Di Kebun Kita \'Ngopi\'
Menikmati kopi di kafe-kafe yang menjamur di perkotaan itu sudah biasa. Pernah mencoba ”ngopi” langsung di kebun kopi? Di sini, setiap hirupan kopi membawa kesadaran yang kian meruang di segenap sensor rasa.
Permadani hijau berbuah kopi membentang di lembah-lembah bukit barisan dataran tinggi Gayo, Aceh. Papan bertuliskan ”Seladang. Ngopi di Kebun Kopi” tegak di tepi Jalan Bireun-Takengon, Kabupaten Bener Meriah.
Diliputi penasaran, Malik (17) dan tiga rekannya pun menepikan kendaraan. Pondokan dan sejumlah saung berjejer di antara tanaman kopi yang tengah berbuah merah. Mereka masuk ke salah satu saung sederhana beratap nipah. Letaknya agak tersembunyi di tengah-tengah kebun rimbun. Di situ, udara sejuk dibawa semilir angin.
Ikut memetik
Sang pemilik kedai, Sadikin (42), datang menyambut mereka. Makanan dan minuman pun segera dipesan. Setelah berkendara selama 1,5 jam dari Kota Lhokseumawe, para tamu itu hendak melepas lapar dan haus. Namun, mata mereka terpikat buah-buah kopi yang telah ranum di pohon. ”Sudah boleh dipetik buahnya, Bang?” tanya Malik.
Sadikin tersenyum membaca keingintahuan para tamunya. Ia pun menawari mereka ikut memanen kopi. Buah merah padat berjuntai-juntai pada tanaman kopi tak jauh dari saung itu.
”Jangan ditarik sekaligus. Hanya buah kopi berwarna merah yang boleh dipetik. Caranya, petik memutar. Seperti ini,” ujar Sadikin yang juga kerap dipanggil Gembel. Ia menunjukkan cara panen kopi dengan hati-hati.
Tangan-tangan para remaja itu mulai bekerja. Mereka semangat memetik buah-buah yang telah matang, lalu memasukkannya ke dalam sebuah wadah. Setelah puas, mereka diajak berkeliling kebun. Sadikin menunjukkan salah satu proyek terbarunya. Madu kopi!
Para remaja pun langsung tampak heran. ”Madunya rasa kopi?” tanya Malik lagi.
Sadikin pun membenarkan.
Disayang-sayang
Pengalaman berkebun sekaligus menikmati sajian kopi dapat dirasakan di Kedai Kopi Seladang. Kedai berkonsep agrowisata ini terletak di tepi jalan raya Bireuen-Takengon, Desa Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
”Baru pertama kali ini saya ikut memetik buah kopi,” kata Malik. Pengalaman itu memperluas pengetahuan Malik soal kebun kopi, mulai dari tanam hingga panen. Ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.
Untuk mendapatkan cita rasa kopi terbaik, Sadikin bercerita, ia kerap bercakap-cakap dengan tanamannya. Doa pun kerap dipanjatkan. ”Kalau disayang dan dirawat, lalu dipanen dengan benar, kopi akan memberi cita rasa terbaik,” ujarnya.
Di daerah ini, Seladang menjadi kedai kopi pertama yang dibangun di kebun kopi. Selain menikmati kopi dan ikut panen, pengunjung juga mendapatkan cerita pahit manis di balik segelas kopi.
Selama ini, banyak orang gemar minum kopi, tetapi tidak pernah mengetahui wujud tanamannya. Tidak pernah mampir ke kebunnya. Mereka juga tak mengetahui panjangnya pengolahan hingga menjadi minuman yang terhidang di atas meja.
Sempat ditolak
Ide membangun kedai kopi di kebun tebersit di benak Sadikin sejak ia masih duduk di bangku kuliah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Namun, wujud ide itu baru mulai ia rintis pada 2012 dengan dukungan istrinya, Hasanah (36).
Hasanah mengajaknya membuat desain pengembangan agrowisata di tempat mereka tinggal di Bener Meriah. Proposal desain mereka tawarkan kepada pemerintah daerah setempat, tetapi ditolak.
Pasangan itu tak patah arang. Keduanya bertekad membangun sendiri agrowisata itu. Mereka bermodal pinjaman lahan kebun seluas 2 hektar di tepi jalan itu dari ibunda Hasanah. ”Awalnya ibu (mertua) kaget. Ibu bilang tidak mungkin orang mau minum kopi di kebun kopi,” ujar Sadikin.
