Tak Bosan Wastra
Pembicaraan tentang wastra sering dilakukan. Para desainer yang terjun untuk mengolah wastra karena keinginan sendiri atau tuntutan kerja sama juga tidak sedikit. Karya-karya merekalah yang menjadi etalase bagi perkembangan kain Nusantara.
Bekerja sama dengan Cita Tenun Indonesia (CTI) dan Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI), para desainer ini mengolah kain tenun dari sejumlah daerah menjadi aneka busana berdasarkan kreativitas masing-masing. Dengan demikian, wastra indah karya tangan-tangan terampil para petenun bisa ditampilkan lebih luas. Kain-kain ini juga tetap mampu merebut hati masyarakat di tengah zaman yang terus berubah.
Lewat perhelatan Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2018 yang berlangsung akhir pekan lalu, baju-baju dengan material utama kain tenun ini meluncur. Beberapa di antaranya karya Danny Satriadi, Hian Tjen, serta perancang muda Fiona HD dan Prasetio Nugroho.
Danny Satriadi diberi tantangan untuk mengolah kain tenun dari Lombok. Ia membagi pilihan warna pada nuansa terang, gelap, dan di antara keduanya melalui warna, seperti krem, abu-abu, merah, merah muda, dan hitam.
Danny bukan baru kali ini mengolah wastra. Namun, itu dilakukan sebatas memenuhi permintaan pelanggan. Mengolah tenun untuk kebutuhan peragaan busana baru pertama ini ia kerjakan. Pilihannya adalah baju-baju bergaya victoria yang memadukan tenun dengan kain tulle berwarna putih. Jika ingin tampil lebih kasual, cukup mengenakan baju dari material utama kain tenun dan menanggalkan kain tulle-nya.
Materal lain yang ia gunakan adalah raw silk, silk shantung, taffeta, dan organza. Adapun untuk kain tenunnya, Danny berusaha seminimal mungkin memotong dan membuang kain. ”Sehelai benang saja mengandung keringat ibu-ibu yang memintal benang dan menenunnya. Saya ingin memaksimalkan penggunaan kain. Kalaupun harus memotong, sesedikit mungkin sisanya,” kata Danny.
Dengan teknik moulage, ia bisa mengakali agar kain tidak perlu dipotong. Ketika pemakai bosan dengan model bajunya, pakaian bisa dibongkar dan kain masih tetap utuh. Teknik ini pernah ia terapkan pada batik.
Danny mengatakan menemukan keasyikan dalam mengolah kain tenun. Baju-bajunya dilengkapi dengan detail berupa mote, kristal, batu-batuan, sulam, dan bordir yang dikerjakan di atas bahan lain, selain tenun.
Berbeda dengan Danny, Hian Tjen membebaskan diri untuk memotong kain. Kali ini ia mengolah tenun sumba. Hian hanya berpegang pada motif utama yang ia pertahankan pada panel busana.
Kali ini ia mengambil tema ”Pelegrin” atau pilgrim yang dimaknai sebagai perjalanan spiritual. Bagi Hian, pelegrin adalah an ethnic journey of unity. ”Journey di sini maksudnya perjalanan kain sumba sebagai warisan leluhur menjadi pakaian dengan potongan masa kini yang modern dan glamor,” kata Hian.
Hian juga memilih potonganpotongan klasik, seperti rok berpotongan pensil, jaket pendek dengan aksen kain sumba pada bagian bahu, dan baju-baju dengan potongan A-line. Hian juga menggunakan tulle hitam transparan sebagai luaran (outer) yang dipadukan dengan bagian atas berbentuk kemben dengan potongan dada sweetheart. ”Modelnya seperti biasa baju saya, cuma kali ini dengan bahan tenun sumba,” katanya.
Ia mengaku tidak sempat bertemu langsung dengan petenun. Ia menggunakan kain yang sudah disediakan. Sebelum ini, Hian berpengalaman mengolah tenun baduy. ”Kain tenun itu biasanya lebarnya terbatas sehingga harus digabungkan dengan tenun atau kain jenis lain. Kesulitannya adalah saat mencocokkan antarmotif supaya tetap terlihat senada,” ungkapnya.
Hian tidak membiarkan baju-bajunya polos begitu saja. Ia menambahkan detail berupa bordir, kristal swarovski, mutiara, mote, bebatuan, dan manik-manik lainnya. Bordir dengan motif serupa dikerjakan di atas material lain. Deretan mote disusun sehingga membentuk motif menyerupai motif tenun dan disusun seperti ”tirai” di bagian punggung.
Ceria
Perancang muda Fiona HD menggunakan tenun baduy dengan warna-warni ceria. Ia menambahkan hiasan berupa aplikasi bunga-bunga pada tepian baju atau celana koleksinya. Secara keseluruhan terlihat ”lucu” dan ceria. Dengan tema ”Baduy Enchanted”, Fiona ingin mengenalkan bahwa tenun baduy tidak melulu warna gelap, seperti hitam atau biru gelap. Dengan bimbingan CTI, petenun mulai belajar menghasilkan kain-kain berwarna terang yang disukai pasar.
”Saya sendiri sejak pakai tenun jadi suka menggunakan kain itu. Tantangannya adalah bagaimana menghasilkan baju-baju yang terlihat modern agar orang tertarik memakainya sehari-hari bukan sekadar sebagai kostum,” kata Fiona.
Fiona menyempatkan pergi ke perkampungan Baduy untuk membuat video sebagai pembuka pergelaran busananya. Kebudayaan dan kehidupan masyarakat Baduy telah memesona Fiona. ”Bagi saya, kehidupan mereka sangat magical karena hidup dekat dengan alam tanpa merusaknya. Hidup mereka juga sederhana sehingga tidak cepat stres,” ungkapnya.
Warna-warna pastel, seperti merah muda, toska, krem, dan abu-abu muda mewarnai koleksi yang terdiri dari celana pensil dengan crop top, rok, celana pendek, gaun pendek dengan model bel, atau gaun dengan leher asimetris. Fiona, yang senang alam dan ingin selalu memasukkan unsur alam ke dalam karyanya, mengimbuhi baju-bajunya dengan tepian bunga-bunga. Aplikasi ini diperoleh dari kain yang mirip dengan kain tenun tetapi memiliki motif bunga-bunga. ”Saya potong bunga-bunganya lalu diaplikasikan ke tenun dengan teknik bordir,” kata Fiona yang menjuarai kompetisi Next Young Promising Designers (NYPD) 2017.
Sesama jebolan NYPD, Prasetio Nugroho, ditantang dengan kain tenun endek dari Bali. Selain mengolah kain, ia juga memasukkan unsur budaya Bali lainnya berupa motif ukiran dan bangunan Bali seperti swastika. Menggunakan material faux leather atau kulit sintetis, motif dibentuk dengan teknik potong laser.
Dengan baju-baju berpotongan oversize dan siluet terstruktur, Prasetio memadukan tenun endek dengan material lain, seperti sifon, katun, dan poliester. Koleksinya memberi kesan matang dan elegan.
Mengambil tema ”Nareswari” yang berarti permaisuri, Prasetio ingin menggambarkan perempuan Indonesia di masa yang datang, yakni perempuan yang tetap teguh memegang budaya dan tradisi di tengah arus globalisasi.