Pesan Damai Nasi Kembar
Sebelum nasi benar-benar ada di Jailolo, rakyat umumnya makan sagu, pisang, atau singkong. Ketika beras diperkenalkan dari Jawa, rakyat terbelah dalam dua agama: Nasrani dan Islam. Menghindari perpecahan dalam keluarga, rakyat setempat memasukkan simbol persaudaraan dalam ”e a jala” atau nasi kembar.
Jumat (11/5/2018) malam, rombongan perjalanan Unveiling Jailolo dijamu suku Sahu di balai adat setempat. Jamuan adat ini bertepatan dengan pergelaran ritual orom sasadu, acara adat yang dihelat pada awal musim tanam atau sesaat sesudah masa panen.
Rombongan yang dipimpin pakar kuliner William Wongso dari Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) disambut tarian legu salai, tarian tradisional untuk menyambut para tamu istimewa, sebelum memasuki balai adat.
Sesungguhnya, kata Kepala Adat Suku Sahu Desa Taboso Nochlottoh (63), orom sasadu lebih dalam dari sekadar pengucapan rasa syukur atas panen berlimpah yang diberikan alam.
”Dalam orom sasadu selalu ada sajian nasi kembar atau e a jala,” katanya setelah seluruh rombongan duduk di balai-balai yang melingkari ruangan.
Nasi kembar, ujarnya, dibikin oleh orang-orang Jailolo ketika agama memasuki wilayah itu sekitar tahun 1500. Umumnya di wilayah-wilayah pedalaman, warga Jailolo memeluk Nasrani, sementara di pesisir banyak dipengaruhi Kesultanan Ternate yang memeluk Islam.
”Leluhur kami suku Sahu memeluk kedua agama itu. Kami tidak mau persaudaraan kami pecah gara-gara perbedaan agama,” kata Nochlottoh berapi-api.
Pengamat kebudayaan Halmahera Barat Mario Hideyuki, yang menyertai rombongan selama di Jailolo, mengatakan, Nasrani memasuki Jailolo lewat Belanda dan Portugis. ”Sementara Islam lewat Kesultanan Ternate yang memang memiliki keturunan Arab,” katanya.
Nasi kembar dimasak dari beras ladang yang dibungkus daun pisang lalu dibakar dalam bumbung bambu. Sebelum dimasukkan ke dalam bambu, beras dikemas dengan daun pisang yang diisi bagian kiri dan kanannya.
”Sisi kiri dan kanan dipisah oleh pelepah, lalu masing-masing digulung. Jadi, nanti nasinya jadi kembar,” kata Mama Fina (63) dari Desa Ngaon, Jailolo.
Jumat siang, rombongan belajar memasak dari suku Sahu di Desa Ngaon. Kelas memasak yang menggunakan bahan pangan dan bumbu lokal ini juga digelar di sebuah ladang pertanian milik petani setempat.
Oleh sebab itu, kata Nochlottoh, dalam pesta-pesta adat yang bisa berlangsung tujuh hari tujuh malam di balai adat, selalu harus ada suguhan nasi kembar. ”Kami lalu makan bersama seperti malam ini. Pada saat makan, persaudaraan itu terus dirawat dan dipupuk bersama,” katanya.
Dalam perkembangannya, jamuan adat orom sasadujuga digelar untuk menyambut para tamu istimewa, seperti para pejabat atau wisatawan. Meski begitu, menurut Mario, orom sasadu maksimal hanya bisa digelar dua kali dalam setahun di satu desa. ”Tidak bisa lebih dari itu. Tidak bisa setiap ada tamu digelar orom sasadu,” katanya.
Menurut Ketua ACMI Santhi Serad, simbol-simbol persaudaraan suku Sahu yang mendiami Jailolo di Halmahera Barat, Maluku Utara, tak hanya bisa ditemukan pada nasi kembar. Hampir seluruh menu sajian dan aktivitas dalam ritual orom sasadu mengandung nuansa persaudaraan dan persahabatan.
