataupun hotel berbintang, melainkan di alam terbuka.
Setelah dipanen, bahan-bahan diolah langsung di tempat. Makan di tempat. Di bawah sinar mentari atau rembulan. Tentulah itu sangat istimewa.
PJC dimotori oleh seorang pencinta kuliner, Charles Tato, atau akrab dipanggil Chef Chato. Sepuluh tahun terakhir ia menelusuri sumber-sumber pangan hingga ke pedalaman. Dari petualangannya, Chato mendapati begitu banyak bahan pangan yang dimiliki Papua. Pada masa lalu, bahan-bahan itu diolah tanpa bumbu. Di atas tanah yang subur, bahan pangan memiliki rasa alami yang mewah.
Kepada para pendatang, ia berupaya memperkenalkan masakan serba bakar dan rebus, dan nyaris tanpa bumbu. Sebab, itulah identitas kuliner asli Papua. Memperkenalkan tradisi itu menjadi sebentuk gastro-diplomasi.
Namun, kata Chato, kuliner Papua tak hendak menutup diri. Pada masa kini, saat lidah mulai dimanjakan rempah dan bumbu, lahirlah beragam paduan. Kuliner Papua pun melebur dalam masakan Nusantara. Chato mencontohkan, di perkampungan Genyem, Kabupaten Jayapura, terubuk alias tebu telur dulunya hanya diolah dengan cara bakar batu. Mereka biasa menyebutnya sayur lilin. Kini, perpaduan dengan budaya modern menghasilkan oseng dan tumis sayur tebu, dengan tambahan minyak kelapa, sedikit garam dan lada.
Kaya rasa
Bukan hanya sagu. Pulau Numfor, Kabupaten Biak Numfor, juga kaya akan hasil pokem alias sorgum. Bahan itu bisa diolah menjadi tepung untuk sumber karbohidrat. ”Masyarakat di sana ternyata sudah terbiasa mengolahnya menjadi bubur. Rasanya seperti sereal,” katanya.
Lain lagi di Kabupaten Supiori. Di sana, buah tanaman bakau diolah menjadi makanan pengganti kentang. Chato menceritakan, beberapa menu memang terkesan liar dan mengerikan, seperti ulat sagu. Akan tetapi, bagi kalangan tertentu, ulat sagu justru paling dicari, apalagi jika menikmatinya di tengah pesta ulat sagu adat Korowai.
Di acara pesta ulat sagu, masyarakat menyiapkan ulat-ulat terbaik. Ulat sagu dicampur dengan sagu, lalu dibakar batu. Seperti apa kenyalnya daging ulat sagu? ”Seperti menggigit daging buah leci yang lembut,” jawabnya.
Untuk menyesuaikan lidah orang modern, komunitas itu pun membuat modifikasi kuliner. Ulat ditumis dengan minyak kelapa beserta garam hitam dari pegunungan setempat. Kadang-kadang ulat sagu diolah menjadi sate. Bisa dinikmati dengan kecap dan sambal.
Tak kalah seru racikan Martinus, pemuda Desa Adat Soroba, Jayawijaya. Saban waktu ia rajin mendaki gunung untuk mengumpulkan air garam hitam. Lalu, air garam dibawa pulang dalam wadah bambu. Kembali ke desa, air garam diekstraksi. Ia pun menciptakan masakan baru, bubur labu. Bubur dan garam hitam ia suguhkan kepada tamu-tamu yang berkunjung dan menginap di desa wisata itu.
”Mereka senang. Tak menyangka bisa menikmati masakan dengan bahan-bahan khas dari sini,” kata Martinus.
Makanan yang dianggap sederhana bagi masyarakat setempat, menjadi istimewa bagi para pelancong dari luar. Apalagi ketika mereka diajak ikut meramu dan memasak. ”Jika mereka bisa ikut olah, tidak hanya perut kenyang. Wisatawan lebih puas karena terlibat langsung. Mereka mendapatkan pengetahuan baru juga,” ujarnya.
Komunitas koki Papua menjadi koki-koki yang beraksi di alam terbuka. Saat ini, Papua Jungle Chef telah beranggotakan 120-an orang. Mereka juga menggagas sekolah pangan. Pada sejumlah festival kuliner di daerah lain, komunitas ini kerap diundang untuk berbagi pengalaman, misalnya pada Ubud Food Festival yang digelar Mei lalu.
Pada berbagai kesempatan, mereka menekankan, kekayaan alam Papua adalah dapur termewah yang mereka miliki. Untuk itulah dapur alam itu perlu tetap dijaga.