Papeda dari Ujung Timur
”Setelah kami sering ke Papua, kami jadi tahu salah satu keunggulannya adalah kopi. Satu-satunya cara memperkenalkan kopi Papua, ya, dengan bikin kafe. Lalu, setelah kami menggarap Uncover Papua, kami ingin kenalkan Papua lebih dekat lagi kepada masyarakat. Tidak hanya lewat film atau dokumenter, tetapi juga produk budaya lain, yakni masakan,” tutur Ale.
Kopi memang menjadi unggulan Alenia Papua Coffee & Kitchen. Ada enam jenis kopi yang tersedia, yakni Amungme, Pegunungan Bintang, Moanemani, Tiom, Wamena, dan Deiyai. Kopi tersebut bisa disajikan dengan pilihan V 60, kopi papua tubruk, kopi susu mamakota, kopi papua drip, dan kopi gula bakar. Ada pula variasi es kopi kacang tumbuk, yakni kopi susu dengan es krim dan taburan kacang tumbuk.
Nia mengatakan, kopi susu mamakota merupakan favorit karena rasanya yang manis ringan meski tanpa gula. ”Untuk ngopi-ngopi cantik, ibu-ibu banyak yang memesan kopi ini,” ujarnya.
Berkonsep restoran keluarga, Alenia Papua Coffee & Kitchen menawarkan aneka makanan yang nikmat disantap bersama keluarga, teman, atau kolega. Tersedia menu pembuka yang bisa dipilih, di antaranya papeda goreng, cumi kariting, dan bakwan ikan puri. Papeda goreng yang renyah disajikan bersama sambal ikan teri cabai merah pedas.
Ikan puri adalah ikan kecil-kecil, sejenis baby fish, yang berwarna keperakan. Bakwan yang gurih renyah nikmat dicocol dengan saus asam manis.
Langsung ditelan
Menu utama favorit jelas papeda ikan kuah kuning. Pelayan dengan ramah membantu pengunjung yang belum pernah mencicipi menu itu sebelumnya. Papeda disajikan dalam kuali tanah liat kecil. Potongan ikan kerapu berenang di kuah kuning bening dengan irisan tomat dan serai.
”Kuah kuning lebih dulu dituang sedikit-sedikit ke dalam mangkuk. Kalau mau pedas, bisa dicampur sambal. Kami siapkan terpisah. Ini yata-yata, untuk menggulung papeda, lalu masukkan ke dalam mangkuk. Biasanya orang Papua makannya tidak menggunakan sendok, langsung dimasukkan ke mulut. Papedanya juga tidak dikunyah, langsung ditelan. Lebih nikmat,” papar pelayan.
Karena belum terbiasa, kami tetap menggunakan sendok. Dengan ”bantuan” kuah kuning yang ringan dan segar, papeda langsung meluncur ke tenggorokan.
Menu andalan lain adalah nasi campur papua, nasi kuning papua, nasi ikan kuah kuning, dan nasi sop brenebon. Nasi campur papua berupa nasi putih berbentuk kerucut dengan ikan goreng cakalang, telur pedis, bakwan ikan puri, tumis bunga papaya, ikan kuah kuning, dan sambal. Adapun menu nasi kuning papua berupa nasi kuning dengan ikan goreng cakalang, tempe dan kentang kering, mi goreng, serundeng, ayam goreng, telur pedis, dan kerupuk bawang.
”Nasi kuning seperti ini banyak dijual di Jayapura, terutama saat malam. Barangkali karena sekarang sudah banyak pendatang sehingga olahan nasinya pun semakin beragam,” ujar Nia.
Untuk olahan ikan tersedia ikan bakar manokwari, ikan goreng biak sambal colo-colo/dabu-dabu, serta ikan bakar colo-colo dan keladi tumbuk. Tumis kangkung dan bunga pepaya bisa menjadi pelengkap yang lezat.
Menu nasi diolah dari beras Merauke. Berasnya putih, bentuknya cenderung panjang, dan teksturnya pulen. Ketika diolah, lanjut Nia, nasinya pas. Tidak kering dan tidak lembek.
Guna menjaga cita rasa yang otentik, bahan-bahan utama didatangkan dari Papua. Beras dari Merauke, ikan dikirim dua kali seminggu dari Biak, keladi juga dikirim dari Biak, sagu dikirim dari Serui.
Masa kecil
Sebagai hidangan penutup, pengunjung bisa memilih puding sagu kenari, kue lontar, pisang goreng gula merah, kue bola Persipura, bubur sagu, dan roti ampas terigu. ”Puding sagu dan bubur sagu ini makanan masa kecil Mas Ale. Saya belajar membuatnya dari resep keluarga,” ucap Nia.
Puding sagu dan bubur sagu disajikan dalam stoples kecil. Bubur sagu berupa sagu dingin padat yang dihancurkan, lalu disiram santan dan kacang merah. Adapun puding sagu berupa sagu dingin padat dicampur kacang kenari, lalu dituangi saus vanila. Rasanya manis dan segar. Ini kopi pu teman, teman cocok untuk minum kopi.
Puding ini favorit pengunjung. Dalam sebulan bisa 500 cup habis terjual. Nia harus membuat stok banyak puding sagu ketika harus bepergian lama ke Papua. Itu pun dengan cepat ludes sehingga ada hari-hari ketika menu itu tidak tersedia.
Dengan beragam menu berbahan sagu tersebut, seketika terpikir bahwa ternyata sagu bisa diolah menjadi macam-macam makanan yang belum dikenal luas. Biasanya yang tebersit hanyalah papeda.
Nia dan Ale berharap kafe milik mereka ini bisa menjadi wadah promosi Papua. Pengunjung tidak sekadar mengisi perut, tetapi juga mengisi otak karena tersedia banyak sumber pengetahuan tentang wilayah tersebut berupa buku, foto, dan film dokumenter.
Kerinduan akan tanah Papua bisa terpuaskan. Keinginan yang belum kesampaian untuk ke sana pun tersalurkan.