Tiga Hari Diputar, Film "Tengkorak" Disambut Hangat Publik Amerika
Oleh
Bambang Sigap Sumantri
·4 menit baca
Film berjudul "Tengkorak" karya Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, mendapat kesempatan untuk World Premiere di Festival Film Cinequest 2018, San Jose, California, Amerika Serikat dan masuk dalam nomine Best Film untuk kategori Science Fiction, Fantacy and Thriller.
“Kami mendapat tanggapan yang sangat hangat dan apresiatif karena dinilai ceritanya berani, eksekusinya juga sangat baik mengingat ini adalah film independen. Ada satu penonton berkomentar, ini sama sekali tidak seperti film independen. Lalu saya menjelaskan, kami tidak punya uang banyak, tapi kami punya waktu yang sangat banyak,” kata sutradara Film "Tengkorak", Yusron Fuadi ketika dihubungi Kompas, Selasa (6/3/2018).
Yusron datang ke San Jose bersama dengan Dekan Sekolah Vokasi UGM yang juga Executive Producer Wikan Sakarinto, pemeran utama film Eka Nusa Pertiwi dan Produser, Animator dan Special Effect Anindita Surya Laksmi.
Wikan menambahkan Film "Tengkorak" mendapatkan jadwal tayang selama 4 hari yaitu tanggal 1, 2, 3 dan 9 Maret. “Selama tiga hari pertama pemutaran, kami mendapat sambutan positif dan hangat dari publik,” katanya.
Banyak pengalaman yang diperoleh Yusron ketika film itu direspon mendapat banyak pertanyaan dari penonton. “Mereka menangkap Tengkorak sedikit lain dengan Indonesia. Banyak penonton yang berintrepretasi dan melakukan pemaknaan yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ini adalah hal yang baik di mana saat credit title mulai rolling, dialog dimulai, di situlah saat tengkorak ‘hidup’ di benak penonton,” ungkapnya.
Tim produksi Film "Tengkorak" adalah dosen dan mahasiswa Prodi Diploma Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi peminat multimedia. Para pemain tidak terbatas mahasiswa sekolah vokasi.
“Rektor UGM Panut Mulyono juga ikut main film ini, ditambah dengan kurang lebih 10 dekan dari berbagai fakultas, serta mahasiswa, pokoknya ini merupakan karya civitas akademika UGM,” ujar Wikan. Dia menambahkan, biaya pembuatan film sekitar Rp 500 juta, berasal dari sumbangan para dosen, dan belum termasuk honor para pemain.
Semua peralatan untuk pembuatan film milik UGM termasuk beberapa kamera dan komputer untuk pembutan animasi. “Seperti gambar menara ini, tidak mungkin kita membuat menara betulan, kita memakai komputer animasi ini harganya per buah mencapai Rp 60 juta,” katanya.
Wikan berharap dengan film "Tengkorak" ini menjadi ajang pembuktian sekolah vokasi. “Vokasi itu kalau bisa hasil pendidikannya berupa karya nyata seperti Tengkorak ini, bagi UGM juga menegaskan kalau bisa membuat film layar lebar walaupun dengan modal minim tetapi mendapat pengakuan di dunia internasional,”katanya.
Yusron mengatakan, film "Tengkorak" yang berdurasi 130 menit ini memakan waktu pembuatan 127 hari untuk shooting di berbagai lokasi. “Film yang mengambil lokasi latar di 4 kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, Singapura, Merapi, Bromo dan banyak tempat lainnya merupakan film fiksi ilmiah yang terbungkus dengan balutan humor dan kearifan lokal khas Yogyakarta,” ujarnya.
Film "Tengkorak" bercerita tentang misteri penemuan fosil tengkorak berumur 170.000 tahun di Pulau Jawa. Penemuan ini menimbulkan kebingungan dan perdebatan di antara para ilmuwan dan pemuka agama, serta perjalanan seorang gadis yang bertekad untuk mengungkap misteri di baliknya.
“Gagasan awal film ini sudah dimulai sejak tahun 2013, kemudian penulisan naskah sekitar satu tahun, tahun berikutnya sampai bulan kemarin pembuatan film, jadi penyelesaian film ini memakan waktu sekitar 4 tahun,” kata Yusron.
Film "Tengkorak" bagi sutradara yang juga dosen Program Studi Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi UGM ini merupakan obsesi sejak masa kecilnya. “Saya senang film Star Wars sejak usia 9 tahun, dan sejak saat itu saya sudah bercita-cita ingin membuat film fiksi ilmiah yang kebetulan di dunia film Indonesia masih jarang,” ungkapnya.
Sebelum dibawa ke Amerika Serikat, awal Februari lalu Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir berkesempatan untuk menyaksikan cuplikan film tersebut di Yogyakarta. Nasir mengatakan, film ini menunjukkan bagaimana pendidikan vokasi mampu menghasilkan output berupa lulusan yang kompeten serta produk-produk yang inovatif. Di tengah disrupsi teknologi, terobosan semacam ini menjadi hal yang penting untuk membawa Indonesia menjadi negara yang diakui.
“Yang bisa sukses bukan negara besar, bukan yang jumlah penduduknya besar, atau yang punya uang banyak, tapi yang menang adalah yang punya inovasi,” kata Nasir.
Dia berharap kualitas pendidikan vokasi khususnya dalam kegiatan praktik bisa lebih ditingkatkan dengan melibatkan dosen-dosen yang berasal dari kalangan praktisi, setidaknya hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan jumlah dosen.
Dengan pengembangan tersebut, ia berharap kegiatan inovatif seperti yang dilakukan Sekolah Vokasi UGM melalui pembuatan film ini bisa terus berjalan untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.
“Sekarang jumlah dosen praktisi ada 20 persen itu sebenarnya sudah bagus, tetapi kalau bisa sampai 50 persen akan mendorong inovasi jauh lebih baik,” kata Menristekdikti.