Santo (35), pelukis di Blok M Square, Jakarta Selatan terlihat cemas sambil memainkan gawainya. Kuas, pensil, cat, dan kertasnya dibiarkan teronggok di sampingnya. Matanya lebih tertarik memandang gawai daripada menikmati lukisan potret dan karikaturnya.
Santo memulai profesi sebagai pelukis sejak sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, ia kebingungan setelah restoran tempatnya bekerja sebagai pelayan tutup. “Saya mengisi waktu kosong tersebut dengan belajar melukis dan akhirnya menjadi pekerjaan utama hingga sekarang,” tutur laki-laki asal Cilacap, Jawa Tengah tersebut, Rabu (14/3).
Sejak siang sampai sore, Santo belum mendapat pesanan. Ia mengaku, dalam sebulan terkadang hanya mendapat pesanan paling banyak dua lukisan. Satu lukisan ukuran lebar 40 sentimeter dan tinggi 50 sentimeter dihargainya antara Rp 200.000 hingga Rp 600.000.
“Sejak tahun 2010, pesanan lukisan potret berkurang. Sebelumnya, terkadang mendapat pesanan hingga tiga lukisan dalam seminggu,” kata Santo. Situasi tersebut membuat Santo ingin berpindah profesi sebagai teknisi komputer.
Perasaan berbeda dituturkan Endik (40). Laki-laki asal Tasikmalaya, Jawa Barat tersebut tetap menikmati pekerjaannya sebagai pelukis realis dan tidak terpengaruh dengan teknologi digital. “Emosi dalam hati dan pikiran sangat berperan besar saat melukis. Hal tersebut tidak dapat ditemukan ketika menggambar dengan bantuan teknologi digital,” kata Endik.
Idealisme dan keunikan tersebut menjadi daya tarik pengunjung yang memesan lukisan untuk kado, kenang-kenangan, dan hiasan di rumah. Yenita (55), warga Cireundeu, Tangerang Selatan memesan lukisan pada Endik untuk cucunya.
Yenita menuturkan, setiap goresan pada sebuah lukisan potret mampu mewakili perasaan dari sosok yang dilukis. Rasa tersebut muncul dari setiap garis dan warna yang disatukan oleh pelukisnya.
Sebuah lukisan potret realis dapat dikembangkan menjadi sebuah karikatur yang dapat bercerita dari berbagai sudut pandang. “Imajinasi dan kreatifitas pada karikatur mewakili sebuah pandangan dari pelukisnya terhadap realitas kehidupan,” kata Yenita yang berprofesi sebagai guru seni rupa tersebut.
Kembali ke realis
Sementara itu, Rimby Atmojo (43), pelukis di Blok M Square mengatakan, seni digital merupakan pengembangan dari seni grafis sehingga tidak akan terlepas oleh teknik yang ada di seni rupa murni. Alumnus Institut Seni Indonesia di Yogyakarta tersebut percaya, seni rupa akan selalu kembali pada aliran realis, meskipun akan ada aliran-aliran baru.
Rimby mengatakan, seni digital dan fotografi mudah diterima oleh generasi milenial karena dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan cepat. Hal tersebut menunjukkan, sebuah karya seni tidak akan terlepas oleh kebutuhan industri.
“Idealisme dan emosi hanya akan digunakan dalam proses pembuatan sebuah karya. Saat karya tersebut telah selesai, nilai ekonomi tetap akan dikejar oleh pembuatnya,” kata Rimby. Namun, hal tersebut tidak akan berlaku bagi seorang seniman yang ingin mengekspresikan dirinya dalam sebuah karya untuk kepuasan batin dan tidak untuk dijual.
Rimby tidak memungkiri, perkembangan teknologi digital membuat kualitas seni rupa di Indonesia sejak tahun 2000 mengalami kemunduran. Padahal, di era 1960 hingga 1990, Indonesia menjadi salah satu kiblat seni rupa di Asia. Hal tersebut terjadi karena kurangnya regenerasi dan komunitas seni lukis kurang diminati generasi muda Indonesia.
Meskipun demikian, karya seni rupa Indonesia masih diakui di tingkat internasional. Salah satunya, Heri Dono yang terkenal dengan seni instalasinya. Rimby mengatakan, Heri Dono mampu menggabungkan teknologi dan seni rupa secara sempurna. Oleh karena itu, seniman seni rupa Indonesia harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman agar dapat terus berkembang.
Hal tersebut dilakukan oleh Rimby. Sebagai seorang pelukis, ia tetap mengerjakan karya-karya desain grafis. Ia juga mengajar di beberapa sekolah dan selalu mengajarkan kepada muridnya untuk menggambar manual sebelum membuat sebuah karya dengan teknologi digital.
Eksklusif
Seni lukis dipandang masih memiliki eksklusivitas daripada karya fotografi digital. Anton Ismael, fotografer dan pendiri perusahaan kreatif Third Eye Space mengakui, sebuah karya fotografi belum dapat dihargai sebagai sebuah karya seni yang eksklusif.
Hal tersebut terlihat dari banyaknya kolektor yang lebih tertarik berburu karya seni lukis daripada sebuah foto. Selain itu, sebuah foto mudah diklaim oleh seseorang karena kemudahan yang dihadirkan oleh teknologi digital.
“Sebuah karya seni lukis memiliki sisi originalitas dari pembuatnya, sedangkan fotografi sangat bergantung pada sebuah kamera” kata Anton. Ia menambahkan, seseorang yang terbiasa berkarya dengan teknologi digital, maka ia akan mudah bergantung pada alat yang digunakan.
Anton mengatakan, di era digital, cara berpikir manusia sangat mudah dipengaruhi oleh teknologi. Padahal, teknologi harus dikuasai manusia dan bukan sebaliknya. (DD08)