Warisan Tren Gigi ala Madura
Tak hanya mereka yang berkantong tebal yang ingin bergigi indah. Di pelosok daerah, tren keindahan gigi pun merambah kalangan petani sederhana. Lewat seni membuat gigi palsu yang dimiliki tukang gigi, tren lantas tercipta di kalangan menengah ke bawah, mulai dari gigi emas, platina, hingga kini gigi kelinci atau sekadar gigi putih cemerlang.
Uniknya lagi, mayoritas dari 30.000 lebih tukang gigi ini berasal dari Pulau Madura dan menyebar hingga seluruh penjuru Nusantara. Masih jelas dalam ingatan Partini (45), warga Desa Adipura, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat tren gigi emas dan platina melanda perempuan muda di desanya era 1980-an. Partini yang saat itu berusia 13 tahun dan memiliki gigi sehat tergoda memiliki gigi ”berkilauan”, seperti yang dimiliki tetangga di desanya.
Demi mendapatkan gigi platina yang termasuk kategori barang ”mewah”, Partini yang bertempat tinggal di lereng Gunung Sumbing meminta izin orangtuanya untuk turut bertani bawang putih. Ketika itu, harga bawang putih Rp 300 per kilogram, sedangkan harga gigi platina sekitar Rp 10.000 per biji. ”Waktu itu saya dapat uang lumayan banyak dan bisa beli tiga gigi platina,” ujarnya bangga.
Pemasangan gigi platina dilakukan tukang gigi yang membuka praktik di pasar selama satu jam. Dia merasakan sensasi linu saat gigi dilapisi platina dan dikikir. Partini mengakui, dua hari pertama mengunyah makanan dengan gigi berlapis platina dirasa kurang nyaman. Gigi platina itu awet dan bertahan lebih dari 15 tahun sebelum satu demi satu tanggal.
Tidak kuasa menolak tren juga dirasakan Sutris (65), warga Desa Sukomakmur, Kajoran, Magelang. Menginjak usia 18 tahun, dia pergi ke tukang gigi dan meminta agar tiga gigi serinya dilapis platina. ”Sebelumnya, karena tidak memakai gigi platina, banyak teman mengejek, mengatakan saya ketinggalan zaman,” ujarnya sambil tertawa.
Motif hati
Bertekad meluruhkan ejekan teman, Sutris tanpa ragu memasang platina di gigi depan. Sama seperti gigi platina milik Partini, gigi platina Sutris kini ”berguguran”. Mereka tidak berniat kembali memakai gigi platina yang memang tak lagi ngetren. ”Sekarang yang berkilat cukup tangan dan leher saja,” ujar Sutris sembari menunjukkan gelang dan kalung emasnya.
Jika Partini dan Sutris ingin kelihatan berkilau, Siami (53) terpaksa memakai lapisan platina untuk menutupi giginya yang rusak dan patah separuh. ”Waktu itu tukang gigi hanya membawa lapisan platina dan emas karena sedang tren. Buat apa malu, wong waktu itu ngumpul, ngobrol dengan tetangga, giginya juga sama- sama kinclongnya,” ujar warga Desa Kebumen, Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jateng, itu.
Sarndi (53), warga Desa Banyuroto, Sawangan, Magelang, adalah salah satu warga yang masih memakai lapisan platina pada tiga gigi depannya. Ia sempat berkonsultasi dengan dokter gigi, menanyakan apakah lapisan platina itu harus dilepas. Dokter hanya menyarankan dia agar membiarkan saja hingga copot.
Tukang gigi di Desa Progowati, Magelang, Kamal (43), mengatakan, tren gigi emas dan platina merebak pada sekitar 1980 hingga awal 1990-an. Ketika remaja, dirinya sudah terlibat membantu ayahnya, Sutikno, yang juga bekerja sebagai tukang gigi. ”Dulu, setiap ada permintaan dari pasien, rata-rata, ya, meminta agar giginya dilapis platina atau emas,” ujarnya.
Emas itu ada yang benar-benar logam mulia, tetapi ada pula yang terbuat dari logam tertentu berwarna kuning tua. Platina pun terbagi menjadi dua macam, ada yang berwarna abu-abu seperti perak dan ada pula yang berwarna kecoklatan. Kamal mengatakan, sebagian pelanggan juga meminta agar lempeng logam tersebut diberi ”motif” tertentu. ”Sejumlah pelanggan bapak ada yang minta diberi motif I love you atau daun waru,” ujarnya.
