Selamat Tinggal, Jakarta
”Tinggal di Jakarta sudah tidak sehat. Mau pergi ke sana, ke sini, bisa berjam-jam sampai ke tempat tujuan. Makanya, aku dan istriku memutuskan pindah ke Sanur. Sekarang, aku tenang,” tuturnya.
Ia dan istrinya menganggap pergi ke Jakarta tak ubahnya liburan saja. ”Aku tinggal di hotel lho, kalau ke Jakarta. Jadi memang bener-bener liburan gitu,” ujarnya.
Indra tak lagi khawatir tentang urusan karier. Menurut dia, semua adalah pilihan. Lalu, ia bercerita tentang album Reuni Krakatau. Proses pembuatannya mengandalkan teknologi. Indra merekamnya di Bali, sementara anggota Krakatau lainnya berada di Jakarta. Hasilnya, baik-baik saja.
Indra tertawa mengingat pengalamannya kala itu. ”Suatu hari, Krakatau mau rapat persiapan album. Aku, kan, di Sanur. Nah, pukul 10.00 WIB bertemu di studio yang lokasinya di Cipulir. Apa yang terjadi? Aku hanya perlu waktu sekitar tiga jam dari rumah, bandara, sampai di Cipulir, lancar. Gilang (Ramadhan— drummer) butuh lima jam dari Cibubur. Bayangin. Aku sampai duluan di studio ketimbang Gilang.”
Tinggal di Sanur, bagi Indra, mulai bangun tidur sampai tidur lagi menjadi waktu yang sangat menyenangkan. Indra masih bisa mengobrol dengan sang istri, juga menyama braya (bermasyarakat dengan adat di Bali). ”Jangan salah lho, aku belajar ngelawar (memasak lawar yang biasanya dilakukan bersama di acara adat Bali). Dan, aku menikmatinya. Seperti kembali ke masa kecil yang ingin tahu banyak hal. Seru.”
Sejak pindah ke Bali, ia pun produktif berkarya. Empat album berhasil diluncurkan. Sekarang ia mempersiapkan banyak album, termasuk album kedua Krakatau Reuni. Hampir setiap bulan Indra sanggup membuat lagu. ”Setiap hari aku bisa melihat pantai dan gunung kapan saja. Semua indah dan menginspirasi,” ujarnya.
Setahun ini Indra memiliki kesenangan baru, yaitu meracik kopi. Maka, dia mendirikan Mostly Jazz Cafe di Sanur. Di sana, musisi-musisi muda dapat datang setiap Jumat untuk menikmati musik dan kopi buatannya. ”Keseimbangan sedang aku nikmati di Sanur. Ini rumahku sekarang,” kata Indra dengan senyum mengembang dan mata berbinar.
Lebih sehat
Selain Indra, sejumlah nama di dunia hiburan yang sebelumnya tinggal dan berkarier di Jakarta juga memilih pindah ke Bali. Pasangan Sophie Navita dan Pongki Barata serta pasangan musisi Stella Gareth dan Reney Karamoy dari duo Scaller, misalnya. Masih banyak nama lain yang memutuskan untuk pindah atau berencana pindah juga ke Bali.
Salah satunya Dony C Sapoetro (53). Dua tahun lagi, Dony beserta keluarga berencana pindah ke Bali. ”Makin ke sini kami makin sadar sehat. Karena itu, kami mulai menjalani pola hidup sehat dengan menjaga makanan dan olahraga,” kata Dony.
Alasan demi hidup lebih sehat itu pula yang membuat ia meninggalkan Jakarta. Menurut Dony, mereka ingin menghindari polusi tingkat tinggi di Jakarta. ”Di Bali polusi juga, seperti di Legian, Kuta, atau Seminyak. Tapi di Ubud, tujuan kami, udaranya lebih bersih,” kata Dony yang juga aktif bersepeda ini.
Rencana pindah sudah ada sejak 2010. Sejak itu, dia berinvestasi membeli tanah untuk rumah, termasuk mewujudkan keinginannya menggeluti pertanian organik. Mereka akan pindah setelah anak keduanya menyelesaikan kuliah.
Dony juga akan segera pensiun dari pekerjaannya. Istrinya kelak bisa melanjutkan mengajar yoga dan clean eating di Bali. ”Kenapa Bali? Karena di sana banyak tempat untuk meditasi, selain lingkungan yang asri dan penduduk yang baik. Jadi, selalu merasa damai,” kata Dony.
Fathia Ishak (43) juga berencana pindah permanen ke Bali. Ia dan suami merasa perlu menyediakan lingkungan yang lebih baik ketimbang lingkungan mereka sekarang di Jakarta. Fathia bermimpi bisa menyediakan lingkungan yang lebih sehat secara mental dan fisik bagi anaknya.
”Di Ibu Kota, kehidupan sehari-hari kami pergi pagi, pulang malam. Waktu interaksi dengan anak jadi minimal sekali. Hanya Sabtu-Minggu, itu kadang juga masih kerja. Itu semua karena kemacetan. Kalau tidak macet, sih, sebenarnya lumayan. Belum lagi polusi dan pohon yang semakin berkurang,” papar Fathia.
Sebagai persiapan, ia sedang mencari tanah untuk lokasi rumahnya. Ia juga sudah membeli vila yang untuk sementara ini masih disewakan. Fathia juga sudah mendaftarkan sang anak di sebuah sekolah dasar di Ubud untuk 2020. Sekolah itu dianggap bisa memberikan kesempatan anaknya untuk belajar apa arti toleransi dan keberagaman, sesuatu yang menurut Fathia saat ini sulit diperoleh di lingkungannya.
