Java Jazz dan Orkestrasi Ekonomi
Akhir pekan ini, 2-4 Maret, Jakarta disemarakkan dengan penyelenggaraan festival musik Jakarta International ”Java Jazz” di Jakarta International Expo, Kemayoran. Tak hanya memanjakan penikmat musik jazz, festival musik tahunan yang tahun ini memasuki usia ke-14 ini juga menggulirkan dampak ekonomi.
Direktur Utama PT Java Festival Production Dewi Gontha menjelaskan, selama tiga hari, digelar sekitar 100 pertunjukan musik oleh musisi dunia dan musisi kenamaan Tanah Air. Musisi dunia yang pentas antara lain Incognito, Goo Goo Dolls, dan Dionne Warwick. Musisi Tanah Air yang memeriahkan Java Jazz 2018 antara lain Fariz RM, Dira Sugandi, Gugun Blues Shelter, dan Tohpati.
”Kami menargetkan total pengunjung selama tiga hari mencapai 110.000 sampai 115.000,” ujar Dewi, pemimpin perusahaan, promotor Java Jazz ini.
Sekadar ilustrasi, harga tiket untuk daily pass per hari sampai dengan Rp 875.000 dan 3 days pass sampai dengan Rp 1.900.000. Itu artinya, penyelenggara bakal mendapatkan omzet dari tiket sekitar Rp 96 miliar hingga Rp 218 miliar. Itu belum termasuk pendapatan sponsor dan lain-lain.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono mengatakan, penyelenggaraan festival musik seperti Java Jazz tidak hanya memberikan keuntungan bagi penyelenggara dan kesenangan bagi penonton, tetapi juga dapat memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat. Festival musik seperti ini dapat mendorong geliat ekonomi di tingkat makro hingga mikro.
Festival musik seperti ini dapat mendorong geliat ekonomi di tingkat makro hingga mikro.
”Saat ini banyak penonton dari luar negeri yang khusus datang ke Jakarta hanya untuk menonton Java Jazz. Artinya, acara dan festival musik seperti ini juga mendorong promosi pariwisata Indonesia dan Jakarta,” ujar Tony, Minggu (4/3).
Tony melanjutkan, di tingkat mikroekonomi, penyelenggaraan Java Jazz antara lain dapat meningkatkan hunian hotel, penjualan tiket pesawat, bahkan penjual makanan dan minuman, hingga juru parkir.
Di tingkat lebih mikro lagi, pedagang asongan, baik makanan maupun minuman, di sekitar area pementasan pasti juga memperoleh berkah peningkatan omzet. Tidak hanya itu, petugas parkir dan warga sekitar yang menjaga arus lalu lintas juga pasti kecipratan rezeki.
Ekonomi hiburan
Tony menjelaskan, di tataran makroekonomi, penyelenggaraan festival musik Java Jazz ini juga sangat relevan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat dari berbasis barang/jasa (goods and services) menjadi ekonomi hiburan (leisure economy). Ia menjelaskan, tidak hanya di Indonesia, bahkan warga dunia pun saat ini cenderung menghabiskan uangnya untuk memperoleh pengalaman dan hiburan ketimbang membeli barang.
Hiburan itu bisa berupa travelling, nongkrong di kafe dan gerai kopi, termasuk nonton konser musik seperti ini. Penyelenggaraan Java Jazz ini bisa menjadi magnet ekonomi.
”Hiburan itu bisa berupa travelling, nongkrong di kafe dan gerai kopi, termasuk nonton konser musik seperti ini. Penyelenggaraan Java Jazz ini bisa menjadi magnet ekonomi,” ujar Tony.
Tony yang juga merupakan penyelenggara acara festival Jazz di Yogyakarta, yakni Economic Jazz, mengatakan, rata-rata setiap tahun ada 60 pentas festival musik jazz di seluruh Indonesia.
”Jumlah itu meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sekarang ini bahkan ada pentas jazz di dekat Gunung Ijen di Banyuwangi karena orang mencari hiburan yang memberi pengalaman berbeda. Jika diolah, ini jadi motor ekonomi yang baru,” ujar Tony.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, memang saat ini tengah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung menghabiskan uangnya untuk berbasis pengalaman dan hiburan.
Pada kuartal II-2017, misalnya, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95 persen dari kuartal sebelumnya 4,94 persen. Sementara konsumsi restoran dan hotel (experience-based) melonjak dari 5,43 persen menjadi 5,87 persen.
Studi Nielsen (2015) menunjukkan, anak muda generasi milenial (kelahiran 1985-2000) yang merupakan konsumen dominan di Indonesia saat ini (mencapai 46 persen) lebih royal menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat gaya hidup dan experience-based, seperti makan di luar rumah, nonton di bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.
Industri kreatif
Selain perubahan pola konsumsi masyarakat yang bisa digerakkan sebagai motor ekonomi baru, napas besar Java Jazz, yakni industri kreatif, juga diproyeksikan bakal menjadi mesin ekonomi baru pada masa mendatang. Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan sebelumnya.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf juga sepakat bahwa industri kreatif bakal menjadi motor ekonomi baru Indonesia pada masa mendatang.
Peran industri kreatif dalam mendorong roda perekonomian nasional semakin terlihat dari tahun ke tahun. Hal ini tecermin dalam meningkatnya besaran kontribusi ekonomi kreatif pada produk domestik bruto (PDB) nasional.
Mengutip Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif yang dirilis Bekraf dan BPS, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB pada 2014 adalah sebesar Rp 784,82 triliun, pada 2015 kontribusinya meningkat 4,48 persen menjadi Rp 852,24 triliun. Adapun pada 2017 kontribusi ekonomi kreatif diperkirakan menembus Rp 1.000 triliun setelah pada 2016 mencapai sekitar Rp 900 triliun. Tahun ini, Bekraf memprediksi kontribusi ekonomi kreatif bisa mencapai Rp 1.100 triliun.
Ekspor dari industri kreatif pun menunjukkan peningkatan. Pada 2014 ekspor industri kreatif mencapai 18,2 miliar dollar AS (Rp 236,6 triliun) atau sekitar 12,46 persen dari total ekspor nonmigas sebesar 145,96 milliar.
Nilai ekspor industri kreatif 2015 bertumbuh 6,59 persen menjadi 19,4 miliar dollar (Rp 252,2 triliun), padahal ekspor nonmigas turun 9,70 persen menjadi 131,79 miliar, hal tersebut membuat kontribusi ekspor industri kreatif terhadap ekspor nonmigas meningkat menjadi 14,72 persen.
Barang-barang industri kreatif yang diekspor antara lain dari sektor busana (56 persen dari total ekspor), kriya (37 persen), dan kuliner (6 persen). Ekspor barang tersebut antara lain ke Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Jerman, Singapura, dan China.
Pada 2015, industri kreatif menyerap tenaga kerja sebanyak 15.959.590 orang. Jumlah tersebut setara dengan 13,89 persen dari total penduduk bekerja sebanyak 114.819.199 orang.
”Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lagi terus-menerus mengandalkan sumber daya alam karena jumlahnya bisa habis. Kini saatnya kita mulai membangun industri kreatif yang modal dasarnya kreativitas manusia yang bisa terus diperbarui,” ujar Triawan.