Malam itu, kami dijamu menu lokal bernama e a to’ou (nasi bambu biasa), nyao kapo (ikan masak kering), nyao sananga (ikan goreng), jijidu (kerang rica), dabudabu sidudu igon (sambal), papeda (bubur sagu), dabuolaola (sayur lilin), sayur bunga pepaya, dan saguer (o’e ja’du). Seluruh tamu dari kalangan mana pun, kata Santhi, akan disuguhi menu serupa. ”Dan yang terpenting seluruh menu diramu dari bahan-bahan lokal. Semuanya ada di sekitar desa,” kata Santhi.
Perlakuan sama
Perlakuan seperti itu mencerminkan bahwa suku Sahu selalu menghormati dan memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. ”Semua yang dijamu dalam ritual adalah saudara kami,” kata Nochlottoh. Di luar soal itu, suku Sahu tidak pernah merasa malu menyuguhi para tetamu dengan bahan pangan lokal yang mereka petik dan panen dari kebun mereka sendiri.
”Ini termasuk kesadaran yang amat tinggi terhadap kemampuan bahan pangan lokal dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga,” kata Santhi.
Mario menambahkan, sewaktu diguncang konflik besar pada awal tahun 2000-an, suku Sahu menggunakan medium adat sebagai jalan keluar. Mereka menggelar dialog-dialog yang biasanya menggunakan jamuan makan sebagai wahana persaudaraan. ”Jadi, jamuan makan pada suku Sahu menjadi sarana penting untuk menjalin persaudaraan dan itu sudah terbukti,” kata Mario.
Menurut dia, meja makan dalam banyak kebudayaan menjadi meja perundingan yang bisa memecahkan berbagai kebuntuan dan permusuhan. Oleh sebab itu, banyak jamuan makan di bungkus dalam tatanan ritual dengan penghayatan yang subtil.
”Para pesertanya serasa memasuki wilayah berbeda. Ketika dialog dimulai, semuanya sudah seolah selesai. Itulah kekuatan makanan,” ujar Santhi.
Tak bisa diremehkan
Sebagai pakar kuliner, William Wongso punya keyakinan pada kekuatan makanan dalam menggalang kekuatan, terutama kekuatan persaudaraan. Rasa itu tidak sekadar berhenti pada lidah, tetapi terus menyusup menjadi unsur pembentuk karakter suatu bangsa. ”Jangan pandang remeh kuliner. Anda bisa melihat karakter suatu bangsa pada waktu tertentu dari apa yang mereka makan,” ujarnya.
William Wongso memberi contoh, suku yang makan sagu bisa dilihat sebaran wilayahnya, terutama di sekitar daerah berawa- rawa, dataran rendah, di mana pohon sagu tumbuh secara liar.
”Kesalahan kita menganggap mereka yang makan sagu sebagai primitif, lalu menggantinya dengan beras,” katanya.
Cara pandang merendahkan seperti ini sudah seharusnya dihentikan. Bukan saja dalam rangka diversifikasi pangan, melainkan memuliakan suku-suku yang memiliki bahan pangan berbeda karena mengonsumsi bahan pangan yang tumbuh di sekitar mereka. ”Mengonsumsi bahan pangan seperti sagu atau ubi tidak memiliki korelasi dengan tingkat peradaban sebuah kelompok,” kata William Wongso.
Santhi Serad, bersama ACMI, sejauh ini terus gigih memperjuangkan keberadaan pangan lokal. Komunitas ini selalu mengajak kaum urban untuk melihat langsung di mana bahan makanan itu tumbuh serta bagaimana proses pengolahan dan pola konsumsinya. Program perjalanan seperti Unveiling Jailolo yang diikuti 25 peserta, katanya, diharapkan menumbuhkan kesadaran bersama tentang pentingnya menghargai pangan lokal. ”Dari situ akan tumbuh saling pemahaman di antara sesama orang Indonesia,” ujarnya.
Nilai-nilai yang tersirat dalam nasi kembar, misalnya, diharapkan akan memantik pemahaman tentang pentingnya menggali sumber-sumber lokal yang mengandung nilai-nilai universal. Siapa menyangka, dalam sebumbung nasi yang dimasak oleh orang-orang yang jauh hidup di perdesaan terdapat filosofi yang mendasari hidup kita di negara yang bineka ini.
Setelah santap bersama, ritual orom sasadu diakhiri (khusus untuk para tamu) dengan menabuh tifa. Kami menari sampai jauh malam. Lalu, warga melanjutkan pesta itu selama dua hari dua malam, tanpa henti….