Ia membayangkan dirinya akan menjadi ”petani”, menanam sendiri kebutuhan dapur dan makanannya. ”Ancaman utama sekarang kalau menurut saya datang dari pikiran orang-orang yang cupet dan dari kulkas. Banyak makanan dipalsukan, mengandung zat berbahaya. Saya pengin bisa self-sufficient, tanam sendiri apa yang saya dan keluarga makan,” ungkapnya.
Soal karier dan kehidupan sosialnya di Jakarta, tidak begitu ia hiraukan. Ia justru bisa membangun jaringan internasional dengan tinggal di Bali. Fathia berencana menjadi konsultan lepas waktu.
”Eksistensi ala orang urban sudah tidak menarik lagi untuk saya. Saya justru mencari relasi sosial yang lebih genuine, yang dibangun tanpa rasa kepentingan,” kata Fathia.
Bukan cuma Bali
Bali bukan satu-satunya pilihan. Banyak juga yang memilih hijrah dari Jakarta ke kota-kota lain, bahkan ke desa. Seperti Irena Frieda (37). Enam tahun lalu, Irena memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan perusahaan furnitur di Tangerang dan kembali ke desanya di Sodong, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Sebelumnya, Irena dan keluarganya tinggal di Depok. Dia bekerja di Tangerang, suaminya bekerja di Jakarta Pusat. Setiap hari mereka berangkat pagi-pagi sekali dan pulang saat hari sudah gelap. Selain harus bertarung di tengah kemacetan, dia juga jarang berinteraksi secara intens dengan anak-anaknya.
”Rasanya melelahkan. Saya bosan dengan rutinitas itu. Bertemu intens dengan anak-anak hanya saat akhir pekan. Nanti sudah ketemu Senin lagi dan menunggu sampai Jumat datang lagi,” katanya.
Saat memutuskan akan meninggalkan Ibu Kota, ada alasan yang memperkuat, yakni menemani kedua orangtuanya. Irena lalu mulai hidup dari kebun sendiri. Membudidayakan jamur dan mengolahnya jadi keripik dan nugget. Dia juga mengolah kopi supaya bernilai jual lebih tinggi.
Irena aktif di komunitas Sodong Lestari yang mempromosikan pertanian yang bertanggung jawab. Berbagai kegiatan dilakukan komunitas ini, mulai dari edukasi hijau dan anak, bertani organik, mengelola koperasi, hingga sanggar seni. Komunitas ini menjadi tujuan anak-anak dan kaum muda untuk belajar di alam, live-in, juga bagi para petani yang semula hanya sebagai pekerja dan ingin beralih menjadi pembudidaya.
”Kami mencoba menciptakan rantai makanan yang jelas untuk mereka yang mengonsumsi hasil budidaya atau pertanian kami. Konsumen memakan bahan pangan yang sama dengan kami. Kalau sehat, ya, sama sehatnya, kalau beracun, ya, sama beracunnya. Jadi, ada tanggung jawab moral,” tutur Irena.
Menurut Irena, biaya hidup yang dikeluarkan sebenarnya relatif tidak jauh berbeda dengan saat di Jakarta. Biaya sosial di desa justru lebih tinggi daripada di kota besar. Namun, dari segi kualitas hidup, jauh lebih baik ketimbang saat tinggal di Ibu Kota. Hidup lebih tenang, tidak serba tergesa-gesa.
Sejak pulang ke desa, dia juga lebih sehat secara fisik. ”Dulu saya sering sakit. Dokter seperti langganan, bisa sebulan sekali, terapi ini dan itu. Sekarang jarang sekali,” tutur Irena. Sodong terletak sekitar 820 meter di atas permukaan laut. Asupan udara segar yang jauh dari polusi berlimpah. Kabut dingin masih menyambut di pagi hari.
Seperti halnya Irena, Tanti (39) juga memutuskan pindah dari Jakarta ke Solo ketika sang suami, Nugroho (39), melanjutkan pendidikan lagi di Universitas Indonesia. Kala itu, Nugroho mengeluh karena selalu kelelahan melakoni pekerjaan dan kuliah yang berbarengan.
”Jarak rumah-kantor-kampus yang lumayan jauh, belum lagi macet, membuat suamiku kehabisan tenaga. Akhirnya kami memutuskan pindah ke Solo,” ujar Tanti. Yogyakarta sempat menjadi alternatif, tetapi akhirnya Nugroho mengalah dan memilih Solo karena pertimbangan lebih dekat dengan orangtua Tanti.
”Nugroho dua minggu di Balikpapan, seminggu di Jakarta, seminggu lagi di Solo. Aku dan anak-anak hanya sesekali saja ke Jakarta. Tak apa kalau hanya sekali-sekali. Kalau untuk tinggal di Jakarta, mana tahan?” katanya dengan tawa berderai.
Menurut penulis buku Teruntuk Bahagia, Lisa Samadikun, ada beberapa alasan orang meninggalkan Jakarta. Pertama, mungkin karena mereka sudah tak cocok dengan gaya hidup metropolitan. ”Kedua, mereka mungkin sudah pada tingkat wisdom di mana mereka fokus pada spiritual. Bali mungkin dipilih karena memang di sana mendukung proses pencarian jiwa atau diri,” kata Lisa.
Sementara menurut Robin Muljadi, praktisi yoga dari Golden Space Indonesia, meninggalkan Jakarta adalah pilihan hidup orang yang menjalaninya dan harus dihormati. Meski begitu, dia mengingatkan, pilihan, apa pun itu, pasti memiliki konsekuensi. ”Jangan sampai pilihan pindah atau meninggalkan Jakarta justru memunculkan persoalan baru,” kata Robin.
(AYS/EKI/ZAK/FRO/DOE)