Melalui buku, anak bisa melihat, mendengar, merasa, bahkan membaui dengan perangkat imajinasi. Mereka merdeka memaknai segala yang dibaca berdasarkan pengalaman dan sudut pandang sendiri. Namun, buku kini harus bersaing dengan gawai yang kerap lebih agresif menggaet perhatian anak.
Syafiq (39), ayah dua anak yang tinggal di Tangerang Selatan, mencari siasat menanamkan kebiasaan membaca buku kepada Altaf (9) dan Fela (5). Mulanya, ia merasa baik-baik saja dengan kebiasaan kedua anaknya bermain gawai. Syafiq merasa cukup dengan menyaring gawai untuk mencegah anaknya terpapar konten kekerasan atau pornografi. Hingga suatu saat ia tersadar, makin lama kedua anak itu jauh lebih gandrung bermain gawai daripada berlarian di halaman atau main sepeda. Keduanya pun kian tidak sensitif dengan lingkungan sekitar. Saat sang ibu memanggil, misalnya, mereka sering menjawab karena lebih fokus ke gawai.
Sejak empat bulan lalu, Syafiq pun mensyaratkan Altaf membaca buku terlebih dahulu sebelum bermain gawai. ”Satu bab buku ditukar dengan 15 menit main ponsel,” kata Syafiq.
Mula-mula ia menyodorkan buku Negeri 5 Menara karya A Fuadi kepada anaknya. Semula Altaf enggan membacanya, tetapi karena dorongan memegang gawai begitu kuat, dia baca juga buku itu. Dalam dua hari, Altaf menamatkan tiga bab dan mendapat jatah bermain gawai 45 menit. Syafiq juga mendiskusikan isi buku itu dengan Altaf untuk menggali pemahaman sang anak atas bacaan itu.
Sekitar sebulan, 46 bab buku itu ditamatkan Altaf tanpa perlu dibujuk lagi. Ketika mengakses internet, Altaf juga mulai mencari informasi dan visualisasi tentang materi yang sebelumnya ia baca.
Keteladanan
Pasangan Primadonna Hidayat dan Isman Suryaman yang tinggal di Bandung juga terbilang sukses membiasakan dua anak mereka membaca. Keduanya meyakini, keteladanan dari orangtua berperan penting menciptakan iklim gemar membaca. Anak akan meniru kebiasaan orangtua, apakah itu kebiasaan membaca, menonton televisi, atau bermain gawai. Jangan berharap anak mau membaca kalau orangtuanya tidak pernah membaca.
”Beberapa tahun lalu, ada seorang teman bertanya dan heran kenapa anak-anakku suka baca buku. Dia bilang, kok bisa, sementara anak-anaknya tidak pernah lepas dari gawai dan televisi. Saya tanya balik seperti apa kegiatan dia sehari-hari, lebih suka membaca atau menonton televisi dan main gawai. Dia tidak jawab. Namun, dari senyum masamnya, saya kira-kira bisa menebak jawabannya,” tutur Primadonna.
Selain sebagai ibu rumah tangga, Primadonna juga seorang editor, penulis, dan penerjemah lepas. Pekerjaan itu membuatnya sangat dekat dengan buku. Begitu pula suaminya yang seorang komika dan penulis naskah. Mereka membebaskan anak-anak memilih dan membaca buku apa pun, termasuk manga.
Setiap selesai membaca, mereka juga mendiskusikan buku-buku yang mereka baca. Diskusi itu bisa seputar karakter siapa atau bagian mana dari cerita yang disukai. Pada awalnya, Primadonna memilihkan buku untuk dibaca anak-anaknya, tetapi lama kelamaan mereka memilih sendiri.
Saat ini, anak sulungnya, Riordan (14), menggemari buku novel fiksi ilmiah, selain manga Jepang. Beberapa judul buku yang sedang dibacanya, Big Nate Lives It Up oleh Lincolm Peirce, Ant-Man: Prelude, dan Lockwood & Co. The Hollow Boy oleh Jonathan Stroud. Sementara adiknya, Sachika (11), sedang asyik membaca komik Hai Miiko!, Barakamon, dan My Naughty Little Sister oleh Dorothy Edwards.