Meski begitu, niat membuka usaha kedai di kebun itu pun tetap diwujudkan. Kedai itu dinamai Seladang. Dalam bahasa Gayo, seladang berarti gubuk kecil di tengah sawah atau kebun untuk tempat istirahat petani. Dengan modal terbatas, bertahap mereka membangun pondok kayu yang ditempatkan di tengah kebun, di kelilingi saung-saung kecil.
Kopi pasca-konflik
Jalan Bireuen-Takengon kini menjadi pelintasan ramai. Situasi ini jauh berbeda dibandingkan dengan belasan tahun silam saat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung. Ketika itu, kawasan ini sangat mencekam. Petani tak berani berkebun. Akibatnya, banyak kebun telantar.
Setelah perjanjian perdamaian pada Agustus 2005, situasi berangsur aman. Perekonomian mulai berkembang. Usaha perkebunan dan pengolahan kopi kembali tumbuh. Kedai Kopi Seladang salah satu yang ikut dibangun setelah perdamaian. Menurut Sadikin, dulu kawasan kebunnya sepi. Setelah dua tahun kedai itu beroperasi, kian ramai warga tinggal di sepanjang jalan itu.
Para petani kopi di dataran tinggi Gayo beruntung dianugerahi alam yang bersahabat. Tak seperti tanaman kopi di Jawa yang hanya panen sekali dalam setahun, panen kopi di Gayo terjadi hampir sepanjang tahun. Masa panen raya memang biasa berlangsung di akhir tahun. Namun, relatif sepanjang tahun, panen juga terus terjadi dalam volume kecil. Ini menjadi poin lebih bagi kedai di tengah kebun itu.
Pengetahuan kopi
Seladang menawarkan konsep terbuka kepada para pengunjungnya. Mereka dapat melihat sendiri pengolahan mulai dari kebun hingga penyeduhan minumannya. Singkatnya, di sini pengunjung turut disuguhi segala pengetahuan tentang kopi, mulai dari pohonnya sampai dituang di cangkir.
Di muka kedai, kopi wine dengan seduhan dingin (coldbrew) juga dapat dilihat langsung di bar dapur. Pengolahan kopi wine dilakukan sendiri oleh Sadikin.
Selain memanen dan berkeliling kebun, pengunjung juga dapat mengamati budidaya madu kopi. Di bagian belakang kebun, berjejer sejumlah wadah kotak di atas tanaman tua yang telah dipangkas batangnya. Sewaktu Sadikin membuka penutup wadah, sejumlah lebah pun beterbangan ke udara.
Budidaya madu kopi ia kembangkan sejak setahun terakhir. Pesanan cukup besar, tetapi ia belum berani memenuhi karena produksi madu masih relatif sedikit. Selama ini, hasil panen dibagi-bagikannya gratis kepada para pengunjung kedai.
Pilihan ”nongkrong”
Ada banyak pilihan kenyamanan bagi pengunjung untuk menikmati hidangan kopi. Yang ingin minum kopi di ketinggian, ada pondok kecil berlantai dua. Dari atas pondok itu, kita bisa melihat lebih luas ke hamparan kebun dan hutan yang melatari. Jika beruntung, tampak pula monyet ekor panjang bermain di sekitar kebun. Tak jarang luwak melintas liar hilir mudik di antara tanaman kopi untuk menikmati buahnya. Bagi pengunjung yang menginginkan nuansa hangat dalam ruang, pengunjung dapat memilih duduk di bangunan utama kedai.
Konsep kedai itu menyatu dengan rumah pribadi Sadikin. Pantas saja atmosfernya bikin betah, homey. Bangunannya berlantai dua. Sadikin dan keluarga tidur di lantai atas. Lantai bawah digunakan sebagai ruang tamu sekaligus tempat keluarga berkumpul. Di tempat ini, sehari-hari mereka seolah-olah lebur terseduh bersama kopi.
(Irma Tambunan/Zulkarnaini/Nikson Sinaga)Dari atas: Proses penyajian kopi di kedai Seladang yang berada di Jalan Bireun-Takengon Kilometer 86, tepatnya di Desa Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Pengunjung belajar memanen buah kopi di kedai Seladang. Pemilik kedai Seladang, Sadikin alias Gembel, memperlihatkan biji-biji kopi di area kebun kopi di kedai tersebut. Lebah yang dibiakkan di area kebun kopi.