Ketika ada yang meminta ”motif” daun waru, tukang gigi lalu membuat lubang pada platina, membentuknya seperti hati, kemudian baru memasangnya pada gigi pasien. Jika menginginkan diberi motif, Kamal mengatakan, motif itu pun tidak hanya dipasang di satu gigi saja, tetapi juga pada beberapa gigi depan.
Mayoritas Madura
Ketika mulai membuka praktik sejak 18 tahun lalu, Kamal menjumpai gigi berkilau tidak lagi menjadi tren. Namun, sebagian pasien berusia 40 tahun atau 50 tahun ke atas, yang ingin memasang gigi baru, ada yang dijumpai masih memakai lapisan gigi platina. ”Bahkan, saya pun masih melihat, menangani pasien, yang gigi platinanya bermotif daun waru,” ujarnya.
Daya jangkau para tukang gigi untuk menebarkan tren estetika gigi bisa merambah hingga ke pelosok perdesaan karena sebagian dari tukang gigi ini menjajakan jasanya dengan berkeliling. Cara berkeliling juga pernah dilakukan oleh Kamal dan almarhum ayahnya, Sutikno. Setelah lama berkeliling, Kamal mengatakan, Sutikno mulai ”menanam” orang di daerah-daerah tertentu. Orang yang dimaksud adalah asisten yang bertugas mengumpulkan pelanggan.
Tukang gigi lain yang juga pernah menjajakan jasa dengan berkeliling adalah Anto (48) dari Desa Blongkeng, Ngluwar, Magelang, yang sudah menjalankan profesi tukang gigi selama 25 tahun. Selama lima tahun pertama, dia mendatangi warga yang berkumpul di jalan-jalan kampung, di pertemuan RT, atau di depan masjid, kemudian menjelaskan tentang pekerjaannya. Setelah namanya cukup dikenal, banyak pelanggan datang dari luar kota, seperti Semarang dan Yogyakarta.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Tukang Gigi Mandiri yang juga Sekjen Serikat Tukang Gigi Indonesia Muhammad Zubaidi (39) menyebut mayoritas pelanggan tukang gigi adalah masyarakat menengah ke bawah. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 30.000 tukang gigi yang 90 persen di antaranya berasal turun-temurun dari Pamekasan, Madura. ”Daya jangkaunya lebih luas dan permintaan cenderung besar,” kata Zubaidi yang membuka praktik tukang gigi di Ulujami, Jakarta Selatan.
Kewenangan tukang gigi, lanjut Zubaidi, sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 bahwa pekerjaan tukang gigi sangat terbatas pada membuat gigi tiruan lepasan yang terbuat dari bahan heat
curing acrylic dan memasang gigi tiruan lepasan dengan tidak menutupi sisa akar gigi. ”Itu saja kewenangannya, sifatnya gigi lepasan dengan tindakan lebih ke nonmedis yang tidak mengganggu saraf,” kata Zubaidi.
Sebelumnya, tukang gigi juga bisa bernapas lega karena putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji materi atas Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran membuat tukang gigi yang mengantongi izin dari pemerintah dapat terus menjalankan pekerjaannya. ”Keberadaan tukang gigi yang mungkin dibilang bekerja di luar kewenangannya tidak lepas dari ketidaktahuan mereka. Kita berusaha sosialisasikan meski belum menjamah semua,” ucap Zubaidi.
Keberadaan tukang gigi patut diperhitungkan karena memiliki pertalian sejarah panjang dari sejak sebelum kemerdekaan. Di masa ketika dokter gigi belum sebanyak sekarang, tukang gigi menjadi andalan untuk solusi pemasangan gigi palsu. Apalagi harga yang ditawarkan oleh tukang gigi sangat terjangkau, Rp 100.000-Rp 200.000 per gigi.
”Untuk generasi berikutnya, kami arahkan ke pendidikan yang formal saja. Saya yakin, seiring berjalannya waktu, dengan sendirinya tukang gigi akan habis karena kewenangannya enggak banyak. Semua tukang gigi diarahkan regenerasi ke perawat gigi, tekniker gigi, atau dokter gigi,” ujar Zubaidi.
Tak lagi memopulerkan tren gigi kinclong dengan menggunakan lapisan emas atau platina, saat ini tukang gigi hanya menawarkan gigi palsu dengan warna putih alami. Kadang, sebagian pasien yang pengin tampil lebih cantik meminta agar gigi palsu di bagian depannya dibuat lebih panjang beberapa milimeter agar tampak seperti gigi kelinci. Kalau sudah begitu, para tukang gigi dengan keahlian turun-temurun ala Madura ini pun akan menuruti sang pasien dan berkreasi bak membuat karya seni gigi nan indah dengan harga terjangkau. Yang penting putih kinclong....