Primadonna dan suaminya baru membolehkan anak sulung mereka punya gawai sendiri saat kelas VII dengan beberapa kesepakatan. Si sulung boleh mengakses media sosial, gim, dan internet di bawah pengawasan setelah selesai belajar.
Irene Dyah juga terbilang gigih berkampanye soal buku kepada dua anaknya, Tristan (9) dan Rui (7). Irene menyadari ketertarikan Tristan pada buku tak sekuat Rui walaupun si bungsu ini juga gemar menari dan menyanyi.
Salah satu cara yang dipakai Irene adalah memperkenalkan topik yang sangat beragam melalui buku kepada anak-anaknya. Ternyata Tristan yang semula tak terlalu suka membaca justru amat tertarik dengan genre nonfiksi, seperti buku tentang cara memahami kucing dan buku tentang cara kerja mobil.
Meski begitu, Irene menyimpan keprihatinan. Kedua anaknya yang kebetulan pernah tinggal di sejumlah negara—karena penempatan tugas ayah mereka—lebih tertarik membaca buku berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Sebabnya, terutama karena tampilan visual buku-buku itu. ”Gambar ilustrasi di buku impor yang handmade jauh lebih menarik, lebih hangat, dan cute dibandingkan ilustrasi di buku anak Indonesia yang dibuat komputer,” ujar Irene.
Lewat dongeng
Mendongeng juga bisa menjadi pintu masuk untuk mendongkrak minat baca anak. Cara ini dipakai Galuh Larasati. Perempuan yang tinggal di Yogyakarta ini rutin datang ke desa-desa untuk mendongeng dan bermain. Anak-anak juga diajarkan bahasa Inggris dan membuat buku sederhana. Ia juga melibatkan para ibu agar kegiatan mendongeng itu diteruskan di rumah. Saat ini, Atik, begitu ia kerap disapa, rutin ke Desa Tanjung Sari, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Atik menyewa teras dan garasi rumah warga untuk kegiatan mendongeng, membaca, dan ruang perpustakaan. Ia membiayai sendiri kegiatannya dari keuntungannya membuka usaha biro perjalanan Kaleidoscope of Java. Untuk buku-buku, Atik juga banyak mendapat bantuan dari Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA), tempat ia aktif terlibat sebagai anggota.
”Membaca meningkatkan konsentrasi anak. Kebiasaan ini akan membuat daya tangkap mereka terlatih, lebih mudah memahami pelajaran di sekolah,” kata Atik soal kegunaan membaca buku. Sebelumnya, di sebuah desa di Gunung Kidul, Atik juga menggelar kegiatan serupa. Ia mendongeng kisah Ratu Lemut yang digali dari legenda setempat dengan menggunakan wayang kertas agar menarik.
Anak-anak kemudian diajak mementaskan cerita itu. Selain anak-anak, orangtua juga antusias terlibat. Menurut Atik, pengaruh gawai belum terlalu besar terhadap anak-anak di desa. Permasalahan lebih kepada kurangnya fasilitas.
”Desa ini jauh dari perpustakaan umum dan tidak ada toko buku,” kata Atik.
Surya Sili, dosen dan peneliti Sastra Anak dari Universitas Mulawarman, Samarinda, menuturkan, membaca perlu dibiasakan sejak dini agar kegiatan ini tidak terasa berat ketika anak semakin bertambah umur. ”Ketika membaca, kemampuan berpikir anak berkembang. Membaca juga mendorong pengembangan emosi anak,” kata Surya.
Derasnya arus informasi menuntut kemampuan yang lebih tinggi untuk memproses dan memaknai informasi yang dibaca. Ilmu pengetahuan yang cepat usang juga menuntut pembaruan pengetahuan yang diperoleh lewat membaca.
”Kemampuan membaca yang baik berkontribusi pada penguatan sumber daya manusia Indonesia. Dengan tingkat literasi yang rendah, sumber daya manusia kita tidak akan kuat, daya saing juga lemah,” ungkap Surya.
Tidak terbatas pada buku kertas, buku elektronik juga bisa menjadi sumber bacaan alternatif. Akan tetapi, orangtua perlu mengawasi penggunaannya karena anak bisa mengakses gawai untuk keperluan lain, selain buku elektronik. Menghadirkan banyak buku di sekeliling anak serta memberikan teladan kebiasaan membaca oleh orangtua dan guru akan mendorong anak mencintai buku.